11 Alasan Kenapa RUU Kesehatan OBL Harus Ditolak

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2023 12:44 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokter-nakes melakukan aksi penolakan terhadap RUU Kesehatan di depan Kantor Kemenkes RI, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/5/2023). Foto: Hedi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dokter-nakes melakukan aksi penolakan terhadap RUU Kesehatan di depan Kantor Kemenkes RI, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/5/2023). Foto: Hedi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan hiruk-pikuk mengenai RUU Kesehatan Omnibuslaw (RUU Kesehatan) dengan pelbagai narasi dan upaya-upaya pihak kemenkes yang terkesan tergesa-gesa dan menggunakan segala cara untuk segera meloloskannya.
ADVERTISEMENT
Alasan dari urgensi yang sering dilontarkan terkait pembahasan RUU yang “mendadak” ini salah satunya adalah kurangnya jumlah dokter spesialis, sehingga banyak daerah yang belum terlayani.
Terkait dengan hal ini, kita bisa berdebat panjang lebar, dan ujung-ujungnya ternyata bukan saja soal jumlah yang kurang, melainkan lebih dominan pada persoalan distribusi dokter spesialis yang karut marut.
Yang saya tangkap, alih-alih mengakui hal ini sebagai sebuah kegagalan, kemenkes menjadikan organisasi profesi (OP) dokter dan profesi kesehatan lainnya seolah sebagai kambing hitam dari problematika Kesehatan nasional.
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
Fakta yang pertama, tidak pernah ada studi terkait kebutuhan tenaga dokter yang disusun atas landasan situasi negeri dengan ribuan pulau dengan profil demografi sampai sosiokultural hingga keragaman infrastruktur yang amat berbeda dari satu wilayah dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
Itu mengapa kita tidak bisa hanya pakai standar 1 dokter per 1000 atau 10.000 populasi sesuai dengan standar WHO. Saya coba ambil contoh kasus misalnya terkait dengan kegawatan pasca cedera otak akibat kecelakaan lalu lintas, pasien perdarahan otak harus ditolong dalam waktu 2-4 jam, artinya harus ada spesialis bedah saraf untuk setiap jarak transportasi 4 jam.
Contoh lain pada kegawatan saat persalinan/ibu melahirkan, harus ditolong dalam waktu kurang dari 1 jam dengan risiko ancaman kematian bagi salah satu dari ibu, bayi atau keduanya akan meninggal. Artinya diperlukan seorang spesialis kandungan untuk setiap jarak transportasi satu jam.
Jadi kebutuhannya akan berbeda untuk setiap jenis spesialisasi. Sepemahaman saya, Kemenkes tidak punya kapasitas dan kemampuan untuk membuat pemetaan seperti ini kecuali dengan melibatkan OP spesialis terkait.
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
Kedua, bisa jadi dokter di Indonesia adalah orang-orang yang paling sibuk, karena pekerjaan dokter memberikan jasa kepada pasien tidak dibatasi oleh jam kerja, apalagi bila berhadapan dengan kasus gawat darurat yang mengancam jiwa.
ADVERTISEMENT
Bahkan di rumah sakit (RS) pendidikan, para dokter ini punya tugas tambahan untuk mendidik dan melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan etika serta disiplin profesi kepada generasi berikutnya, baik calon dokter umum maupun calon dokter spesialis.
Kalau para dokter dan profesi kesehatan lain yang umumnya hampir tidak punya waktu luang ini sampai beramai-ramai turun ke jalan untuk berdemo di bawah terik matahari, pastilah ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar urusan pribadi atau bahkan profesi, dan benar-benar memaksa/gawat terkait pembahasan RUU Kesehatan ini.
Ketiga, naskah akademik dan draft RUU yang “tidak jelas” siapa yang Menyusun dan entah dari kapan. Lazimnya, semua naskah akademik dan draf RUU apa pun wajib membuka akses secara bebas bagi siapa pun untuk bisa dibaca dan dianalisis secara independen.
ADVERTISEMENT
Tudingan bahwa Menkes main belakang terkait draf resmi RUU Kesehatan, ini disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR, Yahya Zaini, saat Raker di Gedung DPR, hari Selasa 24/1/2023 (Kompas.com).
Para tenaga kesehatan (nakes) melakukan aksi demo penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Lebih lanjut dikatakan oleh Ketua Komisi IX bahwa Baleg tidak pernah menyiapkan dan tidak ada tim yang menyiapkan RUU ini, dan Menkes terkesan pura-pura tidak tahu draf resmi RUU Kesehatan. Sedangkan Menkes mengakui ada 6-7 versi draf RUU yang isinya berbeda-beda.
Keempat, jubir kemenkes (atau mengeklaim sebagai “teman menkes”) yang semula sudah berteriak-teriak melalui berbagai media social terkait anggaran kesehatan yang naik jadi 20% di APBN dan 10% di APBD, ternyata anggaran yang semula 5% dari APBN dan 10% dari APBD (dalam usulan DPR) menjadi hilang dalam DIM Kemenkes.
ADVERTISEMENT
Hal ini kontradiktif dengan kewajiban konstitusi negara ini adalah meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan rakyat, dan tertuang jelas dalam pasal 34 ayat 3 UUD 1945 tentang kewajiban negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Tap MPR No.10-2001 jelas menyebutkan tentang kewajiban pemerintah untuk menyediakan anggaran kesehatan (mandatory spending) sebesar 15% dari APBN. Selain itu, ketentuan tentang mandatory spending juga tertuang pada UU No 36-2009, ps 171, sebesar 10% APBD dan 5% APBN di luar gaji. \
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Balai Sudirman Jakarta, Selasa (14/3/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Kelima, dalam banyak kesempatan sosialisasi, Menkes sering mengungkapkan banyaknya WNI yang berobat ke luar negeri sehingga ratusan trilliun devisa negara harus hilang sebagai alasan perlunya RUU Kesehatan ini.
Tapi alih-alih menyediakan anggaran yang memadai untuk membangun fasilitas layanan kesehatan yang berkualitas dan mendanai sekolah spesialis yang berbiaya mahal (sebagaimana tertuang dalam UU No. 29-2013), dalam draft RUU Kesehatan ini bisa disimpulkan solusi masalah di atas dengan cara mengundang investor dan pemilik modal untuk berbisnis atas nama kesehatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Keenam, negeri +62 ini masih memiliki banyak persoalan terkait buruknya berbagai indikator kesehatan masyarakat, seperti misalnya tingginya angka stunting, tingginya angka kematian ibu hamil, rendahnya capaian vaksinasi anak.
Belum lagi kalau kita bicara tentang penyakit tidak menular seperti tingginya kematian pada stroke dan penyakit jantung. Angka stunting atau gagal tumbuh yang mencapai 30,8%, tertinggi ke 2 di Asean dan ke 5 di dunia (data Riskesdas 2018, https://p2ptm.kemkes.go.id) jelas sekali akan berpengaruh pada kualitas generasi penerus masa depan bangsa ini.
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutter Stock
Ini adalah persoalan serius di mana kemenkes memainkan peran utama upaya pengentasan stunting, dengan kata lain kemenkes-lah pihak yang paling bertanggung jawab, bukan IDI atau organisasi profesi para nakes lain.
ADVERTISEMENT
Ketujuh, program penyediaan 7 dokter spesialis dasar dan penunjang (Bedah, Kebidanan, Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Anestesi, Radiologi, dan Patologi Klinik/ Laboratorium) untuk 514 RSUD Kabupaten/Kota yang telah berjalan lebih dari 20 tahun tapi baru separuh yang terpenuhi adalah contoh lain dari kegagalan kemenkes.
Dengan otonomi daerah, seharusnya Kemenkes mau duduk bersama dengan Kemendagri dan Kemendikbud menyelesaikan persoalan distribusi dokter spesialis ini (Kompas, 27 Des.2022).
Alih-alih mengakui kegagalannya, Buruk Muka Cermin Dipecah…eh Dibelah. Terkait dengan sulitnya distribusi dokter spesialis, saat Raker Menkes dengan Komisi IX DPR, Selasa 24 Januari 2023, Menkes malahan menimpakan kesalahan pada IDI terkait pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) yang harus direvalidasi setiap 5 tahun dan penerbitan Surat Ijin Praktek (SIP) yang memerlukan rekomendasi organisasi profesi. Saya sampai mengernyitkan dahi, betapa tidak nyambungnya kedua hal ini. Bagi saya, pihak kemenkes terlalu menyederhanakan masalah dengan analisis penuh bias.
Ilustrasi tulisan tangan resep dokter. Foto: DW labs Incorporated/Shutterstock
Kedelapan, terkait upaya kemenkes dalam melakukan sosialisasi RUU Kesehatan ini kepada masyarakat luas, dan untuk memperoleh dukungan terutama dari para dokter dan para nakes pemula (mereka yang baru saja menggeluti profesi ini), pihak kemenkes membangun banyak narasi bahwa buruknya infra struktur layanan kesehatan masyarakat bukan kesalahan pemerintah tapi biang kerok terbesarnya adalah organisasi profesi (IDI).
ADVERTISEMENT
Menkes terlalu sering mengumbar isu-isu negatif terkait IDI yang bahkan lebih sering berupa tuduhan tanpa bukti berlandaskan asumsi semata, antara lain isu tentang perbedaan kasta antara dokter dan perawat.
Serta isu adanya pemerasan terselubung di dunia kedokteran hingga permasalahan bullying di sekolah kedokteran yang selalu dikaitkan dengan masalah Kesehatan yang menyeluruh dan langsung dijadikan alasan-alasan utama bahwa RUU Kesehatan harus secepat mungkin direalisasikan.
Semua narasi tersebut di atas adalah sedikit contoh yang dijadikan alasan untuk pengambilalihan semua peran Negara, peran Universitas, dan peran OP terkait tata kelola dokter dan nakes menjadi di bawah genggam kekuasaan Kemenkes sesuai pasal-pasal RUU Kesehatan OBL.
Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap merawat pasien di rumah sakit darurat penyakit virus corona (COVID-19), di Jakarta, Indonesia, 17 Juni 2021. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
Hal ini jelas bertentangan dengan demokrasi dan reformasi, dan sebagaimana pengalaman selama 75 tahun merdeka Kemenkes tidak bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
ADVERTISEMENT
Kesembilan, lebih tidak elok dan bisa dibilang tidak etis lagi, narasi-narasi Menkes yang bertujuan memecah belah organisasi profesi para dokter dan nakes serta bisa menimbulkan rasa curiga dan tidak percaya di kalangan nakes muda kepada para guru dan seniornya.
Dan tujuan akhirnya adalah meruntuhkan marwah OP dan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada dokter dan nakes Indonesia.
Selama ini, dengan kewenangan yang dimilikinya OP berperan menjaga nilai etika dan disiplin profesi anggotanya, yang sekaligus juga melindungi masyarakat dari berbagai bentuk praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan kemajuan iptekdok, praktik yang tidak berbasis EBM, dan praktik yang berbasis jual beli/transaksi bisnis yang hanya mencari keuntungan dari penyakit yang diderita pasien. Kewenangan-kewenangan ini semua akan diambil alih oleh kemenkes (Konsil Kedokteran, MKDKI, Kolegium, OP tidak lagi “tunggal”).
Lambang IDI. Foto: Instagram/@ikatandokterindonesia
Kesepuluh, kalau saja kita boleh membandingkan IDI dan Kemenkes sebagai sebuah institusi, lalu kita hitung jumlah peristiwa penyalahgunaan wewenang, secara kasat mata kemenkes tidak berbeda dari kementerian lain di negeri +62 ini yang potensi untuk adanya kasus KKN-nya relatif besar.
ADVERTISEMENT
Masih terpateri di ingatan kita sekitar 40an tahun yang lalu adanya ‘pojok maut’ di Kemenkes yang bisa mengatur penempatan dokter di daerah ‘basah’ dengan suap. Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely, demikian kata sosiolog Lord Acton. Di era reformasi saja faktanya sudah dua Menteri Kesehatan yang jadi pesakitan KPK.
Kesebelas, adanya akumulasi pengaturan dan tata kelola Dokter dan nakes dari hulu sampai hilir, mulai dari produksi sampai pendayagunaannya, selain berpotensi besar terjadinya KKN, juga tidak sesuai bahkan menabrak banyak prinsip-prinsip negara demokrasi sesuai konstitusi (Disahkannya RUU ini otomatis akan membatalkan banyak UU yang masih berlaku dan beberapa keputusan MK yang seharusnya mengikat dan bersifat final.)
Kesimpulannya, dari sisi pelaksanaan program-program perbaikan layanan kesehatan yang digagas pihak kemenkes, serta banyaknya kewajiban pemerintah yang belum dipenuhi (misalnya UUD pasal 34 ayat 3 tentang fasilitas layanan kesehatan yang berkualitas), semuanya bisa dilakukan dalam kerangka peraturan perundangan yang ada dan masih berlaku.
ADVERTISEMENT
Artinya RUU Kesehatan ini harus dibahas lebih mendalam dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dengan ‘meaningful participation’, bukan sekadar sosialisasi yang dipaksakan dan partisipasi abal-abal, dan tidak boleh dipaksakan untuk segera diberlakukan, demi masa depan layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukan demi masuknya investasi pemilik modal yang akan menjadikan layanan kesehatan untuk rakyat sebagai lahan bisnis untuk mencari keuntungan semata. Akhir kata, demi kemaslahatan seluruh komponen bangsa, pengesahan RUU OBL Kesehatan ini menjadi UU harus ditolak.