Globalisasi, Wisata, dan Imperialisme Budaya

Zuhri Triansyah
I post, therefore I am.
Konten dari Pengguna
12 Februari 2021 4:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Triansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Pembahasan mengenai dampak positif maupun negatif dari globalisasi pada tatanan realitas kehidupan sosial masyarakat sehari-hari tentunya bukan merupakan hal baru. Di sisi lain, pesatnya arus distribusi informasi melalui media sosial di tengah era digitalisasi telah membawa berbagai perspektif baru tiap individu terhadap wilayah atau Negara lain dan tak jarang pula dianggap lebih punya daya tarik dibanding wilayah yang kita tempati yakni Indonesia. Dibentuknya UU No. 10/2009 tentang kepariwisataan sebagai landasan yuridis yang salah satunya ialah memajukan sektor kebudayaan, citra bangsa, serta jati diri bangsa yang dilandaskan juga yakni pada prinsip hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Potret tempat-tempat wisata yang ada di berbagai daerah di Indonesia sering kali menggunakan nomenklatur yang berkaitan dengan istilah-istilah asing atau membangun tempat wisata yang konsepnya mengacu pada berbagai tempat atau landmark yang ada di luar negeri, pun hal ini juga telah menunjukkan sekaligus menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai kearifan lokal dan kebudayaan sebagai orientasi dalam konsep tempat wisata yang ada di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Kepariwisataan.

Kearifan Lokal dan Imperialisme Budaya

Menurut Sedyawati, kearifan lokal dimaknai sebagai sebuah kearifan atau kebijaksanaan dalam kebudayaan tradisional yang ada pada suku-suku bangsa. Lebih dari itu, kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dapat dipahami, penjabaran kearifan lokal adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Selanjutnya, menurut Rosidi, istilah kearifan lokal adalah hasil terjemahan dari local genius yang diperkenalkan pertama kali oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949 yang berarti kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing suatu ketika kedua kebudayaan itu saling berhubungan. (Njatrijanji: 2018: 19)
ADVERTISEMENT
Secara konseptual, dapat dipahami imperialisme budaya merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk menguasai negara lain melalui serangkaian kebudayaan yang ditampilkan guna terciptanya pengagungan (superior) dan penguasaan budaya ke seluruh dunia melalui berbagai metode, dimulai dari perang, jajahan dan media. (Yudipratomo: 2020: 175).

Signifikansi Peran Stakeholders

Dalam menjawab berbagai tantangan imperialisme budaya terhadap sektor wisata yang ada di berbagai wilayah di Indonesia ini tentunya menegaskan pentingnya peran para stakeholders yang saling terintegrasi satu sama lain. Baik melalui pemerintah, khususnya pemerintah daerah melalui otonomi daerahnya dalam upaya menggali potensi lokal, sekaligus mengedukasi dan membangun kesadaran masyarakat dan para pelaku usaha mengenai pentingnya nilai-nilai kebudayaan dalam upaya membangun atau mengembangkan konsep tempat wisata yang berbasis pada kearifan lokal yang dapat diimplementasikan melalui serangkaian regulasi di tingkat daerah guna melestarikan kebudayaan yang ada di wilayahnya, sekaligus menjadikan hukum sebagai alat kontrol sosial sebagaimana yang diutarakan oleh Roscoe Pound.
ADVERTISEMENT
Hadirnya UU Kepariwisataan ini tentunya dapat dijadikan salah satu landasan dalam upaya merefleksikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi dan melakukan reorientasi tujuan kepariwisataan di Indonesia yang di satu sisi tidak hanya memajukan dari segi ekonomi, namun juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat, lingkungan, dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan lokal sebagai media promosi tempat wisata yang ada di wilayahnya dalam upaya mereduksi imperialisme budaya di tengah arus digitalisasi yang berimplikasi pada berbagai paradigma konsep wisata di berbagai wilayah di Indonesia ke depannya.