Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Gara-Gara Gagal Panen, Begini Sejarah Angklung Gubrak
10 Januari 2023 13:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhamad Rizky Al fahdias tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Bapak Mudyani pewaris angklung gubrak turunan ke-7. Sumber: pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gpcqct183ae7m9vrk0ag2vbw.jpg)
ADVERTISEMENT
Angklung merupakan alat musik khas Indonesia yang banyak dijumpai di Jawa Barat. Sampai saat ini angklung masih banyak dikenal dan masih tetap eksis. Alat musik tradisional ini terbuat dari bambu. Suara keluar dari benturan tabung-tabung bambu yang dimainkan dengan cara digoyangkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai alat musik asli masyarakat Sunda, kesenian angklung memiliki beragam keunikan dan khas daerahnya masing-masing. Salah satunya, yakni Angklung Gubrak yang berasal dari Kampung Cipining. Angklung Gubrak mempunyai ukuran besar yang menjadi ciri khasnya karena berbeda dengan angklung pada umumnya. Ukuran Angklung Gubrak, yaitu dengan tinggi 50 cm hingga 1 meter dan bambu yang digunakan untuk Angklung Gubrak ini menggunakan bambu besar yaitu bambu surat.
Selain itu, Angklung Gubrak dari Desa Cipining ini terbuat dari bulu ayam hutan yang umurnya sudah ratusan tahun. Kepercayaan yang menyebar di masyarakat Sunda adalah bahwa saat seseorang memegang angklung ini dan bulu tersebut jatuh ke tangannya, itu pertanda bahwa akan datang keberkahan pada orang tersebut.
Bapak Mudyani merupakan pewaris Angklung Gubrak turunan ke-7 dari silsilahnya. Bapak Muktar yang kerap dikenal Bapak Kolot Muktar ini adalah orang pertama yang membuat Angklung Gubrak. Angklung Gubrak ini tidak dibuat sembarangan pada zaman dulu oleh masyarakat Cipining. Bapak Mudyani menceritakan bahwa kala itu penduduk desa Cipining mengalami gagal panen, sudah berbulan-bulan padi yang mereka tanam tidak bisa dipanen karena desa tersebut sedang kekeringan sehingga menyebabkan penduduk setempat tidak bisa menyiram sawah dan hujan pun tak pernah turun.
ADVERTISEMENT
Sudah berbagai cara dilakukan oleh Desa Cipining demi kelangsungan panen padi tersebut, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Akhirnya, muncullah seorang pemuda yang bernama Muktar dengan mengajak kawan-kawannya pergi ke sebuah gunung, yaitu Gunung Cirangsad untuk menebang bambu surat. Kemudian, bambu surat yang sudah dikumpulkan itu disimpan sampai kering.
“Setelah bambu kering, mulailah pemuda tersebut membuat angklung sambal matigeni (bertapa). Setelah 40 hari, selesailah pembuatan angklung dengan dua buah dogdog lojor (sejenis tam-tam panjang/tumba) yang berarti selesailah pemuda Muktar bertapa. Diajarkannya para pemuda cara membunyikan angklung. Kini, para penduduk Cipining mengadakan upacara untuk memohon Dewi Sri (dewi kesuburan) ke bumi dengan hiburan berupa permainan angklung yang dibawakan pemuda Muktar beserta kawan-kawannya pada waktu akan memulai menanam padi. Ternyata tanaman padi tumbuh dengan baik, subur dan bulirnya pun bernapas,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Rakyat pun terlepas dari malapetaka yang selama ini menimpa Kampung Cipining dan kembali menikmati kemakmuran. Dengan suburnya padi, hal itu menandakan bahwa Dewi Sri turun (ngagubrag) ke bumi untuk memberi kemakmuran kepada rakyat. Sebelumnya, Angklung Gubrak hanya dimainkan pada saat menyimpan padi kelumbung setelah masa panen. Lalu, karena angklung itu mampu memikat Dewi Sri untuk turun ke bumi dinamailah angklung itu “Angklung Gubrak” sampai sekarang.
Penulis: Ina Elfita Rahmawati