Konten dari Pengguna

Indonesia Emas 2045: Nyata atau Khayalan Belaka?

Naufal Demelzha
Mahasiswa Hubungan Internasional UMM dan Peneliti Parrhesia Collective Academia
16 Juli 2023 18:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Demelzha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemuda-Pemudi Agent of Change. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemuda-Pemudi Agent of Change. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, istilah semacam Indonesia Emas 2045 dan agent of change acap kali terdengar baik dalam sebuah seminar, gerakan sosial-kolektif, ataupun hanya sekadar tema dari sebuah ajang lomba. Label agent of change atau yang dapat dikenal sebagai agen perubahan tidak bisa lepas dari suatu entitas, yaitu mahasiswa.
Dengan tuntutan untuk membawa perubahan—baik secara mikro ataupun makro—dalam sebuah komunitas dan lingkungan, mahasiswa berperan secara holistik dalam merealisasikan hasrat analitis yang nyaris utopis dari generasi-generasi sebelumnya—wacana Indonesia Emas 2045.
Kritis, vokal, dan intelektual menjadi sebuah standar yang disandarkan kepada para mahasiswa sebagai inisiator sekaligus katalisator perubahan (Hafizd, 2022, p. 177).
Akan tetapi, apabila menitikberatkan persepsi terhadap sistem negara—pendidikan, hukum, ham, dan sebagainya—dan perilaku elite penguasa saat ini, apakah perubahan yang akan dibawa oleh mahasiswa adalah suatu yang nyata atau hanya sebatas objek semu layaknya fatamorgana?
ADVERTISEMENT
Terlalu naif apabila langsung menafsirkan ‘perubahan’ yang dibawa selalu mengarah ke ranah positif. Perubahan dengan konotasi negatif bukanlah sesuatu yang bisa dihindari apabila kelompok mahasiswa secara terus menerus menghamba kepada hasrat kepentingan non-progresif.
Ilustrasi diskusi mahasiswa. Foto: Pexels
Tanpa disadari, ribuan opini ditulis, berbagai seminar diselenggarakan, kajian bedah buku diadakan, hingga tahapan yang lebih radikal melalui demonstrasi dilakukan, namun negara beserta elite penguasa masih tenang-tenang saja tanpa adanya aktualisasi aspirasi seperti yang diharapkan oleh masyarakat (Polimpung, 2014, p. VII).
Terdapat monopoli hasrat yang dilakukan oleh golongan tua ke arah golongan muda dengan menisbatkan para mahasiswa sebagai agen perubahan. Penguasa berusaha menciptakan propaganda halus yang menumpulkan daya kritis mahasiswa yang sudah semestinya dihilangkan.
Kontradiksi dapat ditemukan pada individu-individu yang menobatkan mahasiswa sebagai agent of change namun menolak segala jenis perubahan—sebagai bentuk aktualisasi nalar kritis—yang dilakukan oleh mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Dalam buku yang berjudul Propaganda: Manipulasi Opini Masyarakat, (Bernays, 2021, p. VI) mengatakan bahwa kita diperintah, pikiran-pikiran kita dicetak, selera-selera kita dibentuk, gagasan-gagasan kita dimodelkan, sebagian besar oleh orang-orang yang tak pernah kita kenali.
Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam konteks fenomena pengebirian nalar kritis mahasiswa oleh penguasa. Akibatnya, sebagian besar mahasiswa hanya terpaku pada gejolak politik kepentingan, pesta, dan cinta.
Ilustrasi cinta remaja. Foto: Pexels
Seluruh fenomena perilaku—tindakan mahasiswa, masyarakat, ataupun sang pemangku kuasa—tersebut didasari oleh hal yang satu, yakni hasrat. Manusia merupakan entitas yang penuh akan hasrat.
Sebagaimana konsep animus dominandi yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau. Ia mengemukakan dengan sebuah metafora bahwa sifat perfeksionis manusia akan mencari esensi dalam permainan politik tanpa memperhatikan rasionalitas (Guzzini, 2018).
ADVERTISEMENT
Selain itu, manusia merupakan makhluk yang egois sekaligus altruis dalam waktu yang bersamaan. Dalam buku The Selfish Gene karya (Dawkins, 2017, p. 35) terdapat ungkapan bahwa sebuah konflik kepentingan merupakan suatu hal yang harus dimenangkan demi kebaikan spesies—golongan dan kelompok—masing-masing.
Hal tersebut juga berlaku secara implisit dalam wacana Indonesia Emas 2045 yang terkesan penuh hasrat utopis dan juga dilematis bagi mahasiswa yang dilabeli sebagai agen pembawa perubahan oleh para pemangku kuasa.

Kepentingan di Balik Agenda Indonesia Emas 2045

Ilustrasi politikus yang sedang mengatur strategi untuk kepentingannya. Foto: Freepik
Bukan tidak mungkin bahwa konsep agent of change akan dan telah bermanuver demi sebuah kepentingan. (Chomsky, 2006, p. 6) dalam bukunya yang berjudul Politik Kuasa Media menegaskan bahwa massa yang bodoh akan tetap digiring ke dunia yang tak dapat ternalarkan oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan para mahasiswa yang digiring melalui persepsi optimis untuk membawa perubahan yang ternyata hanyalah sebatas agenda kepentingan.
Mahasiswa yang seharusnya berada dalam status merdeka pun justru dijadikan alat oleh aristokrat untuk melanggengkan hegemoni kekuasaannya. Hal ini berkorelasi dengan identitas demokrasi di Indonesia.
Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati karya (Levitsky & Ziblatt, 2019, p. 69) ditegaskan bahwa pemerintah bermain secara diam-diam dalam menggembosi oposisi dengan cara menguasai media, korporasi, dan pihak-pihak yang berpotensi untuk menjaga hegemoninya.
Ilustrasi gerakan sosial. Foto: Pexels
Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh membahas politik identitas, kepentingan, dan politisasi gerakan di tingkat negara. Pada kenyataannya, kampus-kampus yang berada dalam Kurikulum Merdeka tidak memberi kemerdekaan terhadap para mahasiswanya.
Teriakan vokal dari para mahasiswa dianggap kritik subversif oleh beberapa petinggi kampus—ada beberapa petinggi yang justru merangkul kritikus kampus. Fenomena tersebut menunjukkan para elite kampus yang cenderung anti terhadap kritik dan tidak demokratis.
ADVERTISEMENT
Berbanding terbalik dengan hasrat mereka mengenai sebuah title yang dibebankan kepada para mahasiswa terkait sebuah perubahan. Predikat agent of change seharusnya dapat menjadi privilege yang besar dalam membangun sebuah peradaban baru yang bersifat progresif dan revolusioner (Adon, 2021, p. 30).
Akan tetapi, sebuah privilese akan tetap stagnan apabila tidak disokong oleh penunjang—sistem dan sumber daya manusia—yang optimal. Nalar kritis harus dikembangkan karena aktualisasi persepsi harus dilakukan dengan kesadaran yang rasional.
Bukan hanya dengan dorongan melalui pemberian label heroik sebagai agent of change yang secara tidak sadar telah dikendalikan oleh para elite yang sebenarnya tidak pernah kita kenali.

Agen Perubahan dan Boneka Pertunjukan

Ilustrasi masyarakat yang dikendalikan oleh penguasa. Foto: Freepik
Fenomena pengendalian persepsi yang didasari oleh hasrat elite kepentingan tersebut menimbulkan perasaan puas terhadap para marionette—boneka untuk pertunjukkan dari prancis—yang sedang dimainkan oleh mereka. (Freud, 2020, p. 58) pada bukunya yang berjudul Peradaban dan Kekecewaan-kekecewaannya mengemukakan bahwa terdapat konsepsi dari entitas individu yang telah terpuaskan secara libidinal, namun mereka terbelenggu dalam sebuah ikatan dan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan para mahasiswa yang sedang berusaha memuaskan hasrat elite penguasa—baik kampus maupun negara—dalam memenuhi birahinya atas kepentingan dan kekuasaan.
Politisasi gerakan agent of change tentu akan memicu kemarahan—yang tentu bukan secara personal—dan sikap skeptis mahasiswa terhadap elemen-elemen perubahan yang berbau Indonesia Emas 2045.
Analogi aksi serupa juga termaktub dalam buku karya (Arendt, 2020, p. 88) yang berjudul Tentang Kekerasan ketika kemarahan kaum tertindas meledak sehingga tercipta sebuah pemberontakan revolusioner. Hal tersebut tidak menjadikan kemarahan mereka—kaum tertindas—bersifat tidak rasional.
Pada akhirnya, kemarahan tersebut justru dapat menjadi pemantik kesadaran terhadap politisasi gerakan untuk mengimplementasikan konsep mahasiswa merdeka secara akal pikiran.
Pada dasarnya, manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya harus ditopang dengan satu sistem, yaitu sarana (Hegel, 2012, p. 331). Sarana yang dimaksud dalam konteks pergerakan mahasiswa sebagai agent of change adalah sebuah sistem yang menjadi penunjang sekaligus penggerak alur ke ranah progresif.
ADVERTISEMENT
Hasrat yang pada mulanya menggebu-gebu terkait wacana Indonesia Emas 2045 harus bermanuver secara ekstrim ke arah perbaikan sistem. Langkah tersebut akan terasa lebih nyata jika dikomparasikan dengan orasi, promosi, serta imajinasi terkait generasi produktif Indonesia Emas 2045.
Apabila kepentingan generasi muda tidak sama halnya dengan generasi tua, apakah akan terjadi konflik kepentingan? Probabilitas akan terjadinya konflik sangatlah besar apabila menyandarkan indikator berupa kepentingan antar golongan.
Meskipun standar kepentingan selalu didasarkan pada ideologi Pancasila, bukan tidak mungkin bahwa akan terdapat ketimpangan yang diiringi upaya-upaya untuk memberantasnya. Hasrat kepemilikan secara eksklusif berdasarkan golongan tentu tidak dapat dihindarkan (Fukuyama, 2020, p. 149).
Oleh karena itu, segala perbaikan harus diawali dari akarnya, yaitu sistem pendidikan. Aspek pendidikan tentu mempunyai efek domino terhadap aspek kesejahteraan ekonomi, nilai-nilai sosial masyarakat, budaya, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Regresivitas pola pikir, daya kritis, dan minimnya tingkat literasi mahasiswa merupakan masalah fundamental yang seharusnya sudah bisa diatasi apabila kurikulum tidak berganti seiring bergantinya kabinet.