news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Toxic Femininity, Mengekang Kebebasan Perempuan?

Zaska Yogawati Fitriah
Seorang Mahasiswa S1 jurusan Pendidikan IPS, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11 Maret 2025 15:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaska Yogawati Fitriah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Edit by Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Edit by Canva.
ADVERTISEMENT
Girls, kalian pernah dengar tidak kalimat-kalimat seperti, “Jangan terlalu ambisi sama pendidikan, nanti cowok-cowok pada minder!”, “Masa, perempuan gak bisa masak? Situ perempuan atau bukan?”, “Bentuk badan juga harus diperhatikan, biar cowok pada tetarik!”, “Cantik itu harus putih, langsing, tinggi! Pasti cowok-cowok banyak yang tertarik!”
ADVERTISEMENT
Banyak lagi kalimat-kalimat semacam itu yang dilimpahkan pada perempuan. I know and you know, perempuan juga perlu memiliki sisi femininnya, bahkan secara alamiah pastinya muncul dalam diri seorang perempuan. Namun, hal itu bisa menjadi racun bagi perempuan dalam mengekspresikan hidupnya apabila ditekan dan membatasi. Perkataan di atas bisa dikatakan sebagai toxic femininity. Apa sih, toxic femininity itu?
Mungkin sebagai dari kita masih asing dengan sebutan toxic femininity itu. Sama halnya dengan toxic masculinity yang merugikan laki-laki, toxic femininity juga ada loh!
Mengutip dari yoona.id, toxic femininity atau feminitas beracun adalah standarisasi yang dibuat oleh masyarakat tentang hal-hal yang harus dimiliki oleh perempuan. Hal itu, dianggap mencirikan perempuan yang ideal bagi perempuan, contohnya perempuan harus bisa memasak. Toxic femininity ini juga mengacu pada kepatuhan terhadap konsep budaya patriarki yang justru menekan perempuan untuk tunduk secara seksual, kooperatif, pasif, dan sering dijadikan objek fisik sehingga perempuan dituntut cantik sesuai standar ideal yang dibuat oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Very Well Mind, Jika toxic masculinity mendorong kekerasan dan dominasi guna menegakkan dinamika kekuasaan yang tidak setara, maka toxic femininity mendukung penerimaan diam-diam terhadap kekerasan dan dominasi guna bertahan hidup.
Toxic femininity masih dianggap sebagai bentuk perlawanan dan penolakan keras perempuan terhadap bentuk-bentuk budaya patriarki. Padahal, toxic femininity melawan bentuk-bentuk yang mengekang perempuan untuk mengekspresikan hidupnya di ruang publik sama halnya seperti laki-laki, tanpa adanya diskriminasi . Perempuan memiliki sifat alamiahnya yang muncul secara alami sebagai seorang perempuan. Namun, standar yang diberikan masyarakat kepada perempuan tampaknya akan menjadi toxic seperti tuntutan untuk tidak perlu berpendidikan tinggi, perempuan harus bisa memasak, tekanan standar kecantikan perempuan ideal, dan lain-lain.
Girls, what we should do?
ADVERTISEMENT
We shoud know, feminitas dibentuk karena aspek-aspek yang secara alamiah juga dimiliki oleh perempuan. Perempuan dicirikan sebagai orang yang lemah lembut, memiliki kesabaran, kelembutan, empati yang tinggi, dan lainnya. Hal-hal itu akan menjadi toxic apabila menekan kebebasan perempuan dalam mengekspresikan hidupnya, bukan? Seperti, perempuan tidak punya kebebasan dalam menyampaikan aspirasinya karena dianggap harus pasif dan berperasaan.
Gambar: Source from Canva.
Tidak semua hal yang ditimpakan pada kita sebagai perempuan itu bisa dianggap toxic. Pastinya kita bisa menyadari, ekspektasi dan tekanan sosial yang membatasi akan berakibat tidak sehat pada diri kita sendiri. Focus on yourself. Perbaiki apa yang kurang dalam diri, jadilah perempuan yang berdaya, meskipun tidak benar-benar mampu memenuhi ekspektasi yang dibuat oleh orang lain. Just keep being you. Jangan fokus pada hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Bukan mengubah, tetapi memperbaiki hal-hal yang kurang. Dengan catatan, tidak membuat kita tertekan, jadilah diri sendiri yang apa adanya.
ADVERTISEMENT
Statement soal perempuan itu lemah jangan sampai membatasi kita sebagai manusia untuk berkembang. I know and you know, perempuan secara alami dianugerahi dengan perasaan yang lemah lembut. Namun, bukan berarti kita dituntut untuk pasif dan tidak bisa melawan.
Kita tidak bisa memungkiri dan menolak feminitas yang terus berkembang dan dijadikan patokan seorang perempuan dalam hidupnya. Sejatinya, kita sebagai perempuan punya keistimewaan yang perlu kita syukuri. Namun, kembali lagi pada diri kita sendiri dalam menentukan pilihan hidup. Jangan sampai ada hal-hal yang mengekang kebebasan kita sebagai perempuan, ya!
Let’s go girls!