Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengapa Jokes Bapak-Bapak Tidak Selalu Lucu?
3 November 2024 13:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Zhalma Azzahra Shalawati Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar guyonan seperti ini:
ADVERTISEMENT
Atau yang ini:
Cr. bapak2bercanda di Instagram
Jika Anda merasa guyonan di atas lucu atau justru sedikit kesal, Anda tidak sendirian. Mendengar lelucon ini sebagian orang mungkin tertawa terpingkal-pingkal, tetapi tidak sedikit juga yang justru mengerutkan dahi dan merasa ‘garing’. Mungkin karena merasa sudah terlalu ‘dewasa’ untuk lelucon semacam ini. Respon yang beragam ini menunjukkan bagaimana perbedaan usia dan pengalaman bisa memengaruhi pemahaman dan selera humor antar generasi.
Jenis humor seperti ini popular dikenal sebagai jokes bapak-bapak yaitu guyonan ringan yang penuh dengan plesetan. Seperti sepatu dan kaus kaki, humor ini memang selalu pas bagi sebagian orang, terutama dari generasi tua yang mungkin sudah terbiasa menemukan tawa di balik plesetan. Namun, bagi generasi muda, respons terhadap jokes bapak-bapak sering kali kurang antusias. Mereka lebih terbiasa dengan humor digital yang cepat dan tajam, mungkin sampai-sampai mereka beranggapan, “kalau mau bercanda, jangan terlalu ‘receh’ dong!”
ADVERTISEMENT
Nah, apa sebenarnya yang membuat jenis humor ini bisa mengandung tawa bagi sebagian orang, sementara yang lain justru merasa ‘garing’?
Humor itu universal
Humor memang merupakan fenomena yang bisa ditemukan di hampir semua budaya dan seluruh lapisan masyarakat, seperti yang dijelaskan oleh Salvatore Attardo dalam bukunya The Linguistics of Humor. Attardo menjelaskan bahwa humor pada dasarnya bersifat universal. Meski lelucon dapat memiliki konteks budaya yang unik, keinginan untuk tertawa adalah sifat dasar manusia yang universal. Namun, seperti halnya selera makanan, cara penerimaan dan apresiasi humor dapat berbeda-beda. Bahkan, dalam satu budaya yang sama, pengalaman dan paparan humor bisa berubah seiring waktu dan perkembangan teknologi.
Pengenalan joke competence dan humor competence
ADVERTISEMENT
Nah, adanya perbedaan dalam pemahaman humor tersebut disebabkan oleh adanya joke competence dan humor competence. Menurut teori joke competence dan humor competence yang dijelaskan oleh Amy Carrell, ada dua tingkatan dalam memahami humor. Joke competence adalah kemampuan kita untuk mengenali sesuatu sebagai lelucon walaupun kita mungkin tidak selalu merasa itu lucu. Misalnya, generasi muda yang sering terpapar humor di internet mungkin memahami pola guyonan bapak-bapak ini sebagai lelucon karena strukturnya yang umum yaitu pertanyaan diikuti jawaban tak terduga. Sedangkan humor competence adalah kemampuan untuk benar-benar mengerti dan menikmati kelucuannya yang seringkali membutuhkan pengetahuan tentang budaya, bahasa, atau situasi sosial tertentu.
Jadi, bisa dibilang, ketika mendengar lelucon “Adipati Token” akan lebih mengena bagi orang yang memahami dua hal yaitu referensi pada aktor Indonesia, Adipati Dolken, dan penggunaan token listrik prabayar yang sudah lazim di Indonesia. Tanpa pemahaman akan kedua konteks ini, lelucon tersebut bisa terasa datar.
ADVERTISEMENT
Generasi Z yang terbiasa dengan humor digital yang lebih cepat dan spontan cenderung merespons lelucon ini dengan kebingungan atau bahkan keheranan, bukan tawa lepas. Mereka mungkin berpikir, “kok bisa ya, ular dan olahraga ada hubungannya?” Sebaliknya, generasi sebelumnya mungkin langsung memahami maksud humor yang simpel dan ringan karena lebih akrab dengan guyonan semacam ini dalam keseharian mereka. Seperti yang dijelaskan Carrell, humor competence seringkali dipengaruhi oleh pengalaman budaya yang dinamis sehingga apa yang lucu bagi satu generasi bisa terasa datar atau ‘garing’ bagi generasi lain.
Di sisi lain, generasi yang lebih tua lebih terbiasa dengan gaya humor ringan yang mengandalkan plesetan dan permainan kata sederhana, seperti “alat dapur apa yang suka nanya? Paan ci” yang mengandalkan pengucapan mirip kalimat tanya dalam bahasa Indonesia. Siapa sangka, berapa banyak tawa yang bisa dihasilkan hanya dari pertanyaan sepele seperti itu?
ADVERTISEMENT
Jessica Davis dan Anastasiya Fiodatava dalam buku De Gruyter Handbook of Humor Studies (2020) mencatat bahwa humor berakar dalam pengalaman sosial dan budaya tertentu. Meskipun mereka terutama membahas perbedaan lintas budaya, argumen mereka bahwa humor sangat tersemat dalam pengalaman budaya tertentu tetap relevan. Penjelasan mereka membantu menjelaskan mengapa jokes bapak-bapak yang mengandalkan plesetan dan referensi budaya lokal mungkin sulit dipahami atau diapresiasi secara serupa oleh generasi muda yang terpapar pada gaya humor yang lebih modern dan global. Selain itu, dalam buku The Linguistics of Humor disebutkan juga bahwa kebanyakan kegagalan humor untuk dipahami di budaya yang berbeda dapat dijelaskan dengan sederhana oleh kurangnya pengetahuan atau informasi tentang topik tertentu. Bisa dibilang, meskipun mereka memahami bahasa dan konteksnya, generasi muda yang akrab dengan humor cepat dan visual seperti meme atau video singkat mungkin merasa jokes bapak-bapak terkesan basi atau “receh”.
ADVERTISEMENT
Jadi, meskipun generasi muda mungkin merasa jokes bapak-bapak terkesan basi atau ‘receh’, apakah Anda pernah menemukan momen ketika humor lintas generasi bisa menyatukan? Atau, adakah lelucon bapak-bapak yang justru membuat Anda tertawa terbahak-bahak? Terkadang, tawa adalah jembatan antargenerasi, meskipun kadang dibutuhkan sedikit usaha untuk menyeberanginya.
“Zhalma Azzahra Shalawati Rizqi, penulis dari Universitas Brawijaya & pemagang di Institut Humor Indonesia Kini / ihik3.com, lembaga kajian yang serius mengelola humor secara profesional.”