Konten dari Pengguna

Adopsi Anak dalam Kaca Mata Hukum dan Hati Nurani: Saat Negara dan Cinta Bertemu

Zeniza Mar Azizana
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Pengurus Nasyiatul Aisyiyah Pimpinan Cabang Gubeng Kota Surabaya.
30 Juni 2025 17:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Adopsi Anak dalam Kaca Mata Hukum dan Hati Nurani: Saat Negara dan Cinta Bertemu
Adopsi anak adalah pertemuan cinta dan hukum. Ia bukan sekadar proses legal, tapi wujud kasih tulus demi masa depan anak. Saat negara mengatur, hati memilih dengan cinta yang tak bersyarat.
Zeniza Mar Azizana
Tulisan dari Zeniza Mar Azizana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini penulis persembahkan untuk salah satu perempuan yang mampu merelakan anaknya untuk merelakan anaknya demi masa depan yang lebih baik, bukan karena ia membencinya namun inilah cara perempuan itu menyayanginya dan melindunginya sepenuh hati. Lalu bagaimana memahami perasaannya dan cara hukum memandang adopsi anak?
ADVERTISEMENT
Pertama kali penulis akan mengajak kalian membayangkan sebuah tangan kecil yang menggenggam jemari seseorang namun bukan karena hubungan darah, tetapi karena ikatan cinta yang dipilih. Di balik senyuman seorang anak adopsi, tersembunyi perjalanan panjang antara keputusan hukum, pertimbangan moral, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Adopsi bukan sekadar formalitas legal atau solusi bagi pasangan yang belum memiliki anak. Ia adalah pertemuan antara dua dunia: negara yang mengatur, dan hati yang mencinta. Bukan saja dari orang tua kandung ia dicintai namun orang tua angkat dan negara pun ia dicintai dengan sepenuh hati
Namun, di Indonesia, adopsi kerap dikelilingi oleh kabut stigma, prosedur rumit, hingga pertanyaan moral yang belum semua orang siap jawab. Apakah cinta saja cukup untuk mengangkat seorang anak sebagai bagian dari keluarga? Atau haruskah hukum memegang peran dominan dalam mengatur kehidupan dan masa depan seorang anak?
ADVERTISEMENT

Adopsi dalam perspektif hukum Indonesia

Adopsi merupakan mengangkat anak orang lain yang dijadikan sebagai anak sendiri yang memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Istilah ini tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia namun istilah yang dikenal adalah Pengangkatan Anak diterangkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang berbunyi :
ADVERTISEMENT
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya, serta harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. (Pemerintah Indonesia 2014)
Namun, dalam implementasinya ketentuan ini sering kali berhadapan dengan realitas lapangan berupa birokrasi yang panjang, tumpang tindih antar instansi, serta tidak seragamnya pemahaman antara pihak pengadilan, dinas sosial, dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 semakin menambah lapisan regulasi yang harus dilalui oleh calon orang tua angkat, sehingga tak jarang membuat proses adopsi terasa lebih seperti pembuktian administratif daripada proses pembentukan keluarga berbasis kasih sayang
ADVERTISEMENT

Hukum dan Kasih Sayang: Ketegangan yang Susah Dihindari

Dari aturan yang telah penulis jabarkan, inilah celah di mana ketegangan itu muncul. Mengapa? Sebab demi menjamin bahwa adopsi dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Di sisi lain, cinta dan niat tulus calon orang tua angkat kerap terhambat oleh prosedur yang sangat ketat dan panjang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009.
Ketegangan demi ketegangan muncul saat kasih sayang ini harus “dibuktikan” dan “dilegalisasi” dengan dokumen dan sidang pengadilan yang prosesnya sangat panjang. Nyatanya, kebutuhan emosional anak tidak dapat menunggu proses administratif yang berlarut-larut. Penulis bukan tidak menyukai prosedur karena dalam konteks perlindungan anak, prosedur adalah alat kontrol yang penting. (M. Budiarto 1991)
ADVERTISEMENT
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah proses dan prosedur yang terlalu panjang justru dapat mengakibatkan keterlambatan pemenuhan hak anak atas pengasuhan, kasih sayang, dan stabilitas keluarga? Ketika seorang anak harus menunggu terlalu lama hanya untuk diakui secara hukum sebagai bagian dari keluarga barunya, maka negara tanpa sadar sedang menunda hadirnya cinta yang seharusnya sudah bisa dirasakan sejak awal.
Hal ini sejalan dengan pendekar hak asasi manusia Soetandyo Wignjosoebroto dalam "Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya" menyatakan bahwa hukum sering kali kalah cepat dengan dinamika sosial, dan membutuhkan keberanian hermeneutik untuk menempatkan nilai keadilan di atas prosedur semata. (Soetandyo Wignjosoebroto 2005)

Stigma Anak Adopsi di Tengah Masyarakat

Dalam perjalanan sejarah keluarga, tidak semua anak lahir dari rahim yang sama, tetapi banyak yang tumbuh dalam cinta yang setara. Anak adopsi adalah bagian dari narasi itu, mereka hadir bukan karena garis darah, melainkan karena pilihan dan kasih sayang. Namun, pilihan itu sering kali diuji oleh satu hal yang tidak tertulis di dalam undang-undang, yaitu stigma sosial.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia yang masih memuja garis keturunan biologis seolah menjadi lambang harga diri keluarga, banyak anak adopsi tumbuh dalam bayang-bayang rahasia yang tak pernah mereka minta. Identitas mereka dikunci rapat bukan karena kurangnya kasih sayang, tetapi karena ketakutan orang tua angkat akan hancurnya ikatan emosional yang sudah dibangun dengan penuh perjuangan. Namun ironisnya, justru ketika kebenaran itu akhirnya terbongkar bukan dari orang tua, melainkan dari bisikan luar atau ledakan konflik, luka yang muncul jauh lebih dalam dan rumit. (Santosa et al. 2024)
Yang jarang disadari, bukan hanya orang tua angkat yang terbebani, tetapi orang tua kandung pun sering dijadikan kambing hitam oleh pandangan sosial yang menghakimi, seakan menyerahkan anak adalah tindakan tercela. Padahal, di balik keputusan yang sulit itu, ada cinta yang memilih berkorban dan sayangnya, cinta itu sering dikalahkan oleh stigma yang terus hidup
ADVERTISEMENT
Anak adopsi bukanlah anak kedua, bukan pula anak cadangan. Mereka adalah anak yang dipilih, bukan hanya dilahirkan. Tantangan terbesar mereka bukan terletak pada status hukum atau akta kelahiran, melainkan pada cara masyarakat memandang mereka. Selama stigma dan rahasia masih menjadi cara masyarakat menyikapi adopsi, selama itu pula anak-anak ini akan terus bertarung untuk mengeklaim identitas dan hakikat dirinya.
Kini saatnya kita, sebagai bangsa, tidak hanya membenahi regulasi, tetapi juga menyentuh sisi terdalam dari kemanusiaan kita menghapus stigma, mengubah narasi, dan menjadikan keterbukaan sebagai pondasi cinta dalam keluarga. Karena sejatinya, keluarga tidak dibentuk oleh darah, tetapi oleh keberanian untuk mencintai tanpa syarat.
ilustrasi oleh Zeniza Mar Azizana