Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Humor vs Pajak: Belajar dari Protes Damai Serbia
3 November 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ryo Zen Favian Inzaghi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata "diktator," kebanyakan orang mungkin membayangkan perlawanan yang penuh dengan amarah, teriakan, atau bahkan kekerasan. Namun, warga Serbia di bawah kepemimpinan Slobodan Milosevic justru mengambil pendekatan yang tak terduga, menghadapi penindasan dengan tawa. Siapa sangka, tawa bisa jadi senjata?
ADVERTISEMENT
Di dalam karyanya yang berjudul “Humor and Nonviolent Struggles in Serbia” Janjira Sombatpoonsiri (2015, h.36-44) menggambarkan bagaimana rakyat Serbia menemukan cara kreatif untuk menentang kekuasaan Milosevic, menggunakan humor sebagai senjata dalam demonstrasi damai mereka.
Pada tahun 1990-an, Slobodan Milosevic membawa Serbia ke dalam masa-masa yang bisa dibilang… suram. Sepanjang kepemimpinannya, ia melancarkan serangkaian perang yang menjerumuskan Serbia ke dalam sanksi internasional dan krisis ekonomi parah, yang disertai hiperinflasi dan kemiskinan merata.
Kala itu, masyarakat Serbia mencari cara untuk melawan kediktatoran Milosevic tanpa membuat situasi menjadi tambah runyam. Ternyata, jawabannya adalah tawa. Di tengah krisis, rakyat Serbia mulai menggunakan humor sebagai senjata protes, mengkritik rezim Milosevic dengan cara yang unik dan nyeleneh.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk protes yang paling ikonik adalah aksi jalanan “All the President’s Babies” pada tahun 1992, di mana orang tua diajak membawa bayi mereka ke kediaman Milosevic dan menawarkannya untuk dirawat sang presiden. “Pak Presiden, gimana kalau anak-anak kami sekalian jadi tanggung jawab Bapak aja? Soal biaya hidup, kami angkat tangan!” adalah pesan implisit yang mereka sampaikan. Aksi ini menyimbolkan bahwa ekonomi yang buruk telah membuat mereka tak mampu menafkahi anak-anak mereka (ibid, h.38)
Dan lucunya, protes ini berhasil! Ternyata, rengekan bayi juga bisa membuat perubahan! Beberapa hari kemudian, pemerintah menurunkan pajak pada produk anak-anak, sebuah bukti bahwa humor bisa menjadi alat koreksi sosial yang ampuh, bahkan dalam ranah yang tampak serius seperti kebijakan fiskal.
ADVERTISEMENT
Humor sebagai koreksi sosial
Protes damai tersebut adalah salah satu bentuk bagaimana humor dapat berperan sebagai social correction, sebagaimana dijelaskan oleh Michael Billig dalam bukunya Laughter and Ridicule; towards a social critique of humour (2005, h.208). Menurut Billig, melalui ejekan atau candaan yang diarahkan ke penguasa memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka.
Billig menyoroti bahwa aksi ini adalah salah satu bentuk “rebellious humour,” yang dapat menentang otoritas secara tidak langsung, tanpa adanya kekerasan, sehingga masyarakat yang merasa tertekan dan tak berdaya mendapatkan ruang kebebasan sementara untuk menyuarakan protes mereka, membuat pihak otoritas sadar akan suara kolektif rakyat (ibid, h.202-210).
Dalam situasi di mana protes langsung bisa berbahaya, humor menjadi cara efektif untuk menyampaikan pesan tanpa harus mengangkat senjata. Melalui sindiran dan candaan, rakyat Serbia menunjukkan bahwa di balik tawa mereka ada tekad untuk menuntut perubahan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dijelaskan oleh Billig, humor ini bukan hanya alat untuk membuat rezim terlihat konyol, tetapi juga sebuah cara untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka memiliki suara yang bisa menggoyahkan otoritas.
Melawan kenaikan pajak dengan humor yang memberontak
Nah, sekarang kita tarik ke konteks Indonesia, karena ada pelajaran penting yang bisa diambil dari pengalaman protes damai masyarakat Serbia. Baru-baru ini pemerintah Indonesia mempertimbangkan wacana kenaikan pajak hingga 12 persen yang dianggap terlalu tinggi oleh masyarakat.
Setelah mendengar rencana ini, alih-alih terjun ke jalan raya dengan poster-poster besar, masyarakat Indonesia lebih memilih untuk bersantai di rumah masing-masing sembari membiarkan jari-jari mereka yang bekerja, melancarkan protes melalui komentar-komentar satire di media sosial yang mengandung rebellious humour.
ADVERTISEMENT
Lihat saja komentar dari @tonyroym2000 yang menyindir dengan kalimat, “Asik makasih pak kalau boleh usul 25% dong pak mumpung terlanjur kaya makasih.” Di sini, ada sentilan halus di mana ia “mendukung” kenaikan pajak sembari memperlihatkan betapa kebijakan ini dirasa berat bagi rakyat kecil. Satire yang digunakan netizen ini seolah mendukung pemerintah, padahal sejatinya mempertanyakan apakah kenaikan pajak itu memang demi kebaikan masyarakat atau untuk para pejabat.
Sementara itu, @wak_eda menyelipkan plesetan kreatif, “Menuju Indonesia (C)emas 2045,” memainkan slogan optimis “Menuju Indonesia Emas 2045.” Dengan mengganti satu huruf, @wak_eda membalikkan pesan positif menjadi sindiran cerdas. Di sinilah letak kekuatan satire, secara halus ia menyinggung kegelisahan yang dirasakan masyarakat akan keadaan masa depan.
ADVERTISEMENT
Lain lagi dengan @lani.arifin.5 yang mempertanyakan transparansi pemerintah dalam penggunaan dana pajak, dengan berkomentar, “Pajaknya digunakan utk apa… Bayar hutang?... Bayar buzzer…?” Komentar satire ini mengkritik kemungkinan penggunaan dana pajak untuk kepentingan yang kurang transparan, seperti membayar jasa “buzzer” untuk menggiring opini publik, menutupi hal-hal yang dianggap “aib” oleh pemerintah.
Dalam semua komentar di atas, satire adalah bentuk populer dari rebellious humour, mengkritik tanpa suara keras, menyentil dengan cerdas. Meski tidak semua rebellious humour berbentuk satire, dalam kasus ini, bentuk humor satire jelas jadi andalan netizen untuk memberontak, menyuarakan ketidakpuasan dengan cara yang santai namun tetap berkesan menyerang, menuntut perubahan.
Menurut Widiyastuti dalam Jurnal Pustaka Komunikasi (2021, h. 159-172), satire memiliki fungsi utama yang lebih dalam daripada sekedar hiburan, yaitu menuntut perubahan. Ia menyoroti kebobrokan seseorang, institusi, ataupun masyarakat dengan cemoohan yang bernilai moral. Inilah yang membedakan satire dari bentuk humor lainnya seperti sarcasm. Jika sarcasm bersifat langsung dan berkonotasi negatif, satire terkesan lebih cerdas dan elegan, menyampaikan kritik bernilai tanpa terkesan kasar (ibid, h.162-163).
ADVERTISEMENT
Dengan satire, suara publik bisa menggema kepada mereka yang duduk di singgasana. Tidak hanya mengkritik tanpa arah dan tujuan, melalui satire, seakan-akan publik mengangkat cermin di depan wajah pihak otoritas, memperlihatkan kegagalan mereka dengan cerdas (ibid, h.163). Jadi, di dalam setiap sindiran yang dilontarkan, terselip kritik mendalam yang bukan sekedar senda gurau semata.
Rebellious humour ini, sama seperti yang dilakukan oleh rakyat Serbia, adalah bukti bahwa di balik tawa netizen Indonesia, ada pesan serius yang menginginkan perubahan. Kedua bentuk protes di atas menjadi pengingat bahwa tak selamanya kebijakan publik bisa diterima begitu saja tanpa kritik.
Benar adanya kalau kenaikan pajak telah membuat rakyat cemas, namun protes lewat komentar dan sindiran pedas yang terus menerus juga bisa membuat pemerintah terpaksa berpikir keras, atau mungkin, siapa tahu, sedikit was-was.
ADVERTISEMENT
Ryo Zen Favian Inzaghi, penulis dari Universitas Brawijaya & pemagang di Institut Humor Indonesia Kini / ihik3.com , lembaga kajian yang serius mengelola humor secara profesional.