Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Supremasi Hukum di Indonesia: Menuju Masyarakat Madani yang Adil
1 Januari 2024 12:38 WIB
Tulisan dari Zidan Dwi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menciptakan wilyah kehidupan sosial yang terorganisir dengan kemandirian tinggi terhadap negara, keterikatan dengan norma-norma dan nilai nilai hukum yang diikuti oleh warganya dapat diartikan sebagai pengertian dari masyarakat madani. Sebuah paradigma yang menempatkan keadilan sebagai salah satu pilar utama yang ditegakkan atas landasan nilai-nilai etik moral transedental. Masyarakat madani (civil society) seringkali diposisikan sebagai pola kehidupan masyarakat yang ideal, yang dalam pembentukkannya dibutuhkan masyarakat yang bersifat demokratis, toleran, pluralisme, masyarakat yang memiliki ruang publik terbuka sebagai sarana mengemukakan pendapat, dan keseimbangan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk keadilan hukum di dalamnya. Untuk menciptakan hal tersebut dibutuhkannya konsep yang matang dan merinci dengan langkah awal yang bisa dilakukan adalah penegakkan terhadap supremasi hukum.
ADVERTISEMENT
Supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara itu sendiri. Oleh karena itu, supremasi hukum tidak sekadar ditandai tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan harus diiringi kemampuan menegakkan kaidah hukum. Di Indonesia sendiri, kepatuhan negara terhadap putusan pengadilan yang memenangkan rakyat masih sangat buruk. Dalam berbagai kasus, tidak jarang pejabat pemerintahan negara justru yang paling sering melanggar hukum yang ada. Seperti contohnya yaitu kontroversi yang melibatkan pejabat publik pelaku korupsi, Setya Novanto. Dilansir dari detiknews, terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto ditemukan memiliki ruang sel tahanan yang berbeda dari ruang sel tahanan lainnya dengan kemewahannya. Saat Sri Puguh Budi yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jendral Permasyarakatan melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah sel di Lapas Sukamiskin pada tahun 2018. Diketahui bahwa sel Setya Novanto berukuran 2 kali lebih besar daripada sel pada umumnya, selain itu terdapat fasilitas mewah seperti exhaust fan, lemari, kitchen set, rak buku, shower, dan fasilitas-fasilitas mewah lainnya yang tersedia di dalam sel khusus milik Setya Novanto tersebut. Hal seperti ini tentu saja tidak terjadi karena hanya melibatkan 1 pihak saja, namun semua pihak terkait dari penjaga lapas hingga kepala lapas Sukamiskin juga memiliki peran atas keistimewaan yang di dapatkan oleh Setya Novanto di dalam lapas tersebut. Dapat disimpulkan bahwa semua itu terjadi karena tidak tegaknya hukum di Indonesia. Banyak pejabat negara, penegak hukum, hingga masyarakat yang lalai dan melanggar hukum. Hal ini diperparah dengan kualitas para penegak hukum di Indonesia yang masih rendah dan sering kali memanfaatkan pengetahuan lebih mereka terhadap hukum untuk kepentingan pribadi. Kasus seperti korupsi dan pengistimewaan bagi yang di atas masih banyak terjadi di Indonesia. Bisa dikatakan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas merupakan istilah tepat untuk mendeskripsikan kondisi penegak hukum Indonesia. Untuk mencapai keadilan yang merata dan proporsional, diperlukannya penegakan supremasi hukum dengan tujuan utama mencegah terjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif benar-benar ditaati dan sungguhsungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Namun apakah penegakan supremasi hukum menjadi prasyarat kemakmuran suatu negara yang harus dilakukan? Karena jika dilihat, msih banyak aspek yang bisa menjadikan suatu negara makmur dan sejahtera dengan urgensi yang lebih penting, seperti pertumbuhan ekonomi yang baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang merata, berkurangnya kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Dilihat dari hal tersebut, penegakan supremasi hukum hanya separuh dari persoalan bangsa. Pada praktiknya pun hukum di Indonesia masih berjalan dengan baik dan tidak dalam kondisi “gawat darurat”. Masih banyak kasus pelanggaran hukum dari masyarakat, pemerintahan negara, maupun penegak hukum itu sendiri yang diselesaikan oleh dan sesuai dengan hukum, peraturan, dan nilai-nilai yang berlaku.
Dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut, maka negara Indonesia diperintah berdasarkan hukum yang berlaku, tanpa terlecu termasuk penguasa pun harus tunduk pada hukum yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut, maka esensi dari negara hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara dipegang dan terletak pada hukum.
ADVERTISEMENT
Tiada kekuasaan lain, terkecuali kekuasaan hukum yang dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum. Maka dari itu meskipun masih banyak kasus pelanggaran hukum yang diselesaikan secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku sebagaimana mestinya, tidak menghilangkan fakta bahwa juga masih banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak diselesaikan secara adil bahkan banyak yang berhasil “kabur” dari jerat hukum menandakan implementasi konsep negara hukum hanya sebatas formalistas. Penegakan supremasi hukum bukan hanya sekadar prasyarat kemakmuran, atau penting tidaknya harus dilakukan, namun sebagai bagian ornamen utama pada negara Indonesia yang sudah seharusnya menjadi pegang kekuasaan tertinggi tanpa terkecuali. Kehidupan hukum yang tidak terarah dan terpuruk akan menimbulkan dampak negatif yang nantinya akan mempengaruhi sektor kehidupan lainnya seperti sektor kehidupan ekonomi negara, politik dan budaya. Bagaimanapun upaya para pakar ekonomi maupun politik dalam mengatasi masalah dan ketimpangan ekonomi dan politik, akan sia-sia jika keterpurukan hukum masih terjadi.
Dalam teori negara hukum terdapat dua sistem hukum yaitu rechtstaat dan the rule of law. Burkens, et.al., mengemukakan pengertian Rechtsstaat secara sederhana yaitu negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Menurut sistem hukum rechtstaat , ikatan antara negara dan hukum tidaklah berlangsung dalam ikatan yang lepas atau pun bersifat kebetulan, melainkan ikatan yang hakiki. Dari pandangan tersebut, mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara harus berdasarkan kekuasaan. Sementara itu, the rule of law merupakan common law sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa dan tidak bisa menolak kehadiran peradilan administrasi. Maka dari itu solusi untuk memutuskan kasus-kasus pelanggaran hukum secara tegas dapat dilakukan salah satunya dengan cara pergeseran orientasi atas konsepsi negara hukum dari rechsstaat menjadi the rule of law seperti negara-negara Anglo Saxon. Dengan paradiga ini maka setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakan etika dan moral didalam masyarakat dalam setiap peenyelesaian kasus hukum sekaligus menjadi upaya dalam membuat masyarakat kembali percaya pada hukum dan penegak hukum yang berlaku. Penyelamatan lainnya yang bisa dilakukan adalah dengan memperbesar akses masyarakat, khususnya masyarakat lapis bawah dan menegah di lembaga pengadilan agar mendapatkan perlakuan yang adil dari pihak pengadilan. Dengan demikian idealnya para hakim memiliki keberanian untuk menghasilkan yurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya bagi masyarakat lapis bawah. Menciptakan system hukum yang berisi peraturan yang mengikat semua pihak dengan menjamin kemandirian peradilan untuk mencegah dipakainya hukum sebagai tameng untuk menutupi itervensi kekuasaan yang berlebihan juga merupakan upaya yang bisa dilakukan dalam menegakan supremasi hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT