Novel Baswedan Dipandang Sebelah Mata

Zulfadhli Nasution
Analis Pemberantasan Korupsi pada Direktorat Jejaring Pendidikan KPK
Konten dari Pengguna
17 Juni 2020 11:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfadhli Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyidik KPK, Novel Baswedan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik KPK, Novel Baswedan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kita baru saja mendengar kabar menggembirakan bahwa tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap salah satu buron terkait kasus korupsi di dunia peradilan. Salah satu petugas dalam tim itu adalah Novel Baswedan. Dengan sebelah matanya – yang itupun sudah tidak sempurna – dia masih turun ke lapangan dan menuntaskan misi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelah matanya diharapkan akan membuka jutaan pasang mata rakyat Indonesia bahwa masih banyak yang harus dibenahi di negara ini. Penangkapan buron mantan Sekretaris Mahkamah Agung tersebut juga diharapkan menjadi percikan semangat untuk menangkap para buron lain yang menggarong duit negara.
Namun tak lama berselang, kita menyaksikan proses hukum terkait penyiraman air keras kepada Novel yang membuat kita tak habis berpikir. Dalam hal ini, penegak hukum yang menyampaikan tuntutannya seakan memandang Novel dengan sebelah mata. Kasus ini patut diduga direduksi menjadi urusan personal, bahkan disertai dengan argumen bahwa perbuatan pelaku tidaklah direncanakan terlebih dahulu, dan tindakannya tidak sengaja mengenai mata Novel.
Novel dipandang sebelah mata seakan-akan kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan profesinya selama ini. Padahal semua sudah sama-sama mafhum, Novel termasuk yang paling getol membongkar kasus dari orang-orang “besar”. Lagipula, bukan hanya sekali ini kasus kekerasan ini menimpa Novel dan pekerja pemberantas korupsi lainnya. Maka, ini bukan saja memandang Novel dengan sebelah mata, tetapi juga memandang pemberantasan korupsi dan organ-organnya dengan sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Bahkan bukan hanya Novel dan pemberantasan korupsi yang dipandang sebelah mata. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) juga dipandang sebelah mata karena mengabaikan laporan mereka yang menduga adanya perencanaan sistematis dalam kasus tersebut dan melibatkan beberapa pihak seperti perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan. Pun, laporan tim bentukan Kapolri yang terdiri dari para penyelidik, penyidik, serta para ahli di dalamnya juga tidak dipandang sama sekali. Di luar itu, kritik para akademisi ahli hukum, para aktivis antikorupsi dan hak asasi manusia juga diabaikan.
Yang lebih menyedihkan, seorang komika yang secara satire menggelitik masyarakat terkait penyelesaian kasus Novel, juga menjadi sasaran akun-akun media sosial yang terorkestrasi. Sayangnya orkestrasi gagal, justru sang komika yang mendapat dukungan. Di saat seseorang menyampaikan pendapat melalui komedi pun sudah dianggap membahayakan, maka negara ini bisa jadi benar-benar sudah kehilangan selera humornya.
ADVERTISEMENT
Entahlah, barangkali sudah nasib Novel kerap kali dipandang dan dituding sebelah mata. Di antaranya dengan kasus sarang burung walet di Bengkulu yang direkayasa, fitnah Taliban hanya karena penampilannya, posisi politik karena nama Baswedan di belakangnya, hingga tudingan derita matanya palsu yang dilaporkan ke Kepolisian. Walaupun tidak ada yang terbukti, narasi basi tersebut diulang-ulang oleh akun-akun media sosial ternakan, anonim, yang dikomandoi oleh orang-orang tertentu.
Padahal ini bukan semata tentang – apalagi untuk mengkultuskan – Novel. Novel pernah berkata bahwa ia rela jika kasusnya tidak diungkap, asal selesaikan kasus-kasus kekerasan lain yang menimpa pekerja pemberantasan korupsi. Dengan demikian, setiap orang yang bekerja untuk pemberantasan korupsi dapat menerima perlindungan maksimal di balik risiko yang tinggi sehingga upaya-upayanya juga dapat optimal.
ADVERTISEMENT
Jika Novel berjuang dan telah merelakan sebelah matanya walaupun tetap dipandang sebelah mata, jangan-jangan, bukan Novel yang lumpuh sebelah matanya dan patut dikasihani, melainkan kita yang tidak bisa berempati, bukan hanya untuk Novel tetapi untuk menjaga logika dan kewarasan di negeri ini.