Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nurdin Abdullah dan Harapan yang Mati
1 Maret 2021 11:00 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya hanya mengenal Nurdin Abdullah dari reputasinya. Bersih moral, antikorupsi, pintar, dan berdedikasi. Dalam dunia politik Indonesia yang seperti hitung kancing baju dalam hal pejabat yang terkena skandal, ini sungguh menyejukkan.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan ia sulap dari salah satu daerah paling miskin di Indonesia menjadi salah satu kabupaten yang makmur selama 10 tahun ia menjadi bupati. Indeks kemiskinan turun dari 21 persen menjadi lima persen. Angka pengangguran turun dari sekitar 12 persen menjadi hanya sedikit di atas 2 persen.
Sektor pertanian yang menjadi salah satu perhatian utamanya—ia seorang Sarjana Pertanian dari Universitas Hasanuddin dan kemudian mendapat gelar masters dari Universitas Kyushu di Jepang—berkembang pesat. Panen tanaman pangan berlimpah mencukupi kebutuhan daerah itu.
Sektor peternakan membaik seiring dengan membaiknya sektor pertanian. Infrastruktur terus dibangun. Pariwisata ikut dikembangkan.
Banyak orang kagum. Banyak orang memuji. Banyak orang ingin meniru.
Selama 10 tahun memimpin Bantaeng, daerah itu dan juga dirinya tak pernah berhenti dianugerahi penghargaan.
ADVERTISEMENT
Menjadi gubernur Sulawesi Selatan di tahun 2018 adalah titian progresi karier yang tak mengejutkan. Beberapa kalangan mulai memperkirakan setelah Sulawesi Selatan maka Jakarta—apapun kapasitasnya nanti—adalah kelanjutan yang sangat wajar.
Seorang teman di kantor yang lumayan dekat dengan Nurdin Abdullah memuji setengah mati.
"Ia salah satu tokoh yang membuat saya tetap optimistis Indonesia akan menjadi lebih baik di masa depan," katanya ketika kami di kantor membicarakan sepak terjang Nurdin Abdullah.
***
Selama beberapa hari belakangan sinar yang begitu cemerlang dari Indonesia Timur itu redup sudah. Dan Sabtu malam (27/2) sinar itu padam. Mungkin tak akan pernah bisa menyala lagi.
Nurdin Abdullah menjadi tersangka KPK dengan tuduhan melakukan tindak korupsi selama menjabat gubernur Sulawesi Selatan. Ia ditangkap di kediaman dinasnya di Makassar dan dibawa ke Jakarta bersama beberapa bawahannya.
ADVERTISEMENT
Sabtu malam itu ia diborgol mengenakan rompi oranye dijejer bertiga dengan tersangka lainnya di ruang konferensi pers KPK. Mereka membelakangi wartawan yang berebut berusaha mengabadikan kejadian itu. Sekoper uang hasil Operasi Tangkap Tangan di Makassar ikut dipamerkan di sebuah meja panjang yang mereka belakangi.
Sepanjang konferensi pers Nurdin Abdullah sesekali menunduk menekuri lantai, sesekali memandang ke dinding di hadapannya. Entah seperti apa raut mukanya. Entah pula yang ada di benaknya.
Untuk tidak mendahului pengadilan, kita tidak tahu apakah Nurdin Abdullah benar bersalah melakukan tindak korupsi. Ia sudah menyatakan tindak korupsi yang terjadi di luar sepengetahuannya. Ia menyebut nama yang ikut diborgol pada konferensi pers itu yang menjadi pelakunya.
Tetapi Ketua KPK Firli Bahuri begitu rinci dan gamblang mengurai keterlibatan Nurdin Abdullah. Seperti ada kamera yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Sulit terbantahkan.
ADVERTISEMENT
Firli menyebut dengan pasti jumlah uang yang diterima oleh Nurdin Abdullah; berapa kali ia menerima; kapan kejadiannya; siapa yang menyerahkan; alasan mengapa uang diberikan; dan untuk proyek apa saja.
***
Tahun 2015 saya kembali menetap di Jakarta setelah hampir 20 tahun hidup di negeri orang. Di tahun itu pula saya sangat sering pulang ke Yogya. Saya seperti ingin mengkompensasi sekian waktu kejarang-pulangan ke Yogya berbelas tahun sebelumnya. Mencoba menyambung lagi berbagai kenangan akan kota itu yang sangat berharga buat saya.
Tentu saja Yogya sudah banyak berubah (baca: Yogyakarta ). Saya mengerti dan tak berharap Yogya masih akan seperti dulu ketika saya masih menjadi warganya. Tetapi tetap saja ada secuil perasaan kecewa melihat apa yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Saya merasa Yogya seperti berusaha terlalu keras untuk menjadi kota besar lain: Konsumeristik, kapitalistik, dan industrialistik. Padahal ketiganya merupakan segala sesuatu yang bukan Yogya (setidaknya di masa saya atau sebelum-sebelumnya).
Jengkel saya membuat catatan pribadi tentang berbagai hal yang semestinya dilakukan oleh pemerintah kota. Sistem transportasinya harus yang seperti apa dan bagaimana; fasilitas sosial yang harus tersedia seperti apa dan di mana; tiga sungai besar yang membelah kota harus difungsikan sebagai apa; bagaimana relasi Yogya sebagai kotamadya dengan empat kabupaten yang mengelilinginya karena sesungguhnya itu kesatuan kehidupan; persoalan perizinan bangunan harus seperti apa; pengembangan wilayah yang tidak seharusnya organik; bisnis yang dikembangkan titik beratnya ke mana; dan lain sebagainya.
Intinya pemerintah (kota) bukan sekadar administrator tetapi juga harus memikirkan sebuah rekayasa sosial lewat pembangunan infrastruktur (tata kota dan kelola) dan tata sosial.
ADVERTISEMENT
Saya kira itu adalah peran yang dimainkan Kraton sejak berdirinya sekitar 250 tahun lalu dan berlanjut efektif hingga Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Mungkin kraton masih bisa memainkan peran sekarang, tetapi tanpa bantuan yang sifatnya struktural akan sangat berat karena tantangannya juga sudah berbeda pula.
Saya ceritakan apa yang ada di catatan itu kepada teman-teman dekat di Yogya yang mau mendengar.
"Wah cocik. Situ harus berpolitik bung. Nyalon wali kota ja,’’ kata hampir semua teman-teman yang saya ajak bicara dalam bahasa Indonesia logat Yogya. Dan mereka malah sudah berjanji akan mendukung, bergerak dan menggerakkan simpul-simpul sosial di sekitar mereka, dan merancang gerakan kalau saya serius.
Salah seorang teman yang begitu bersemangat malah sudah menghubungkan dengan petinggi partai besar dan kami sempat berbicara walau hanya sekadar berkenalan.
ADVERTISEMENT
Tetapi harus berpolitik dengan cara berhubungan dengan partai politik itu yang membuat saya langsung gamang. Hubungan antara individu (pejabat) dengan partai yang menaunginya di Indonesia saya anggap problematik dan rentan jebakan. Tanpa ada aliran dana yang pasti untuk menghidupi partai—semacam iuran keanggotaan partai misalnya—bisa ditebak kalau pejabat publik seperti mendapat tekanan tanggung jawab untuk berperan besar menghidupi partai sebagai balas jasa.
Tidak untuk mengatakan bahwa mereka pasti akan memanfaatkan sebagian dana publik untuk menghidupi partai, tetapi tekanan dan godaannya sangat besar. Kalau di tingkat nasional terjadi—seperti disinyalemenkan lewat istilah politik rente dan kartel, di daerah saya yakin terjadi pula walau dengan skala yang lebih kecil.
Kita tidak tahu misalnya apakah Nurdin Abdullah atau pejabat-pejabat lain bertindak korup adalah karena keserakahan pribadi atau lebih sistemik dari itu—tekanan dari politik rente dan kartel itu.
ADVERTISEMENT
Saya memilih untuk kemudian tidak lagi membayangkan Yogya yang seperti diangan. Saya tahu saya bukan orang sekuat Nurdin Abdullah. Saya hanya berpengharapan orang sekuat dirinya muncul di Yogya—juga di kota-kota lain—entah bagaimana caranya.
Kalaupun saya pada satu saat nanti pulang menetap di Yogya, akan sebagai warga biasa saja. Menikmati hari tua bersama istri seperti apapun Yogya nantinya.
Dan melihat apa yang terjadi pada Nurdin Abdullah sekarang ini—dan juga banyak kepala pemerintahan daerah lain maupun pejabat publik yang terjerembab—saya kira itu keputusan paling tepat. Lagi pula, siapa saya ini?