Memahami Perdebatan Pemberhentian Ahok

Zainal Arifin Mochtar
Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2017 19:19 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal Arifin Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahok mengangkat dua jari. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sudah beberapa hari ini terjadi perdebatan yang hangat tentang pemberhentian Ahok.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa pandangan yang menurut saya sangat menarik. Misalnya saja yang disampaikan oleh Refly Harun dalam beberapa tulisan. Juga pandangan Denny Indrayana dalam beberapa tulisan. Tak lupa, Mahfud MD juga memberikan posisi yang sedikit berbeda dan tidak kalah menariknya.
Sederhananya, Denny Indrayana dan Mahfud MD sepakat untuk diberhentikan, meskipun Mahfud MD menambahkan dengan pilihan Perpu bagi Presiden. Sedangkan Refly Harun kekeuh untuk mengatakan tak perlu diberhentikan karena tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Saya tidak berusaha untuk mengulang lagi perdebatan mereka dalam tulisan ini. Saya sendiri mencoba memahami bahwa inilah perdebatan yang sering terjadi dalam hukum yang tengah berkembang seperti Negara kita.
Kita harus mengingat bahwa sistem legislasi kita seringkali mengenalkan suatu istilah, tetapi kemudian akan ada penggunaan istilah tersebut yang tidak pas di dalam UU lainnya.
ADVERTISEMENT
Saya menduga, bahwa ini memang lahir dari dua kemungkinan. Jika bukan karena kemampuan memahami konsepsi yang kurang atau bisa jadi karena pragmatisme legislasi yang tidak menghitung implikasinya baik-baik.
Dalam kasus perdebatan pemberhentian Ahok, penggunaan frasa kata “paling singkat”, “paling kurang”, atau malah langsung menyebut jumlah tahun itu lahir dari proses yang memang tidak terlalu rapi. Dan akhirnya, sangat mungkin mendatangkan perbedaan sudut pandang soal kapan diterapkannya.
Secara hukum, harus diakui memiliki makna yang bisa berbeda oleh karena pemahaman atas apa ketentuan hukum itu sendiri.
Hukum adalah apa yang dimaksudkan ketika suatu aturan dibentuk, yang biasanya dianut bagi kaum originalis. Mereka adalah kaum yang memaknai bahwa aturan itu adalah apa yang dimaksud oleh pembentukan UU itu sendiri, suasana kebatinannya, serta apa yang sebenarnya mau dicapai dari buat UU.
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, ada kaum yang percaya pada konsep tekstual. Doktrinnya adalah, hukum itu adalah apa yang tertulis.
Jika UU mengatakan demikian, maka demikianlah maksudnya. Jika mau mencari tafsiran dari ketentuan tersebut, maka penafsiran teks dilakukan semisal menggunakan penafsiran tematis. Penafsiran yang mengumpulkan semua kata sejenis, lalu melihat penggunaannya dan melihatnya sebagai apa yang sesungguhnya makna kata tersebut berdasarkan kata-kata sejenisnya.
Sederhananya, penggunaan kata-kata “paling singkat”, “paling lama” adalah kembali ke maksud pembentuk UU tatkala UU tersebut disusun bagi kaum originalis. Sedangkan bagi kaum tekstual lihatlah kata tersebut dan penggunaannya tergantung pada kata yang dituliskan.
Pada titik inilah saya memahami apa yang dituliskan oleh Refly Harun.
Dia berpegang kokoh atas tafsir teks kata “paling singkat” dengan mengumpulkan kata sejenis dan menggunakan penafsiran tematis untuk melihatnya secara detail. Dan secara keseluruhan, saya bisa mengatakan bahwa penafsiran Refly Harun benar adanya.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan metode tersebut, kesimpulan yang diambilnya benar. Isunya barangkali tinggal satu hal. Apakah Refly Harun konsisten dengan pendekatan itu? Karena dalam beberapa hal, Refly Harun juga tidak ketat amat dengan penggunaan metode itu dan pernah juga berpindah ke metode lain dalam memahami hukum.
Tapi jika ingin fair, pertanyaan yang sama sebenarnya bisa dikirimkan ke Denny Indrayana dan Mahfud MD. Seberapa ketat dengan pendekatan metode hukum yang dia pakai dan tak pernah berpindah dari cara berfikir satu ke berfikir lainnya?
Saya pun menjadi saksi baik Denny Indrayana dan Mahfud MD pun tidak ketat-ketat amat dengan pendekatan penafsiran dan pembacaan hukum yang digunakan.
Pertanyaannya apakah ini memang sudah menjadi ciri pendekatan hukum para sarjana hukum kita dalam memahami persoalan hukum yang tidak bermazhab dengan sangat ketat pada satu mazhab saja.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri punya pendirian bahwa Ahok harus diberhentikan. Penjelasan hukumnya tak perlu diulangi. Mirip dengan yang disampaikan oleh Denny Indrayana dan Mahfud MD. Pendirian saya ini jelas dan sudah saya sampaikan.
Akan tetapi tidak berarti saya harus mempersalahkan cara pandang Refly Harun dan memaki-maki Refly. Saya memahami Refly Harun berijtihad dalam pemahaman hukumnya. Jika benar semoga dua pahala untuknya dan satu jika keliru.
Sekali lagi saya punya posisi sendiri. Sebagaimana saya punya kesimpulan sendiri apakah Ahok bersalah soal penistaan atau tidak.
Akan tetapi dalam hal pemberhentian, selain berbagai alasan hukum yang bisa diperdebatkan, saya memahami bahwa ada moral publik yang harus dijaga oleh Presiden yakni jangan berikan kemungkinan terdakwa tetap menjadi pejabat publik.
ADVERTISEMENT
Ongkos sosialnya bisa terlalu mahal. Kemungkinan “kotak pandora” yang terbuka juga menjadi soalan besar di kemudian hari.
Saya bayangkan, akan ada banyak jenis analisis lain yang mencoba dengan berbagai dalih untuk tidak berhenti. Hal yang harus diingat adalah apapun pandangan itu adalah pandangan ahli. Pandangan ahli yang tidak mengikat karena bukan hukum itu sendiri.
Presiden-lah yang akan mengambil langkah berdasarkan berbagai pandangan yang beredar. Jika Presiden memberhentikan pun, terbuka bagi Ahok untuk mengujinya di PTUN.
Pada saat yang sama tidak memberhentikan terbuka juga kemungkinan Presiden akan dipertanyakan di forum-forum, semisal Angket DPR. Karenanya, saya yakin Presiden sendiri akan memikirkan secara tidak serampangan untuk mengambil langkah.
Tentunya, Presiden harus berpikir cepat dan menimbang begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pengambilan keputusannya. Pada saat yang sama saya membayangkan harus ada perbaikan cepat di tingkat penyusunan aturan dan hukum kita.
ADVERTISEMENT
Problem pemberhentian Ahok yang jadi ramai akibat beda persepsi saya yakini sebagai puncak gunung es. Ada begitu banyak persoalan serupa di berbagai UU. Kita punya persoalan besar soal Ekonomi, Politik dan Sosial yang hampir serupa oleh karena tak rapinya UU mengatur dengan detail.
Perbaikan dengan model perubahan UU, Fatwa MA, Menguji di MK atau MA dan menerbitkan aturan penjelas bahkan melakukan tindakan diskretif menjadi pilihan-pilihan yang mungkin untuk mengurangi perdebatan akibat gejala tak rapi hukum tersebut.
Tulisan ini saya akhiri di sini. Hari-hari akan mulai perdebatan soal implikasi bagi Presiden dalam mengambil langkah dalam pemberhentian Ahok. Saya mau menuliskannya secara khusus. Tapi setelah tulisan ini.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta
ADVERTISEMENT