Menakar Monarki

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
15 Maret 2021 9:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seburuk-buruknya monarki (kerajaan) adalah yang absolut, begitu pikir kebanyakan orang. Karena, kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan absolut pasti akan korup sekorup-korupnya, kalau kata Lord Acton.
ADVERTISEMENT
Tetapi monarki parlementer—kekuasaan politik sesungguhnya ada di dewan perwakilan rakyat dan monarki berfungsi sebagai (simbol) kepala negara—atau monarki konstitusional—kekuasaan monarki dibatasi oleh undang-undang—sesungguhnya tak kalah buruk. Bahkan dalam beberapa sudut lebih buruk ketimbang monarki absolut.
Kita semua tahu, monarki dalam bentuk apapun adalah sebuah sistem yang berdasar pada ketidaksetaraan. Ada hak-hak istimewa di dalamnya yang diperuntukkan hanya untuk kalangan tertentu berdasar garis darah.
Dalam monarki absolut, pihak kerajaan atau raja tidak membutuhkan kesepakatan apapun dari siapapun. Keistimewaan itu ia tentukan sendiri; rakyat setuju atau tidak; elite politik setuju atau tidak; adil atau tidak.
Salah satu teoritisi sejarah paling terkemuka dunia, Ibnu Khaldun, 700 tahun lalu menulis mukadimah. Ia membuat teori bahwa kerajaan apapun dengan kekuasaan absolut, masa kekuasaannya tak akan lebih dari ratusan tahun. Mungkin enam atau tujuh generasi dari sebuah wangsa. Setelah itu tercerai-berai.
ADVERTISEMENT
Penguasa pertama dan kedua, membangun dan memapankan kerajaan. Mereka masih dekat dengan kalangan yang ikut berjuang mendirikan kerajaan. Sehingga penguasa masih relatif adil dan menimbang keperluan bersama dalam keputusan-keputusannya.
Penguasa ketiga dan keempat meneruskan mimpi pendahulu dan mengembangkan modal kemapanan yang fondasinya dibangun oleh dua generasi sebelumnya. Zaman keemasan diraih. Kerajaan makmur. Namun pelan dan pasti kerajaan mulai terpisah dari rakyat yang diperintah, kalangan yang ikut berjuang mendirikan kerajaan, dan sejarah awal mula berdirinya kerajaan.
Penguasa kelima, keenam, dan seterusnya sudah betul-betul terpisah dari semuanya. Mereka mempunyai realm (dunia) sendiri tanpa tulang belakang mengapa kerajaan pertama kali berdiri. Mereka dibesarkan oleh semua keistimewaan yang ditawarkan kekuasaan absolut tanpa ada lagi keterikatan sejarah, camaraderie (rasa senasib sepenanggungan) dengan kelompok penyokong, dan gagasan akan nilai ideal kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa-penguasa sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tidak sekaku itu periodesasinya tentu saja. Tetapi demikian gambarannya. Pada akhirnya—jika sukses—kerajaan akan dimakan oleh kesuksesannya sendiri. Terlemahkan oleh ketamakan dan detachment (keterlepasan) dari realita sekitar yang bisa memicu mungkin ketidakstabilan, pemberontakan, kebobrokan, dan pertikaian dari dalam, atau serangan dari luar.
Karena sifat inheren dari monarki absolut—sejalan dengan yang dikatakan Lord Acton bahwa kekuasaan absolut akan korup sekorup-korupnya—maka kerajaan semacam ini akan hancur dengan sendirinya.
Monarki parlementer dan konstitusional berbeda. Sepertinya bagus. Setidaknya lebih bisa diterima ketimbang monarki absolut. Ia—kerajaan—tetap boleh ada dengan sekian macam pasung yang membatasinya.
Tetapi di sinilah persoalannya. Dengan memasung dalam batasan-batasan parlementarian dan konstitusional, sistem yang ada malah mengakui ketidaksetaraan, melindungi hak istimewa turun temurun, dan sesungguhnya melestarikan itu semua.
ADVERTISEMENT
Kalau dalam monarki absolut hak istimewa diupayakan lestari hanya oleh mereka yang diuntungkan, dalam monarki konstitusional atau parlementer justru ketidaksetaraan itu disepakati lewat konsensus umum. Dirancang dan dijalankan oleh mereka dari level tertinggi—bangsawan, elite politik, agamawan, (dalam zaman modern) media, hingga ke level yang paling rendah—rakyat biasa, birokrasi, aparat negara.
Dalam konteks ini, bukan hal yang mengherankan kalau kerajaan Inggris yang usia lembaganya sudah lebih dari 1.000 tahun masih bisa selamat dan menjadi salah satu kerajaan paling kuat di dunia hingga saat ini. Ini lebih mencerminkan mindset dari luar kerajaan ketimbang kerajaannya sendiri. Cerminan bagaimana rakyat Inggris melihat diri mereka sendiri.
Kalau kerajaan merupakan cerminan mindset warganya, nilai kehidupan masyarakat seperti apa yang bisa diambil dari kerajaan yang mengambil untung atau dengan sengaja melakukan penjajahan, memfasilitasi perbudakan, tidak merasa salah ketika melakukannya—setidaknya tidak pernah meminta maaf, dan menganggap diri sebagai ras yang superior?
ADVERTISEMENT
Bisa saja ada kilah, itu dari masa yang telah lewat, bukan (kerajaan) Inggris modern.
Tetapi kurang dari sembilan puluh tahun lalu, walau hanya satu tahun karena ia memilih turun takhta untuk mengawini seorang janda Amerika, kerajaan Inggris dipimpin oleh seorang raja yang jelas-jelas mendukung superioritas kulit putih, Raja Edward VIII. Paman dari Ratu Elizabeth II ini dikenal menyetujui kebijakan rasis Hitler.
Pandangan Edward tentang ras terwakili dalam sebuah surat ketika ia berkunjung ke Australia dan mengomentari orang Aborigin. "Makhluk hidup paling menjijikkan yang pernah aku lihat. Derajat manusia paling rendah. Lebih mendekati monyet," tulisnya dalam sebuah surat.
Tentu saja ada kilah lagi, Edward adalah sisa-sisa dari masa lalu dengan cara pandangnya yang buram.
ADVERTISEMENT
Tetapi kemudian ada Pangeran Philip, suami dari Ratu Elizabeth II. Ia bagian tak terbantahkan dari Inggris modern. Dan ia berulang kali membuat pernyataan yang membuat orang berkernyit dahi dan bertanya apakah rasisme benar-benar hilang dari kehidupan kerajaan Inggris seperti yang ingin dikesankan.
Ia pernah menyatakan rasa keheranannya ada orang Inggris yang berjalan-jalan di Papua Nugini dan selamat dari kanibalisme. Atau bagaimana ia memuji keindahan Brasil yang layaknya surga kalau saja tidak ada orang Brasilnya. Atau ketika ia berkunjung ke sebuah pabrik peralatan elektronik di Edinburg, melihat kotak sekring dengan kabelnya yang ruwet, ia dengan santai berujar, "Seperti di pasang oleh orang India."
Muncul kilah lagi, tetapi ia bersama ratu dengan sukacita menerima orang campuran kulit hitam pertama untuk menjadi cucu menantu mereka.
ADVERTISEMENT
Tetapi kita belakangan tahu, lewat pengakuan sang cucu menantu, Meghan Markle, bahwa ada kalangan utama keluarga kerajaan yang mengkhawatirkan anak dari cucu menantu itu nantinya akan berkulit gelap.
Kita tahu, monarki adalah sebuah sistem pemerintahan dari masa yang telah lewat dan menyalahi kodrat kesetaraan manusia. Kalau orang bisa percaya pada evolusi fisiologis seperti dimaklumatkan oleh Darwin, orang mestinya juga bisa mudah menerima evolusi penyempurnaan cara mengatur komunitas yang berbasis kesetaraan.
Kita tidak bisa terus beternak kambing tetapi mengharapkan sapi sebagai hasil. Kita tidak bisa terus mengharapkan sebuah sistem ketidaksetaraan menghasilkan sebuah kesetaraan. Tidak bisa. Itu menyalahi hukum alam.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.