Konten dari Pengguna

Melampaui Keyakinan: Pergulatan Ideologis dalam "Atheis"

Zahra Nur Rahma
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
20 Juni 2024 17:34 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahra Nur Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku dengan bunga dan cangkir. (Sumber: https://www.pexels.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku dengan bunga dan cangkir. (Sumber: https://www.pexels.com/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novel "Atheis" karya Achdiat K. Mihardja adalah salah satu karya sastra Indonesia yang paling berpengaruh, menggambarkan pergulatan antara kepercayaan religius dan pemikiran atheis dalam konteks perubahan sosial dan politik selama masa penjajahan Belanda dan Jepang. Melalui analisis unsur-unsur pembangun seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, kita dapat melihat betapa dalam dan kompleksnya karya ini. Burhan Nurgiyantoro, dalam telaahnya terhadap unsur-unsur ini, menyoroti bagaimana "Atheis" berhasil menangkap dinamika perubahan ideologi dan nilai dalam masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tema utama novel "Atheis" adalah pergulatan antara kepercayaan religius dan pemikiran atheis dalam konteks perubahan sosial dan politik di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Kutipan ini menegaskan bahwa pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat adalah tema sentral yang tetap relevan meskipun waktu terus berjalan. Isu-isu fundamental yang diangkat oleh novel ini tetap berlaku dalam konteks yang lebih luas, melampaui zamannya. Dengan memperlihatkan bagaimana nilai-nilai sosial berubah dan bertentangan, Mihardja menyentuh isu universal tentang identitas dan perubahan, yang dapat diaplikasikan pada berbagai konteks sosial dan sejarah. Pergeseran ini mencerminkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, yang menjadi inti dari perjalanan batin para tokohnya.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan kebingungan dan ketidakpastian tokoh utama terhadap pandangan-pandangan baru yang atheistik. Ini mencerminkan konflik batin dan pencarian identitas yang merupakan inti dari tema novel ini. Ketidakpastian ini menunjukkan kompleksitas pemikiran manusia ketika dihadapkan dengan ide-ide baru yang menantang keyakinan lama. Novel ini, melalui perjuangan batin tokoh utamanya, menyoroti proses pencarian makna yang tidak pernah selesai, menggambarkan bahwa pergeseran ideologi adalah bagian dari pengalaman manusia yang universal.
Kutipan ini menyoroti pergolakan batin tokoh utama, menunjukkan bagaimana ide-ide baru dapat mengguncang keyakinan yang telah lama dipegang. Pergolakan ini mencerminkan dinamika perubahan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia pada masa itu. Transformasi ini menunjukkan bahwa perubahan ideologis tidak hanya terjadi pada tingkat sosial, tetapi juga sangat personal, mempengaruhi individu di inti eksistensinya. Konflik batin ini mencerminkan ketegangan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan inovasi, yang pada akhirnya menggambarkan realitas kompleks kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Tokoh utama dalam novel ini adalah Hasan, Kartini, dan Rusli. Masing-masing tokoh memiliki karakteristik yang kompleks dan mendalam, menggambarkan spektrum pemikiran dan emosi manusia dalam menghadapi perubahan sosial dan ideologis.
Kutipan ini menggambarkan Kartini sebagai sosok yang mengalami penderitaan fisik dan mental, memperlihatkan beban batin yang berat. Kartini digambarkan sebagai simbol kelemahan dan penderitaan dalam menghadapi tekanan ideologis dan sosial. Gambaran ini mencerminkan bagaimana perubahan sosial dapat berdampak negatif pada individu, terutama perempuan yang sering kali terpinggirkan dalam proses perubahan tersebut. Kartini menjadi representasi korban perubahan, menunjukkan bagaimana masyarakat patriarkal dan ideologis dapat menindas dan merusak individu yang rentan.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menekankan perubahan besar dalam hidup Hasan akibat pengaruh sahabatnya. Hasan mengalami transformasi signifikan dari seorang yang religius menjadi seorang yang skeptis terhadap agama, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lingkungan dan pertemanan dalam membentuk pemikiran dan keyakinan seseorang. Transformasi ini memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mudah dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, terutama oleh mereka yang dekat secara emosional. Perubahan Hasan juga menunjukkan perjalanan intelektual yang penuh tantangan, di mana dia harus berhadapan dengan berbagai ideologi yang saling bertentangan.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan Rusli sebagai sosok yang penuh semangat dan optimisme, selalu membawa ide-ide baru yang menantang status quo. Rusli mempengaruhi Hasan dan orang-orang di sekitarnya dengan pandangannya yang progresif, mencerminkan kekuatan ide dan perubahan. Karakter Rusli adalah representasi dari modernitas dan perubahan, simbol dari semangat zaman yang ingin melepaskan diri dari belenggu tradisi. Melalui Rusli, Mihardja menunjukkan bagaimana ide-ide baru dapat menjadi motor penggerak perubahan sosial, meskipun sering kali ide-ide tersebut datang dengan konflik dan resistensi.
Kutipan ini menunjukkan awal mula hubungan antara tokoh utama dan Rusli, menggambarkan perkembangan awal hubungan mereka yang kemudian menjadi penting dalam cerita. Pengenalan ini membantu pembaca memahami latar belakang dan hubungan antar tokoh. Hubungan yang terjalin dengan cepat dan dalam ini memperlihatkan dasar dari konflik yang akan berkembang, di mana persahabatan dan pengaruh intelektual saling berkelindan. Pengenalan ini juga memberikan wawasan tentang dinamika sosial yang akan mempengaruhi perkembangan cerita selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pertemuan kembali Hasan dengan Rusli menandai awal munculnya konflik dalam cerita. Pertemuan ini menjadi titik balik penting dalam hidup Hasan, mempengaruhi pandangannya dan memulai perjalanan emosional dan spiritual yang intens. Dalam konteks ini, pertemuan tersebut bukan hanya pertemuan fisik, tetapi juga simbolis, di mana ide-ide baru mulai merasuki kehidupan Hasan. Ini menyoroti bagaimana momen-momen kritis dalam hidup dapat mengubah arah takdir seseorang, memperkenalkan elemen ketidakpastian dan perubahan.
ADVERTISEMENT
Klimaks konflik terjadi saat Hasan mulai meragukan keyakinannya sendiri. Pergolakan batin ini mencapai puncaknya ketika Hasan menghadapi ide-ide baru yang bertentangan dengan keyakinan lamanya, menunjukkan intensitas perubahan dalam dirinya. Klimaks ini adalah titik tertinggi dari ketegangan emosional dan intelektual, di mana Hasan terpaksa menghadapi krisis identitas. Ini menggambarkan titik di mana perubahan menjadi tidak terelakkan, memaksa tokoh utama untuk mengevaluasi kembali seluruh hidupnya dan nilai-nilainya.
Penyelesaian konflik terlihat saat narator mencoba memahami perubahan dalam diri Hasan. Meskipun perubahan tersebut sulit dipahami, usaha untuk mengerti menunjukkan adanya penerimaan dan penyesuaian terhadap realitas baru. Refleksi ini menunjukkan bahwa meskipun perubahan dapat memecah-belah, ada upaya untuk mencari pemahaman dan rekonsiliasi. Narator, sebagai pihak ketiga, memberikan perspektif eksternal yang membantu pembaca melihat kompleksitas dan kedalaman perubahan yang dialami oleh Hasan.
ADVERTISEMENT
Koda dalam cerita ini menampilkan refleksi Hasan terhadap perjalanan hidupnya. Transformasi dari seorang yang taat beragama menjadi seseorang yang penuh keraguan menunjukkan dampak mendalam dari konflik dan pergolakan batin yang dia alami. Momen ini adalah penutup yang kontemplatif, di mana Hasan harus menghadapi hasil dari perjalanannya. Refleksi ini menegaskan tema pencarian jati diri dan kompleksitas perubahan, menunjukkan bahwa perjalanan menuju pemahaman dan identitas adalah proses yang panjang dan penuh tantangan.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini memberikan suasana tegang di kantor Ken Peitai, menunjukkan tekanan dan intimidasi yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam novel. Ini memperlihatkan ketidakamanan dan ketidakstabilan yang dihadapi oleh masyarakat pada masa penjajahan Jepang. Tempat ini menggambarkan kekejaman dan penindasan, memberikan latar belakang yang mencekam bagi cerita. Latar ini memperlihatkan dampak dari otoritas kolonial terhadap individu, menciptakan suasana yang penuh ketakutan dan ketidakpastian, yang mempengaruhi tindakan dan keputusan para tokoh.
Kutipan ini menggambarkan Bandung sebagai pusat dinamika sosial dan politik pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Bandung menjadi simbol perubahan dan pertemuan antara tradisi dan modernitas, yang penting bagi latar waktu novel. Latar waktu ini memberikan konteks historis yang kaya, di mana konflik ideologis dan perubahan sosial saling bertautan. Bandung, sebagai kota yang dinamis, mencerminkan gejolak dan perubahan yang dialami oleh para tokoh, serta menjadi panggung bagi pertemuan dan benturan antara berbagai pemikiran.
ADVERTISEMENT
Jakarta digambarkan sebagai kota yang sibuk dan penuh aktivitas, memberikan kontras yang tajam dengan pergulatan batin Hasan. Latar sosial budaya ini memperkuat tema perubahan sosial dan konflik ideologis dalam novel, serta menunjukkan bagaimana kehidupan kota besar mempengaruhi tokoh-tokohnya. Kehidupan kota yang penuh hiruk-pikuk mencerminkan perubahan sosial yang cepat dan sering kali kacau, menciptakan latar belakang yang dinamis bagi cerita. Latar ini juga menggambarkan tekanan dan tantangan yang dihadapi oleh individu dalam beradaptasi dengan perubahan yang cepat.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai narator yang terlibat langsung dalam cerita. Sudut pandang ini memungkinkan pembaca merasakan langsung pikiran dan perasaan tokoh utama, memberikan kedekatan emosional yang lebih kuat terhadap konflik dan perjuangan tokoh.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang orang pertama memungkinkan pembaca merasakan langsung perkembangan hubungan antara tokoh utama dan narator. Kedekatan ini membantu pembaca memahami dinamika hubungan yang mendalam dan kompleks. Sudut pandang ini memberikan perspektif intim tentang bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi perkembangan plot dan karakter. Dengan sudut pandang ini, pembaca diajak masuk ke dalam pikiran narator, memberikan pengalaman membaca yang lebih personal dan emosional.
Refleksi narator terhadap perubahan yang dialami oleh Hasan menambahkan lapisan emosional pada narasi. Ini menunjukkan kesulitan yang dihadapi narator dalam memahami perubahan yang terjadi pada sahabatnya, memperdalam konflik emosional. Sudut pandang ini memberikan nuansa introspektif, memperlihatkan bahwa konflik dalam novel tidak hanya eksternal tetapi juga internal. Narator, melalui refleksinya, menunjukkan proses berkelanjutan untuk memahami dan menerima perubahan, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
utipan ini menunjukkan usaha narator untuk membantu Hasan, tetapi selalu dihadapkan pada perdebatan yang tidak pernah selesai. Ini memperlihatkan ketegangan dalam hubungan persahabatan mereka, serta kesulitan narator dalam menerima perubahan pada sahabatnya. Sudut pandang ini memungkinkan pembaca melihat konflik dari perspektif orang pertama, menambahkan kedalaman dan kompleksitas pada cerita. Narator menjadi representasi dari upaya memahami dan membantu, meskipun sering kali terhalang oleh perbedaan ideologi dan pemahaman, memperlihatkan dinamika kompleks dalam hubungan manusia.
Gaya bahasa dalam novel ini kaya dengan simbolisme dan penggunaan bahasa yang reflektif, menggambarkan pergulatan batin tokoh-tokohnya.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggunakan frasa Latin "sic transit gloria mundi" yang berarti "demikianlah kemuliaan dunia berlalu," menunjukkan kedalaman filosofis dalam gaya bahasa penulis. Penggunaan frasa ini mengingatkan pembaca pada ketidakabadian dan kefanaan segala hal di dunia, mencerminkan tema perubahan dan ketidakabadian yang mendasari novel ini, di mana nilai-nilai lama dan baru terus bertarung di tengah perubahan sosial dan ideologis. Frasa ini menekankan bahwa tidak ada yang kekal di dunia, baik itu kemuliaan, keyakinan, maupun ideologi, sehingga menggarisbawahi betapa rapuhnya posisi individu dalam menghadapi perubahan zaman. Penggunaan frasa Latin ini memperkuat nuansa intelektual dan filosofis dalam novel, dan berfungsi sebagai pengingat akan sifat sementara dari semua hal, relevan dengan pergulatan batin para tokoh, terutama Hasan, yang harus menghadapi kenyataan bahwa keyakinan dan pandangannya terhadap dunia tidaklah statis.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan hidup sebagai aliran sungai yang selalu berubah, menjadi simbol dari perjalanan hidup dan perubahan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel. Ini memberikan gambaran tentang ketidakpastian dan ketidakstabilan hidup, di mana setiap individu dihadapkan pada arus perubahan yang tidak dapat dihindari. Gaya bahasa ini mencerminkan dinamika kehidupan yang penuh dengan kejutan dan perubahan tak terduga, menekankan bahwa hidup adalah proses yang berkelanjutan dan tidak pernah statis. Dengan menggunakan metafora sungai, penulis berhasil menggambarkan esensi dari perubahan hidup yang terus-menerus. Simbolisme sungai mencerminkan perjalanan spiritual dan emosional tokoh-tokoh, terutama Hasan, yang harus menavigasi arus perubahan dalam pencarian jati diri, menegaskan bahwa perjalanan hidup penuh dengan tantangan dan ketidakpastian yang pada akhirnya membentuk identitas dan keyakinan seseorang.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan bagaimana kata-kata Rusli yang penuh makna tetapi juga menimbulkan kebingungan, mencerminkan kompleksitas dan ambiguitas dalam pemikiran dan pandangan hidup yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam novel. Gaya bahasa ini memperlihatkan bahwa meskipun Rusli membawa ide-ide baru dan progresif, kata-katanya dapat menimbulkan interpretasi yang beragam dan sering kali membingungkan. Ini mencerminkan konflik internal yang dialami oleh tokoh-tokoh, terutama Hasan, yang harus menyaring dan memahami makna di balik kata-kata Rusli. Penggunaan metafora pedang bermata dua menyoroti sifat ambivalen dari perubahan ideologis, menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu sederhana dan linear, tetapi sering kali kompleks dan penuh kontradiksi. Dalam novel, hal ini terlihat dari bagaimana Hasan harus berjuang untuk menemukan keseimbangan antara keyakinan lamanya dan ide-ide baru yang ditawarkan oleh Rusli, menggarisbawahi bahwa setiap ide dan keyakinan memiliki potensi untuk baik dan buruk, tergantung pada konteks dan penerimaan individu.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, "Atheis" tidak hanya merupakan cerminan dari zaman di mana ia ditulis, tetapi juga sebuah kajian mendalam tentang identitas dan perubahan dalam konteks sosial yang lebih luas. Melalui karakterisasi yang kuat, alur yang dinamis, latar yang menggambarkan realitas historis, dan gaya bahasa yang menggugah, Achdiat K. Mihardja berhasil menyampaikan pesan yang tetap relevan hingga hari ini. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keyakinan, identitas, dan perubahan, menjadikannya sebuah karya yang tak lekang oleh waktu.
DAFTAR PUSTAKA