Konten dari Pengguna

Pemerintahan dan Harapan Pembaharuan di Lingkungan Mahkamah Agung RI

Zidny Taqiyya
Profesi utamanya abdi negara, tetapi terkadang menjadi mahasiswa S-3 IPDN Jakarta, terkadang jadi da'i sesekali juga menjadi penulis.
18 November 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zidny Taqiyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelantikan Ketua Mahkamah Agung RI oleh Presiden Prabowo, Istana Presiden, Selasa (22/10). Foto: Dok: Humas Mahkamah Agung RI
zoom-in-whitePerbesar
Pelantikan Ketua Mahkamah Agung RI oleh Presiden Prabowo, Istana Presiden, Selasa (22/10). Foto: Dok: Humas Mahkamah Agung RI
ADVERTISEMENT
Ada satu pemandangan menarik pada saat pelantikan Kabinet Merah Putih yang diadakan di Istana Negara pada 21 Oktober 2024 lalu, yakni Presiden Prabowo Subianto memilih untuk melantik Ketua Mahkamah Agung terlebih dahulu sebelum melantik para pembantunya di pemerintahan. Presiden melantik Ketua Mahkamah Agung yang baru, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. untuk menggantikan Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H. yang memasuki masa pensiun.
ADVERTISEMENT
Mengapa hal ini menarik, karena ini menjadi bukti bahwa Presiden terpilih sangat Concern dengan lembaga yudikatif tertua di Indonesia ini, sedari awal kampanye, debat bahkan saat diumumkan terpilih, Presiden Prabowo senantiasa peduli dengan kesejahteraan hakim dan aparatur peradilan, dan beliau membuktikan hal itu bukanlah hanya omon-omon semata, tetapi membuktikannya dengan aksi nyata.
Solidaritas Hakim Indonesia melaksanakan audiensi dengan anggota komisi III DPR RI pada 8 oktober lalu, isu yang diangkat adalah mengenai kesejahteraan hakim yang sudah tidak naik sejak 12 tahun terakhir, menanggapi hal tersebut Prabowo menghubungi Ketua Harian Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR RI Prof. Dr. Sufmi Dasco Ahmad melalui sambungan telepon untuk menyampaikan komitmennya dalam mendukung kesejahteraan hakim di Indonesia, beliau meminta untuk bersabar dan berjanji akan secara serius menindaklanjuti terkait isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak disangka, bahkan sebelum Prabowo dilantik, Presiden Jokowi dua hari sebelum purna tugas, menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Hal ini dirasa wajar mengingat Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan di Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan keadilan hukum di negara ini.
Sayang seribu sayang, kabar buruk harus menimpa lembaga tempat orang mencari keadilan di Negeri ini, mulai dari penangkapan Tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya oleh Kejaksaan Agung, mereka adalah hakim ED, M, dan HH yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 23 Oktober 2024, seolah belum cukup Kejaksaan Agung melanjutkan dengan menangkap ZR yang merupakan Mantan Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan di Mahkamah Agung RI.
ADVERTISEMENT
Naas, Penangkapan OTT beliau disertai dengan barang bukti yang membuat masyarakat geram bukan main, tercatat ditemukan uang Rp920,91 miliar dan puluhan kilogram emas di rumah tersangka. Hal tersebut tentu saja menarik atensi publik, dan tidak sedikit dari masyarakat yang prihatin dengan keadaan Mahkamah Agung saat ini, sudah gaji dan tunjangan naik. Namun integritas dari beberapa oknum hakim ini tidak naik, bahkan menyakiti dan melukai profesi, instansi bahkan lembaga yudikatif di Negeri ini.
Sebagai lembaga yudikatif tertua dan terbesar di Indonesia, yang meliputi 4 (empat) lembaga peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) dan Peradilan Militer, terdapat tugas berat untuk menjaga marwah dan integritas seluruh aparatur peradilannya, hal ini penting karena meskipun memiliki sejarah panjang, Mahkamah Agung juga perlu beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin modern dan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Harus dicatat bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga yang besar, yang ada dari sabang sampai merauke, dari miangas sampai pulau rote, sudah menjadi keharusan untuk saling bersatu padu (tidak membangun sekat/tembok), mengingatkan (bahkan menegur) bila ada yang menyimpang dan ikut mengharumkan nama Mahkamah Agung yang saat ini mendapat kekecewaan besar dari publik. Hal inilah yang seharusnya menjadi Pekerjaan Rumah dari Mahkamah Agung RI di era Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. dan semua itu dimulai dengan penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia di Mahkamah Agung.
Sumber Daya Manusia di Mahkamah Agung sejatinya merupakan WNI yang terbaik yang telah lulus melewati fase CPNS, bahkan saat inipun Mahkamah Agung sedang melakukan seleksi baik CPNS ataupun PPPK, semua aparatur peradilan yang ada sejatinya sangat menginginkan Pola Penempatan, Promosi, Mutasi, dan Apresiasi yang mengedepan meritokrasi di Mahkamah Agung, hal tersebut perlu terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa yang terbaik dan berkompeten menduduki posisi yang sesuai diwaktu yang tepat atau T. Harv Eker (2005) menyebutnya 'You have to be the right person in the place at the right time'
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat penting karena penerapan sistem merit sejatinya harus transparan dan objektif untuk menghindari praktek nepotisme dan korupsi, dengan menerapkan hal tersebut akan tumbuh kepercayaan dari aparatur peradilan itu sendiri kepada Mahkamah Agung sebagai Instansi kebanggaannya, sehingga seluruh personel akan semakin meningkatkan performanya. karena tau akan mendapatkan apresiasi yang setimpal.
Karenanya, penulis berharap, dibawah Presiden baru dan Ketua Mahkamah Agung baru dapat menghidupkan meritokrasi secara maksimal sebagaimana amanah Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia di Mahkamah Agung agar kedepannya baik Hakim, Aparatur Peradilan maupun prajurit yang bertugas di Lingkungan Mahkamah Agung menjadi pribadi yang memiliki Integritas yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Karena ketika memiliki integritas yang tinggi, akan semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat khususnya pencari keadilan sehingga diharapkan kedepannya tidak hanya hakim, tetapi seluruh aparatur di lingkungan Mahkamah Agung bisa mendapatkan kesejahteraan yang sama tingginya dengan integritasnya.
Pada akhirnya, Christensen & Tom Laegrid (2007) menekan bahwa dalam New Public Management terdapat empat penekanan dalam pengukuran kinerja sebuah instansi, yakni target kinerja, berfokus pada hasil, sistem berbasis insentif dan yang paling penting, transparansi. Mudah-mudahan momentum kejadian ini adalah sarana "pertobatan" untuk Instansi tempat penulis bernaung agar kedepannya bisa menjadi semakin baik, fokus pada hasil, semakin transparan dan pimpinan yang baru dapat membawa pembaharuan bagi Mahkamah Agung ke arah yang lebih baik untuk meningkatkan integritas, mengedepankan meritokrasi sehingga dapat mewujudkan visi Mahkamah Agung yakni "terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung".
ADVERTISEMENT