Konten dari Pengguna

Melindungi Masyarakat Hukum Adat dari Green Grabbing

Zilmi Haridhi
Dengan latar belakang akademik di bidang hukum, saya gemar mengeksplorasi dinamika sosial, budaya, dan isu-isu kemasyarakatan melalui tulisan.
27 September 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masyarakat Hukum Adat. Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masyarakat Hukum Adat. Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan undang-undang. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 memperkuat pengakuan ini, menegaskan bahwa masyarakat adat adalah subjek hukum yang berhak dan berkewajiban, sehingga perlu diperhatikan dalam pengaturan hukum, terutama alokasi sumber dayanya.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, yang mengubah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) berisi perubahan peningkatan pelindungan keanekaragaman hayati, sanksi pidana, areal luar kawasan konservasi, dan penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan bahwa UU KSDAHE belum dapat melindungi hak-hak masyarakat adat. Perampasan tanah serta penggusuran wilayah kelola masyarakat adat (green grabbing) masih rentan terjadi. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Pasal 9 ayat (2) UU KSDAHE yang menyatakan setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi yang tidak bersedia melakukan kegiatan konservasi harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi. Tulisan ini membahas mengenai urgensi pelindungan masyarakat hukum adat dari potensi risiko green grabbing.
ADVERTISEMENT

Materi Perubahan Undang-Undang KSDAHE

Penjelasan Umum UU KSDAHE mengatakan bahwa penguatan materi perubahan yang dilakukan pada UU No. 5 Tahun 1990 yaitu sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
DPR RI bersama dengan DPD RI serta pemerintah telah bersepakat untuk memperkuat substansi pengaturan dalam UU KSDAHE, yaitu:
Materi penguatan tersebut kemudian dituangkan dalam berbagai pasal dalam UU KSDAHE, seperti dalam Pasal 4, Pasal 5A, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 36A, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 39B, Pasal 40, Pasal 40A, Pasal 40B, Pasal 40C, Pasal 41, Pasal 43A, dan Pasal 43B. Salah satu materi penguatan yang penting adalah adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk bagi masyarakat hukum adat di sekitar Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta areal preservasi. Hal ini tertuang dalam Penjelasan Umum UU KSDAHE.
ADVERTISEMENT
Beberapa kalangan menilai bahwa UU KSDAHE menimbulkan tafsir yang dapat menimbulkan praktik pengambilalihan sumber daya alam dengan dalih konservasi atau perlindungan lingkungan (green grabbing). Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Dalam hal Setiap Orang pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), yang bersangkutan harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi”. Pasal ini dinilai oleh beberapa kalangan seperti WGII, WALHI, dan Greenpeace, dapat digunakan sebagai alasan untuk mengambil alih areal masyarakat hukum adat yang tidak dilakukan kegiatan KSDAHE. Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) mengatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan ambiguitas pengaturan areal preservasi, karena jika areal preservasi ini tidak dimaknai dengan baik, maka bisa dijadikan dasar untuk mengkriminalisasi masyarakat yang hidup di areal preservasi, di tengah situasi dan kondisi konflik yang masih terjadi di kawasan konservasi selama ini.
ADVERTISEMENT

Pelindungan Masyarakat Hukum Adat dari Green Grabbing

Green grabbing adalah pengambilalihan sumber daya alam dengan alasan konservasi yang merugikan masyarakat adat. Di Indonesia, kasus seperti Anton Latumutuany di Maluku terjadi saat perluasan Taman Nasional Manusela memasuki wilayah adat Petuanan memicu konflik. Ribuan desa lain di Indonesia menghadapi situasi serupa, dengan lebih dari 6.381 desa berada di kawasan konservasi dan bergantung pada hutan.
Praktik green grabbing sering merugikan masyarakat hukum adat karena masyarakat hukum adat dapat mengalami penggusuran dan kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian, serta dapat menimbulkan konflik, baik secara vertikal maupun horizontal. Dampak jangka panjang dari green grabbing adalah hilangnya identitas budaya masyarakat adat, pengabaian hak asasi mereka, dan perusakan hubungan kompleks antara manusia dan alam yang telah terbentuk selama berabadabad. Satjipto Rahardjo melalui Teori Perlindungan Hukum juga menegaskan bahwa negara harus mampu menghadirkan unsur perlindungan terhadap hak, kehendak, dan kepentingan semua orang. Berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat hukum adat juga harus dilindungi hak, kehendak, dan kepentingannya oleh negara.
ADVERTISEMENT
UU KSDAHE memberikan penguatan pelindungan terhadap masyarakat hukum adat melalui berbagai pasal yang mendukung keterlibatan mereka dalam upaya konservasi. Meskipun tidak mengatur secara eksplisit mengenai reduksi potensi green grabbing, UU ini memberikan ketentuan yang memastikan bahwa masyarakat adat tetap memiliki hak untuk mengelola kawasan hutan adat mereka, terutama jika kawasan tersebut diakui dalam peta arahan pemerintah sebagai areal preservasi. Hal ini tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU KSDAHE mengenai pelindungan sistem penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya kawasan hutan adat sebagai areal preservasi. Areal preservasi ini mencakup berbagai kategori, termasuk daerah pelindungan kearifan lokal, koridor ekologis, dan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM), yang semuanya memerlukan kegiatan konservasi untuk menjaga kelangsungan fungsi pelindungan wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasal 37 UU KSDAHE menyatakan bahwa masyarakat hukum adat dilibatkan dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, memberikan mereka peran aktif dalam pengelolaan kawasan tersebut. Selain itu, Pasal 9 ayat (1) UU KSDAHE memberikan ketentuan bahwa pemegang hak atas tanah di areal preservasi, termasuk kawasan hutan adat, wajib melakukan konservasi. Kemudian Pasal 9 ayat (2) UU KSDAHE menyatakan jika mereka tidak bersedia melakukan konservasi, mereka dapat melepaskan haknya atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan mengenai tidak bersedia, artinya harus dilakukan secara legal formal untuk melepaskan hak atas tanahnya. Ketentuan ini memastikan bahwa kawasan hutan adat tetap dilindungi dan dikelola secara bijaksana, baik oleh masyarakat adat sendiri atau oleh pemerintah jika diperlukan.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan UU KSDAHE memerlukan pengawasan dari Komisi IV DPR RI. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa), harus diterapkan dalam setiap proses penetapan kawasan konservasi. Hal ini akan memastikan bahwa masyarakat adat memiliki kontrol dan partisipasi penuh dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam mereka.
Selain itu, pengakuan terhadap konservasi berbasis adat harus menjadi bagian integral dari kebijakan konservasi di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat kerangka hukum yang mengakui hak-hak masyarakat adat serta memberikan mereka peran yang lebih besar dalam pengelolaan kawasan konservasi. Tujuan konservasi tidak hanya untuk melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi juga untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat adat yang telah lama menjadi penjaga alam.
ADVERTISEMENT