Konten dari Pengguna

Perihal Menata Regulasi (2)

Zainal Arifin Mochtar
Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta.
2 Desember 2017 16:43 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal Arifin Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Zainal Arifin Muchtar, ahli hukum UGM (Foto: Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
Selain penataan Permen dan Perpres yang telah disampaikan sebelumnya, maka setidaknya ada tiga hal penting lainnya yang harus diselesaikan. Pertama, perihal Peraturan Daerah; Kedua, tentang peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara independen; dan ketiga, tentang kontrol dan pengujian peraturan perundang-undangan ini.
ADVERTISEMENT
Peraturan Daerah
Perihal peraturan daerah bukan hal yang mudah. Karena sejatinya hal ini berkaitan dengan sistem dan model desentralisasi Indonesia dalam sistem negara kesatuan. Seberapa jauh corak daerah sangat ditentukan dengan sistem negara kesatuan yang tentunya sangat berbeda dengan model negara federal. Pada saat yang sama, dalam negara kesatuan maka model dan seberapa jauh negara memberikan desentralisasi kepada daerah.
Model Indonesia saat ini adalah adanya desentralisasi asimetris terhadap beberapa daerah; yakni DKI Jakarta, Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Selebihnya menggunakan model desentralisasi yang seragam yakni dengan model adanya urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan umum.
Semuanya menjadi urusan pemerintahan pusat dan daerah, hanya saja dibagi berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan. Artinya, ada yang diserahkan ke daerah, ada yang dilimpahkan sebagian dan ada yang dengan penugasan kepada daerah otonom untuk melaksanakan. Model ini terlalu menyamakan seluruh daerah di Indonesia. Padahal pada faktanya tidak sama.
ADVERTISEMENT
Menarik sesungguhnya bagi negara ini untuk memikirkan model desentralisasi yang penuh asimetris tapi dilakukan secara bertahap. Mungkin secara sederhana dapat diistilahkan asymetrical sequential decentralization. Sedikit memodifikasi Tulia G. Faletti yang menulidkan tentang Sequential Decentralization. Bayangan sederhananya adalah seluruh daerah di Indonesia adalah asimetris.
Nah, tugas negara adalah mengevaluasi dan melihat kemampuan daerah untuk menentukan derajat yang bisa di-sequential-kan. Misalnya saja, tahapan desentralisasi dibagi menjadi enam, dari yang paling devolutif hingga desentralisasi yang sederhana semisal hanya dalam bentuk desentralisasi birokrasi. Enam level inilah yang dibuat oleh negara dan setiap provinsi akan mendapatkan posisinya berdasarkan kriteria yang ditentukan pusat bahwa untuk kemampuan daerah seperti itu maka daerah tersebut berada pada level mana.
ADVERTISEMENT
Level inilah yang akan dievalusasi setiap jangka waktu tertentu untuk menentukan bahwa daerah tersebut akan naik level atau malah turun level. Level inilah yang akan menentukan urusan dan kewenangan yang diserahkan bahkan hingga dana transfer daerahnya. Bisa jadi bahkan hingga menentukan pemilihan langsung ataukah pejabatnya ditunjuk saja oleh Pusat.
Dengan model tersebut maka sederhananya otonomi akan ada di provinsi dan kabupaten kota juga akan dilakukan leveling berdasarkan evaluasi pemerintah provinsi. Provinsi akan memilih mana daerah yang sudah mampu untuk menjalankan urusan yang dipegang oleh provinsi. Tulisan ini terlalu sederhana untuk menjelaskan ide dibalik konsepsi asymetrical sequential decentralization ini. Mungkin akan dibahas dalam tulisan lain. Tetapi pada intinya, dengan konsepsi ini Perda provinsi-lah yang akan mendapatkan posisi yang boleh diatur berdasarkan level otonominya. Makin tinggi levelnya maka akan diberikan kesempatan makin besar untuk mengatur daerahnya sendiri. Sedangkan makin rendah levelnya maka kewenangan mengeluarkan perda juga mengecil karena disesuaikan dengan levelnya.
ADVERTISEMENT
Ini akan membatasi jumlah perda yang dikeluarkan karena betul-betul hanya berkaitan dengan kapasitas daeranya. Kontrolnya akan dibuat bertingkat Pusat dan Provinsi. Pada saat yang sama tetap bisa menjaga ciri negara kesatuan oleh karena Pusat tetap memiliki pengaruh yang kuat pada proses leveling daerah tersebut. Dengan begitu, Perda akan menjadi sangat terbatas seiring dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Peraturan Lembaga Negara Independen
Lembaga Negara Independen tentunya adalah lembaga negara tersendiri yang memang memiliki kewenangan untuk mengeluarkam aturan berdasarkan doktrin self regulatory body. Mengenai ciri lembaga negara independen dan hal lainnya ini dapat dilihat pada buku yang saya tuliskan “Perihal Lembaga Negara Independen” (2016). Yang memang pada intinya, salah satu ciri lembaga negara independen adalah dapat membentuk aturan.
ADVERTISEMENT
Problemnya adalah pada level mana aturan tersebut berada. Harus diingat bahwa lembaga negara independen harusnya terjaga independensinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena sebaiknya dihindari adanya kemungkinan untuk domestikasi lembaga-lembaga ini melalui peraturan lainnya. Karenanya, seharusnya peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga negara independen ini adalah setingkat dengan Peraturan Pemerintah.
Akan tetapi, memang harus dibatasi bahwa peraturan lembaga negara independen ini hanya dikeluarkan tatkala UU memerintahkan atau adanya kebutuhan untuk mengisi kekosongan aturan dan selama tetap masih merupakan ranah kewenangan dari lembaga negara tersebut.
Tetapi, ini dilakukan setelah melakukan perampingan lembaga negara indepeden. Ada beberapa lembaga negara independen yang bisa dirampingkan, misalnya Komnas HAM, Komnas Anak, Komnas Perempuan dan yang lainnya bisa dijadikan satu lembaga dengan kamar-kamar yang khusus di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Akan ada kamar khusus anak, perempuan, bahkan kejahatan HAM di masa lalu, agar tidak perlu terlalu banyak lembaga negara independen untuk satu hal yang “berbau” hampir sama. Termasuk lembaga yang berkaitan dengan pers dan informasi yang mungkin dapat disatukan dalam satu lembaga, yang di dalamnya akan ada kamar yang khusus berkaitan dengan informasi yang disebarkan secara terestrial, yang khusus cetak dan yang khusus informasi lainnya.
Artinya, meski ada kewenangan yang bersifat self regulatory ini dan dijadikan setingkat PP, semuanya akan terkontrol jumlahnya oleh karena lembaga negara independennya yang dirampingkan dan tidak perlu terlalu banyak. Dan pada saat yang sama lembaga ini tetap bisa terjaga independensinya dengan tidak bisa dikuasai oleh Pemerintah misalnya melalui PP. Pengujiannya bisa melalui judicial review secara langsung oleh karena tingkatannya yang setara dengan PP
Gedung Mahkamah Agung  (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Agung (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pengujian Peraturan Perundang-undangan
ADVERTISEMENT
Terakhir soal pengujian peraturan perundang-undangan. Sebaiknya dilakukan dengan konteks disatuatapkan di salah satu mahkamah. Tidak lagi dengan model UU dilakukan ke MK sedangkan di bawah UU ke MA. Upaya ini paling sederhana adalah untuk menyelesaikan dualisme pengujian akibat dua level yang berbeda.
Dapat dibayangkan kemungkinan adanya UU yang dibatalkan MK akan tetapi PP atau Perpres-nya masih dianggap hidup hanya karena tidak akan yang melakukan pengujian ke MA. Serta pada saat yang sama MK tidak punya kewenangan untuk mengatakan suatu PP atau Perpres batal. Menyatu atapkan akan mempermudah hal itu dilakukan, cukup sekali membatalkan UU dan pada saat yang sama bisa dipakai membatalkan aturan yang berada di bawahnya.
Ini berlaku hingga pengujian ke Perda. Oleh karena tidak lagi dibolehkan adanya executive review, maka harus diberikan posisi khusus pada Pusat tatkala mau meninjau peraturan daerah yang menyalahi prinsip desentralisasi. Maka untuk itu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi diberikan legal standing khusus untuk mengajukan pengujian atas perda. Khusus mengenai hal ini pun akan saya tuangkan dalam tulisan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Apakah penyatu atapan itu di MK atau MA? Sila diperbincangkan dengan detail. Walau saya pribadi akan memilih di MK. Apakah akan ada pembengkakan perkara yang besar dan bisa mengganggu MK? Saya yakin tidak oleh karena ini hanya berkaitan dengan bagaimana mengadministasi perkara. Toh perkara ratusan sengketa pemilu bisa diselesaikan MK dengan jangka waktu yang terbatas. Artinya, ketakutan akan membengkaknya perkara di MK lebih banyak berada pada bagaimana mengadiministrasikan perkara.
Hal lainnya
Memang masih ada begitu banyak hal lain yang harus diperbincangkan dalam kaitan dengan penataan regulasi. Ini bisa dilakukan dengan mulai dari memperbaiki proses legislasi dengan menyamakan dengan prinsip legislasi dalam sistem presidensil. Sila membaca disertasi Saldi Isra (2010) untuk ide ini. Akan tetapi pada initinya ada perbaikan proses legislasi yang bersifat menyeluruh. Pada saat yang sama memperbaiki relasi pusat dan daerah serta bagaimana pengujian atas aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini harus diakhiri dengan pernyataan bahwa ini adalah ide yang terbuka dengan berbagai diskusi. Karena penyederhanaan dan penataan regulasi memang bukan hal yang sederhana dan berkaitan dengan begitu banyak sistem dan aturan hukum yang ada di pelbagai UU. Mari mencoba mendiskusikannya secara lebih baik. Bahkan menariknya secara hati-hati, agar “rambut” tersebut bisa tertarik tanpa tepung-nya menjadi terserak.[]