Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Tentu Nadiem
12 November 2019 17:27 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Zaim Uchrowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Nadiem bagaimana?” tanya seorang kawan. Dia seorang eksekutif BUMN. Penunjukan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan ternyata juga mengusiknya.
ADVERTISEMENT
Sudah lima tahun ini saya menekuni soal karakter. Tepatnya Karakter Pancasila, setelah saya menulis buku berjudul tersebut pada 2013. Selain itu, beberapa kali juga diundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buat memberi masukan. Dari soal buku, sastra, hingga kompetensi.
Mungkin karena itu dia menganggap saya paham pendidikan. Apalagi dia tahu, saya juga terlibat membina sekolah. Sebuah sekolah yang kini termasuk yang termaju di Magetan. Daerah asal saya. Terutama setelah lulusannya masuk ke berbagai universitas penting. Bahkan hingga ke China.
Saya ganti bertanya, “Memang Nadiem kenapa?”
Dengan hati-hati dia sampaikan pandangannya. “Apa pendidikan kita nanti tidak rusak di tangan Nadiem?” wajahnya serius.
Nadiem Makarim. Ya, dia menteri yang paling banyak dipercakapkan sekarang. Di awal masa pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini. Dia menteri paling muda kabinet sekarang: 35 tahun. Latar belakangnya sebagai pendiri dan CEO Gojek juga jadi faktor perhatian orang.
ADVERTISEMENT
Namun yang paling menarik perhatian adalah posisinya. Nadiem ditunjuk Jokowi jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya itu. Urusan Pendidikan Tinggi pun diserahkan padanya. Dipisahkan dari urusan Riset dan Teknologi di masa sebelumnya.
“Tahu apa Nadiem soal pendidikan?” itu pertanyaan banyak orang yang merasa peduli pendidikan. Sebuah pertanyaan sah. Sukses Nadiem terasosiasikan dengan perusahaan rintisan Teknologi Informasi. Urusan ekonomi kreatif. Urusan menjadi unicorn hingga decacorn. Bukan pendidikan.
Maka banyak yang ragu. Apakah Nadiem dapat meningkatkan kualitas pendidikan sesuai tugas yang diberikan padanya? Ataukah justru akan memerosotkannya? Seorang dosen UGM bahkan merasa perlu membuat “surat terbuka”. Mengkritik Nadiem tentu. Ada juga yang memintanya mundur.
Saya di posisi berbeda. “Kita perlu Nadiem,” kata saya. Jawaban yang membuat kawan itu seperti tercengang. Bibirnya yang semula terkatup pun sedikit terbuka. “Buat pendidikan?” tanyanya. Saya mengangguk.
ADVERTISEMENT
Sudah cukup lama sistem pendidikan nyaman dalam cangkangnya yang sekarang. Perlu ada yang dapat memecahkan cangkang itu. “Nadiem saya kira mampu melakukannya.”
Setahun terakhir ini saya banyak nguping soal pendidikan. Juga mencermati beberapa aspeknya. Khususnya pada pendidikan dasar. Ada degradasi serius di dunia pendidikan kita pasca Reformasi 1998. Terutama di sekolah-sekolah negeri.
Sebelumnya ‘hubungan guru-murid’ menjadi sentra aktivitas pendidikan kita. Sarana dan sistem lebih sebagai penunjangnya. Modernisasi telah menggeser format tersebut. Relasi guru-murid bukan lagi yang dipentingkan. Sistemlah yang kini dikedepankan.
Itu bukan sama sekali keliru. Sistem jelas tak terhindarkan di dunia modern. Masalahnya: Sistem pendidikan macam apa yang kita punya? Juga seberapa efektif sistem itu buat mengusung misi mulia pendidikan? Faktanya sangat jauh dari efektif.
ADVERTISEMENT
Ki Hajar Dewantoro mengibaratkan sekolah seperti taman. Taman-taman itu harus dirawat. Agar bunga-bunga dapat tumbuh subur dan bermekaran sesuai kodrat masing-masing. Dengan sistem pendidikan yang ada saat ini, harapan Dewantoro itu jauh dari mewujud.
Dunia pendidikan tak lepas dari berbagai faktor, termasuk politik. Seperti iklim demokratisasi yang mendorong spirit ‘partisipatif’. Karena partisipatif, berbagai kalangan pun terlibat mengembangkan sistem pendidikan. Tak penting kompeten atau tidak. Asal memenuhi formalitas kualifikasinya.
Hasilnya tentu sistem yang secara formalitas bagus. Apakah sungguh bagus? Realitas lapangan menjawabnya. Perilaku korup, maraknya unggahan kabar bohong, politik uang, hingga tragedi kebakaran lahan Sumatera dan tragedi kemanusiaan di Wamena tak dapat dilepas dari pendidikan.
Ada dua hal lagi yang menjadi perhatian Presiden. Pertama, kegagalan pendidikan membuat anak-anak Indonesia “siap kerja”. Kedua, rendahnya nalar lulusan sekolah kita. Bukankah hasil Programme for International Student Assessment (PISA) mengonfirmasi itu? Kabarnya, Presiden juga beberapa kali menanyakan soal PISA itu.
ADVERTISEMENT
Otoritas dan akademisi pendidikan bukan tidak tahu kondisi tersebut. Juga sudah berusaha mencari jalan keluarnya. Revolusi Industry 4.0 maupun konsep Higher Order Thinking System (HOTS) memang jadi diskursus mereka. Tapi selalu kesulitan mengoperasionalkannya secara subtansial. Hal yang wajar karena mereka memang pengembang dan bagian dari sistem pendidikan sekarang.
Sosok-sosok hebat juga sudah bergantian menjadi Menteri Pendidikan. Semua telah mencoba membuat terobosan masing-masing. Tapi tak banyak berpengaruh. Sistem normatif yang ada saat ini begitu pejalnya. Cangkangnya begitu keras. Hingga pendidikan pun mapan dalam sistem mediocre-nya saat ini.
Itu mungkin yang membuat Presiden merasa perlu menempuh langkah radikal: Menunjuk Nadiem. Cangkang keras sistem pendidikan saat ini perlu dipecahkan. Kepejalan isinya perlu dilunakkan. Agar dapat diubah menjadi sistem yang benar berkualitas. Buat Indonesia dapat menyambut masa depan.
ADVERTISEMENT
Dunia akademis mengenal dialektika tesis-antitesis. Dalam dialektika itu, sistem pendidikan saat ini dapat diibaratkan sebagai tesis. Tesis yang, sayangnya, telah meleset dari esensi semestinya. Sistem jadi sebatas sistem pengajaran biasa. Jauh dari mampu untuk melahirkan generasi kuat.
Maka sekaranglah saatnya diajukan antitesis. Agar membongkar tesis yang ada hingga lahir sintesis. Yakni berupa sistem pendidikan baru yang memang berkualitas. Nadiem punya kapasitas mengajukan antitesis itu. Sintesanya bakal seperti apa? Waktu yang akan menjawabnya.
Yang pasti kita sekarang perlu Nadiem. Serupa pada 1524, saat Sultan Mahmud meminta Laksamana Hang Nadim membuat terobosan atas kebuntuan dalam perang melawan Portugis. Kini Presiden Jokowi menunjuk Nadiem Makarim. Buat menerobos kebuntuan sistem pendidikan sekarang.
ADVERTISEMENT
*Zaim Uchrowi, Ketua YAYASAN KARAKTER PANCASILA