Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hujan dan Bayangmu
7 Juni 2021 14:07 WIB
·
waktu baca 2 menitDiperbarui 19 November 2024 16:32 WIB
Tulisan dari Zahid Arofat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hujan turun. Kian menderas. Aku yang berjalan menyusuri trotoar sepanjang jalan Terminal Grogol mempercepat langkah—berlari mencari tempat berteduh, berpacu dengan para pengendara kendaraan bermotor yang semakin memacu kendaraannya di sepanjang jalan itu.
ADVERTISEMENT
Langkahku berbelok dan berhenti di sebuah kafe. Kuhela napas sejenak di halaman depan. Napasku tersengal meski hujan malam itu menjelmakan hawa dingin. Jaketku basah, dan aku kembali menghela napas.
Kaca kafe mulai basah oleh tempias air hujan yang diterbangkan angin. Dari balik kaca itu kulihat sepasang lelaki-perempuan duduk berhadapan di salah satu meja di sudut ruangan.
Dari cerminan raut wajah keduanya, mereka tampaknya sedang berbincang serius. Aku tak mendengarnya. Gemericik hujan lebih riuh di pendengaranku. Juga bising knalpot kendaran yang melintas di sepanjang jalan depan kafe.
Sejenak tebersit dia dalam kepalaku. Rupanya rambut basahku kembali menghadirkan bayangnya—yang akhir-akhir ini aku berusaha keras menghapusnya. Malam itu, dia kembali tanpa permisi. Tanpa aku harus menerima.
ADVERTISEMENT
"Halo!" seseorang menyapaku, terdengar tepat di belakang aku terpaku.
Aku mengenal suara itu. Sungguh. Entah bagaimana ada selintas bahagia di benakku. Walau sebenarnya aku tak mengharapkan mendengar khas suara itu. Apalagi berharap bertemur lagi dengan si empunya suara itu di muka Bumi ini.
Aku menoleh. "Hai...," kataku. "Maaf, siapa ya?" tanyaku balik.
Sejurus kemudian aku dibuat penasaran, juga kecewa. Atau entah senang. Sebab, yang berdiri di hadapanku bukan dia. Wajahnya yang menyembul di balik terpaan cahaya remang kafe membuatku semakin terheran. Aku merasa tak pernah melihatnya sebelum kali itu. Atau aku yang lupa.
"Apakah kita pernah saling kenal atau sekadar pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.
"Eh... maaf, Mas," jawabnya. "Kukira, Mas temenku. Soalnya dari belakang mirip. Jaketnya, perawakannya. Soalnya kita juga lagi janjian di sini. Maaf ya, Mas," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Dia tersenyum. Wajahnya agak memerah. Kemudian dia menunduk, menenggelamkan parasnya di reremang pijar lampu. Gesturnya seolah mengisyaratkan tak rela aku menikmati kecanggungan malam itu.
Hujan kian deras. Jalanan masih ramai oleh pengendara. Juga bising kendaraan yang melintas. Dan, sekelebat dia kembali muncul di ingatanku. Malam itu...