Bhima INDEF: Uang Elektronik Bikin Boros

8 Agustus 2019 13:49 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Beragam jenis promosi dilakukan oleh berbagai platform pembayaran digital di Indonesia demi menggaet para pengguna baru. Mulai dari diskon harga, voucher hingga cashback.
Dengan promosi tersebut, Anda sebagai pengguna baru akan merasa diuntungkan dan akhirnya terus menerus menggunakan uang digital untuk berbagai transaksi keuangan. Tapi tahu kah Anda kalau sebenarnya uang digital justru membuat Anda lebih boros.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan platform pembayaran digital memiliki dua sisi yang tak bisa dipisahkan, yakni bisa mendorong terbentuknya cashless society sehingga transaksi lebih efisien. Namun bisa juga mendorong masyarakat menjadi boros.
“Dampak lainnya juga berkaitan dengan security, keamanan,” ujar Bhima.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya tak ada masalah dengan meningkatkan pola konsumsi masyarakat, hanya saja yang harus menjadi perhatian utama adalah risiko keamanan data para pengguna.
“Keterbukaan data itu kalau kepemilikan asing masuk, itu dengan dasar kepemilikannya itu ada kemungkinan, ada potensi untuk mereka bisa akses ke data kita,” ujar Piter saat dihubungi kumparan, Sabtu (3/8).
Direktur CORE, Piter Abdullah. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Berikut petikan wawancara kumparan dengan Bhima Yudhistira dan Piter Abdullah. kumparan mewawancarai Bhima di Hotel Millennium, Jakarta Pusat, Rabu (31/7). Sedangkan, wawancara dengan Piter dilakukan melalui sambungan telepon, Sabtu (3/8).
Bagaimana Anda melihat fenomena menjamurnya platform pembayaran digital?
Bhima Yudhistira:
Fenomena ini pertama karena ada dorongan teknologi yang begitu cepatnya. Kemudian akses internet, juga beberapa daerah akhirnya tersaluri internet dan memang dari segi daya beli masyarakat kita, khususnya kelas menengah atas, itu pembelian untuk smartphone gadget cukup meningkat. Fenomena terakhir adalah karena maraknya perdagangan e-commerce. Ini juga bisa membantu penetrasi dari adanya dompet digital. Pemainnya awalnya hanya ada beberapa, hanya ada satu dua pemain besar. Sekarang pemain-pemain internasional dari China khususnya, Alipay, Wechatpay, itu sudah mulai masuk ke Indonesia menggandeng pemain lokal.
Dengan adanya fenomena dompet digital ini bisa kita lihat punya beberapa manfaat dan juga dampak negatif. Manfaatnya bisa mendorong yang namanya cashless. Tapi di sisi lain untuk cashless atau penggunaan non-tunai memang baru dirasakan di kota dan segmentasinya masih kelas menengah atas. Karena apa? Karena yang mampu membeli paket data kemudian mampu membeli gadget adalah kelas menengah dan kelas atas. Sementara masyarakat yang ada di pedesaan itu masih didorong dari program pemerintah. Misalkan program bantuan non-tunai. Tapi lain dari itu aktivitas ekonomi harian mereka masih sangat sedikit yang menggunakan dompet digital ataupun metode-metode non-tunai.
Kemudian dampak positif lainnya mempercepat proses transaksi e-commerce. Sehingga transaksi bisa dilakukan 24 jam, kemudian transaksinya lebih efisien dan banyak merchant sekarang yang menerima pembayaran non-tunai.
Negatifnya, masyarakat khususnya di perkotaan generasi milenial ini yang ketagihan memakai dompet digital itu perilakunya cenderung agak lebih boros. Dibandingkan mereka yang menggunakan transaksi secara tunai. Kenapa? Karena kalau secara tunai kita merasakan, kita mengeluarkan uang Rp 50 ribu, mengeluarkan uang Rp 100 ribu, itu kita bisa pegang dan kita rasakan. Kalau digital tiba-tiba transfer Rp 200 ribu untuk belanja online itu seakan-akan uang lebih terasa untuk cepat keluar tanpa kita merasakan. Jadi ada sense of belonging yang berubah dengan adanya non-tunai. Kemudian selain lebih konsumtif, dampak lainnya juga berkaitan dengan security, keamanan.
Piter Abdullah:
Fenomena itu pertama saya kira positif sekali ya. Karena memberikan pelayanan yang memudahkan dari sisi transaksi karena sekarang ini misalnya kita mau bayar apa aja, mau bayar gojek enggak pakai uang, uangnya bisa pas. Selama ini kan susah untuk menggunakan uang pas, bahkan terpaksa kita harus memberikan tip dan sebagainya. Sekarang tipnya pun kalaupun kita ngasih bayarnya bisa menggunakan uang digital. Jadi dari sisi kemudahan transaksi itu saya kira membantu sekali bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan promo-promo itu. Promo itu membuat harga jauh lebih murah. Sekarang ini kalau kita belanja promo-promo itu terasa. Beli GoFood dengan menggunakan GoPay kemudian menggunakan OVO, kita dapat cashback, itu meringankan beban masyarakat dan meningkatkan transaksi. Itu mendorong transaksi yang lebih banyak, konsumsi yang lebih tinggi yang ujung-ujungnya akan menggerakan perekonomian dan pertumbuhan ekonomi akan lebih baik.
Berebut Pasar Uang Digital. Foto: Putri Arifira/kumparan
Apakah akan ada dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Bhima Yudhistira:
Ada. Jadi ada beberapa studi yang menghitung dampak kalau semakin banyak cashless-nya, artinya uang masyarakat yang selama ini beredar baik secara formal maupun informal, khususnya yang informal bisa ditarik dalam sistem keuangan. Karena dompet digital pun endingnya dia memiliki semacam account di perbankan. Ini juga bisa meningkatkan inklusi keuangan. Nanti ujungnya kalau semakin banyak likuiditas kita di ekonomi dalam negeri, maka kemampuan perbankan, kemampuan lembaga keuangan, untuk memberikan pinjaman itu harapannya juga bisa meningkat. Karena tadi banyak deposit yang ditaruh di perbankan.
Kedua, kita lihat warung kecil, UMKM, selama ini kendala mereka adalah berkaitan dengan pembukuan, berkaitan dengan keamanan. Dalam hal keamanan kalau menyimpan uang dalam bentuk fisik ada resiko dicuri, hilang. Sehingga kalau mereka beralih menggunakan dompet digital, itu ada beberapa yang membantu pembukuan mereka lebih teratur dan lebih sistematis. Jadi dampak dari pemakaian uang digital dan cashless ini ke depannya memang bisa membantu perekonomian. Asalkan ada pengawasan yang ketat.
Salah satu dampak platform pembayaran digital adalah membuat masyarakat menjadi konsumtif. Apakah ada masalah yang timbul apabila masyarakat menjadi konsumtif?
Bhima Yudhistira:
Sebenarnya konsumsi tidak 100 persen salah. Tapi yang jadi pertanyaan ketika kita banyak memakai dompet digital untuk berbelanja secara online. Faktanya sekarang 93 persen barang yang ada di toko-toko online itu adalah barang-barang impor. Artinya kita hanya menjadi negara pasar, negara konsumen, ekonomi kita strukturnya makin enggak sehat karena bergantung sebagian besar masih dari konsumsi. Sementara produksinya, ternyata produksi dari produk-produk yang dijual di toko online adalah produksi bukan dari dalam negeri. Ini yang menjadi concern pada ujungnya ya kalau ini tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas.
Budaya yang konsumtif ini juga bisa membuat nilai tukar rupiah kita melemah dalam jangka panjang. Bisa menyebabkan suatu saat ketergantungan ini semakin membuat defisit transaksi berjalan. Jadi punya implikasi ekonomi yang cukup panjang.
Piter Abdullah:
Konsumtif itu enggak masalah kalau seandainya dia membeli sesuatu yang dia butuhkan. Memangnya kita enggak boleh konsumtif? Yang tidak baik itu kalau seandainya kita membeli sesuatu yang tidak diperlukan.
Ilustrasi platform pembayaran digital. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Bagaimana bisa para platform digital terus-terusan memberikan promo cashback. Logika sederhananya bagaimana hal itu bisa terjadi?
Bhima Yudhistira:
Sebenarnya untuk menjawab itu cukup kompleks. Karena bisnis model dari dompet digital itu berbeda dari bisnis model perusahaan-perusahaan konvensional. Jadi tidak kemudian langsung mendapatkan untung jangka pendek. Mereka rela rugi dengan memberikan promo, yang penting pasar itu menjadi ketergantungan.
Kedua, ketika semakin banyak orang bergantung dengan cashback dan promo tadi terdaftar menjadi user, mereka akan menawarkan promosi produk-produk lainnya, yang dalam satu grup perusahaan. GoPay misalkan promo, tapi GoPay-nya bisa dipakai promo kalau menggunakan GoRide, promo kalau menggunakan GoFood. Akhirnya orang tertarik tadinya hanya ingin menggunakan GoPay-nya saja akhirnya tertarik untuk produk-produk lainnya.
Di situlah memang tujuannya untuk suatu saat nanti menjadi super Apps. Sehingga semua kebutuhan kita akan dilayani oleh si penyedia dompet digital, di situ lah baru mendapatkan untung. Bedalah dengan perusahaan yang konvensional, promo sekarang maunya untung setahun ke depan. Enggak bisa, beda.
Perang promo cashback ini adalah usaha untuk memperoleh pasar?
Bhima Yudhistira:
Iya. 'It's okay, rugi', karena memang tujuan dari investor itu bukan masalah profitabilitas. Tapi ketika nanti tinggal dua pemainnya, di mana market share-nya menjadi dominan dikuasai oleh pemain besar, maka di situ masyarakat akan mulai ketagihan.
Masyarakat mulai ketergantungan, mulai kecanduan, untuk memakai dua dompet digital ini. Sehingga nanti mereka bisa mengembangkan produk-produk lain yang profitnya lebih besar. Jadi enggak apa-apa ini dibuat rugi tapi produk lainnya akan profit ke depan.
Dari analisa Anda, sampai kapan perang promo cashback ini akan berlangsung?
Bhima Yudhistira:
Menurut saya ini masih setengah jalan. Tapi itu diasumsikan kondisi ekonomi berjalan baik-baik saja. Artinya si modal ventura yang menyuntik untuk memberikan promo tadi dari luar negeri itu berasumsi bahwa ekonomi kita terus tumbuh. Terus dalam kondisi yang bagus. Tapi apabila misalkan terjadi guncangan ekonomi, terjadi krisis bisa jadi modal venturanya berkurang, maka di suatu saat akan setop melakukan promo secara besar-besaran. Mungkin kalau enggak kuat modal venturanya untuk melakukan penanaman modal lagi ya bisa tutup, sebelum terjadi predatory pricing.
(FOTO)
Kalau begitu siapa yang diuntungkan dengan adanya era baru transaksi ini?
Bhima Yudhistira:
Kalau dalam jangka pendek sampai jangka menengah, tentunya perusahan-perusahaan dompet digital. Inikan semacam filantropi baru sebenarnya. Filantropi baru yang memberikan sedekah. Dia bersedekah gitu ya. Seakan-akan melakukan infak atau pun sedekah kepada masyarakat Indonesia dan jangka menengah artinya yang diuntungkan adalah konsumen. Transaksi lebih cepat, dapat cashback, dan promo.
Tapi risiko jangka panjangnya kalau kita melihat bahwa perusahaan-perusahaan inikan sebagian disuntik modal asing. Sehingga ketika suatu saat nanti, mungkin sekarang masih belum mencatatkan untung. Tapi suatu saat nanti mendapatkan keuntungan, investasi asing yang ada di Indonesia itu akan mentransfer keuntungan atau labanya kembali ke negara induknya, negara manapun itu asalnya, bisa dari Jepang, Amerika, Eropa, Singapura. Sehingga ini akan memperburuk yang namanya struktur pendapatan primer kita di defisit transaksi berjalan.
Ketika defisit transaksi berjalannya melebar, implikasinya nilai tukar rupiah kita melemah, dan struktur ekonomi kita ini semakin rapuh. Jadi analisanya bisa sampai jauh ke sana kalau kita jangka panjang membiarkan banyak pemain-pemain asing di sektor payment atau dompet digital.
Piter Abdullah:
Masyarakat, yang diuntungkan kita. Kita diuntungkan dengan keberadaan sistem yang sekarang. Kita dapat diskon, cashback, kemudahan bertransaksi.
Ilustrasi cashback dompet digital OVO. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Platform pembayaran digital seperti apa yang ideal untuk masyarakat?
Bhima Yudhistira:
Sebenarnya bisa belajar dari kasus perbandingan antara China dengan negara di Afrika. Ada Kenya di situ. Apa yang membuat perbedaan? Indonesia itu lebih meniru dompet digital ala China model.
Kenya sukses dengan dompet digital yang namanya M-Pesa, dikembangkan dari perusahaan informasi dan komunikasi. Apa yang dilakukan di sana adalah mereka menciptakan dompet digital khusus untuk orang-orang UMKM. Jadi berkembangnya di pasar-pasar tradisional dan teknologinya juga sederhana. Jadi dengan handphone yang hanya bisa SMS dan telepon sudah bisa melakukan transaksi. Mereka menghubungkan dengan warung-warung kecil sebagai tempat untuk menukarkan uang fisiknya dengan uang digital atau dompet digital tadi.
Indonesia meniru China model. Artinya perkembangan kita sulit untuk dibilang bisa mendorong inklusi keuangan ke masyarakat yang bawah. Karena masyarakat yang bawah nggak semuanya punya daya beli yang sama dengan kelas menengah atas, harus punya smartphone, harus beli paket data, dan segala macem.
Piter Abdullah:
Enggak ada. Dompet digital itu ukuran idealnya adalah dari sisi kelancaran dan keamanan sistem pembayaran. Jadi selama itu lancar dan aman ya oke enggak masalah. Jadi enggak ada ukuran ideal dalam sistem pembayaran. Sekarang misalnya kita mau menggunakan OVO atau GoPay? mana yang ideal? enggak ada, yang penting adalah aman dan lancar. Selama dua itu dipenuhi ya dua duanya ideal untuk kita.
Dari Gopay, OVO dan DANA, menurut Anda siapa yang paling kuat?
Bhima Yudhistira:
Sekarang menurut saya yang memang masih leading GoPay, karena pertama GoPay start lebih dulu, lebih agresif. Dan dia bukan hanya menjarIng retail-retail yang besar. Tapi juga sekarang sudah masuk ke warung-warung, pedagang, pedagang kaki lima. Sementara yang OVO kita belum lihat. Sekarang masih berhubungan dengan Grab, kemudian berhubungan dengan beberapa mall-mall yang dimiliki Lippo Group misalnya.
Tapi kabar terbarunya mereka mendapatkan suntikan, Grab-nya sendiri mendapatkan suntikan itu Rp 2 miliar USD dari Softbank. Perusahaan modal ventura dari Jepang. Jadi mungkin ke depannya mereka akan menggunakan strategi-strategi promo yang lebih agresif sehingga market share-nya 50:50 dengan GoPay.
Untuk DANA menurut saya masih terbatas di perkotaan yang terutama. Yang kedua masih menyasar cafe atau pun restoran yang ada di Mall. Jadi belum seagresif sampai level UMKM seperti GoPay dan OVO. Jadi ke depan, dari pertarungan promo tanpa akhir yang mereka perebutkan market share-nya dua ini yang akan jadi juara, OVO dan GoPay.
Market share adalah persentase total penjualan suatu perusahaan dari seluruh sumber dengan total penjualan produk (barang dan jasa) dalam suatu industri tertentu.
Piter Abdullah:
Tidak ada manfaatnya untuk kita bandingkan mana yang lebih kuat. Karena sekali lagi ukurannya itu adalah keamanan dan kelancaran. Dan kalau kita lihat dari ekosistemnya sama-sama memiliki ekosistem yang kuat yang besar. OVO punya jaringan, GoPay punya jaringan. Masing-masing punya pro kontra sendiri-sendiri, punya backup ekosistem yang sama-sama kuat saya kira.
Saya sering ditanya ini LinkAja susah untuk menang? Ya menurut saya memang tidak perlu menang. Justru mereka itu saling melengkapi aja. Justru kita berharap masing-masing bisa tumbuh berkembang di pasarnya masing-masing. Sehingga kita memiliki dompet digital beragam yang bisa melengkapi masing-masing.
Enggak perlu kalau menurut saya gini kita selalu ingin kayak ngadu ayam pengennya ada yang menang, hahaha. Enggak perlu diadu, kita nikmati aja, kan enggak ada masalah. LinkAja nanti kita untuk bayar toll pakai link aja, kita bayar SPBU nanti pakai LinkAja, begitu kita masuk di mall kita pakai OVO, kita pesen gojek, kita pakai GoPay. Itu memudahkan kita aja.
Kalau nanti ada single winner masyarakat yang dirugikan. Nanti kita kehilangan semua kenikmatan yang dihasilkan dari persaingan itu. Justru kita berharap mereka ini bersaing Sehingga mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kita. Saya selalu mengatakan kita harus mencari yang menang. Saya berharap justru enggak ada yang menang. OVO, DANA, GoPay dan LinkAja itu tumbuh kuat, bagus sehingga memberikan pelayanan yang terbaik.
Jalan LinkAja ini memang berbeda dengan platform pembayaran digital swasta ya?
Bhima Yudhistira:
Sekarang masih mencari pasar yang beda karena mereka tidak mampu untuk melakukan bakar uang ya, atau melakukan promo habis-habisan. Karena jangan lupa ini BUMN, mereka milik pemerintah, dan di dalam BUMN ada pajak masyarakat.
Piter Abdullah:
Iya, mereka punya ekosistemnya masing-masing. Masing-masing akan tumbuh di ekosistemnya masing-masing
Ilustrasi platform pembayaran digital. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Biarkan para platform pembayaran digital tumbuh di jalannya masing-masing?
Piter Abdullah:
Ya kalau mereka sudah monopoli, yang satu menang yang lain mati semua, ya ngapain mereka memberikan yang terbaik? Ya mereka enggak bakal lagi ngasih promo-promo, enggak memberikan yang terbaik. Saya kira begitu.
Sampai di titik mana indikasi praktik monopoli akan bisa terlihat?
Bhima Yudhistira:
Ketika pada ujungnya hanya ada dua pemain utama, yang memiliki modal paling besar, dan membuat harga promonya menjadi tidak rasional lagi, gitu ya. Sehingga untuk pemain baru susah masuk, di situ mereka baru men-setting harga baru yang lebih tinggi di mana konsumen sudah tidak ada pilihan lagi karena pesaingnya sudah enggak ada, maka di situ baru menciptakan yang disebut predatory pricing.
Anda sempat menyinggung soal keamanan data. Kalau terbentuk cashless society berarti data akan lebih mudah diakses oleh pihak lain. Bisa dijelaskan?
Piter Abdullah:
Maksud saya kalau keterbukaan data itu kalau kepemilikan asing masuk, itu dengan dasar kepemilikannya itu ada kemungkinan ada potensi untuk mereka bisa akses ke data kita. Bukan berarti kalau cashless data menjadi terbuka kemana-mana, enggak. Konfidensial
itu tetap, tapi misalnya GoPay, itu diakuisisi oleh alipay, berarti alipay kemungkinan punya akses untuk data pengguna GoPay, kita yang menggunakan GoPay terekspose data kita ke sana. Bukan berarti semuanya terbuka.
Berarti bagaimana membentuk cashless society yang idea agar keamanan data pengguna juga terlindungi?
Piter Abdullah:
Enggak bisa, itu trade off ya. Jadi begitu menggunakan sistemnya itu adalah cashless, berarti ada data yang terguna, terekspose, itu adalah trade off. Hidup itu ada istilahnya ada imbangannya, kita pasti akan bertemu itu. Jadi kondisi ideal itu bukan berarti kita sama sekali tidak ada risiko.