Konten dari Pengguna

Peran Moderasi Beragama di Tengah Keberagaman

Zein Maestro
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sosok pria bersahaja dengan segala kesederhanaan.
16 Juni 2020 21:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zein Maestro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keberagaman dan persatuan. Foto: Republika/Yasin Habibi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keberagaman dan persatuan. Foto: Republika/Yasin Habibi
ADVERTISEMENT
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan multikultural, keberagaman di Indonesia menjadi sebuah anugerah dan kehendak Tuhan yang patut disyukuri karena dengan keragaman itulah seseorang dapat mengambil jalan tengah dalam segala hal, ketika satu pilihan yang tersedia tidak memungkinkan untuk dijalankan. Banyak yang terjebak ke dalam paham ekstremisme karena tidak mengetahui bahwa ada kebenaran lain yang masih dapat ditempuh.
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan segala keragamannya yang meliputi etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama menjadikannya sebagai negara yang paling kaya akan keragaman. Menurut (Kementerian Agama RI, 2019) tidak kurang dari 1.331 suku dan sub-suku yang ada di Indonesia, sebagaimana data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010. Meski pada tahun 2013, BPS bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) berhasil mengklasifikasikannya menjadi 633 kelompok-kelompok suku besar.
Sementara untuk bahasanya, pada tahun 2017 Badan Bahasa berhasil memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia dan itu belum termasuk dialek dan sub-dialeknya. Belum lagi terdapat enam agama yang dipeluk dan diyakini oleh bangsa Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
ADVERTISEMENT
Keragaman itu memang selalu menimbulkan perbedaan, perbedaan di bidang apa pun selalu memunculkan konflik. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka akan sangat berpotensi menimbulkan sikap ekstrem yang selalu membenarkan pilihan-pilihan yang terbatas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan solusi yang mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan keagamaan, di sinilah peran moderasi beragama dibutuhkan yang diyakini mampu menghargai keragaman pilihan dan menyelamatkan kita dari ekstremisme, intoleran, dan aksi kekerasan.
Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, (Dawing, 2017) mengatakan bahwa Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
ADVERTISEMENT
Semangat dan spirit moderasi beragama sejatinya sudah melekat dan sudah diimplementasikan oleh seluruh agama yang ada di Indonesia. Berdasarkan penjelasan (Kementerian Agama RI, 2019) konsep moderasi pada setiap agama berbeda-beda, seperti halnya dalam agama Islam terdapat konsep wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam internal umat beragama.
Moderasi beragama juga dapat dilihat dalam perspektif Gereja Katolik. Namun, istilah yang mereka gunakan bukan berupa “moderat” melainkan “terbuka” terhadap “fundamentalis” dan “tradisionalis” (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik).
ADVERTISEMENT
Adapun dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang.Periode itu terdiri dari gabungan empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga, umat Hindu mengadaptasikan ajaran-ajarannya sebagai bentuk moderasi.
Selanjutnya di dalam agama Buddha, esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Konghucu. Umat Konghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kacamata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan sesuatu yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Dari sini sangat jelas, bahwa moderasi beragama sangat berperan untuk memerangi ekstremisme, intoleran, dan aksi kekerasan di dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara. Selain mampu berdampingan dengan pemeluk agama lain secara harmonis, moderasi beragama juga layak menjadi solusi dan formula untuk mencegah berbagai paham radikal maupun liberal di Indonesia.
Hal ini senada dengan ungkapan (Zamimah, 2018) bahwa moderasi adalah nilai inti dalam ajaran Islam. Bahkan karakteristik ini dapat menjadi formula untuk mengatasi berbagai persoalan umat terkhusus di era globalisasi saat ini seperti persoalan radikalisme keagamaan, takfir, fanatisme buta (at-ta’ashshub al-a’mâ), yang tentunya memerlukan sebuah sikap proporsional dan adil yang teridentifikasikan dalam sebuah konsep yaitu wasathiyyah.
Penulis : Muhammad Zainur Rizki
ADVERTISEMENT
(Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Referensi
Dawing, D. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural. Rausyan Fikr: Jurnal Studi Islam Ushuluddin dan Filsafat, 13(2), 225-255.
Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Balitbang Diklat Kementerian Agama RI.
Zamimah, I. (2018). Moderatisme Islam Dalam Konteks Keindonesiaan (Studi Penafsiran Islam Moderat M. Quraish Shihab). Jurnal alfanar, 1(1).