Cegah Banjir Impor, Pengusaha Tekstil Desak Segera Tetapkan Safeguard

7 September 2019 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Industri tekstil Foto:  ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Industri tekstil Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Para pengusaha tekstil ramai-ramai mendukung agar pemerintah segera menerapkan kebijakan safeguard. Hal ini guna melindungi produk tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri dari gempuran produk impor.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, mengatakan hingga saat ini ada 9 perusahaan produsen kain dan benang yang mengalami kesulitan karena digempur impor.
"Mereka tidak bisa jual, stoknya banyak, tidak bisa keluar barangnya. Di bulan Agustus ada 3 line mati, rinciannya 2 di Tangerang dan 1 di Karawang," kata Redma saat ditemui di Hotel Unigraha, Pangkalan Kerinci, Riau, Jumat (6/9).
Redma menampik jika saat ini industri TPT dan kebutuhan produk garmen di dalam negeri sedang lesu. Menurut dia, jika dilihat sepanjang 2018, kebutuhan masyarakat terhadap produk tekstil malah naik hingga 8,18 persen.
Namun, kenaikan kebutuhan produk tekstil tersebut ternyata diambil oleh produk impor. Termasuk untuk bahan baku tekstil. Padahal, pihaknya hanya berharap pada pasar domestik saat perang dagang antara Amerika Serikat dan China tengah memanas.
ADVERTISEMENT
"Kita ekspor susah karena trade war. Pasar domestik masih besar, tahun lalu naik 8,18 persen konsumsi masyarakat. Masalahnya, setiap tahun pertumbuhannya itu diambil impor," ujarnya.
Hal senada diungkapkan salah satu produsen serat viscose rayon, PT Asia Pacific Rayon (APR). Sebagai pendatang baru produsen serat benang dari polimer organik, pihaknya menilai kebijakan safeguard bisa menyelamatkan industri tekstil dalam negeri.
"APR sangat mendukung upaya merevitalisasi industri tekstil dalam negeri. Mengingat safeguard merupakan salah satu upaya menyelamatkan dan menggairahkan kembali industri tekstil," kata Direktur APR, Basrie Kamba.
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Getty Images
Dari catatan Kementerian Perindustrian, sejak Januari hingga Juni 2019 impor kain yang sudah dilakukan nilainya mencapai USD 2,7 miliar. Sementara impor benang senilai USD 378 juta dan impor serat USD 961 juta.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, menilai kegiatan importasi bahan baku masih dilakukan karena tidak didukung ketersediaan pasokan dalam negeri.
"Kalau kita lihat struktur industri tekstil kita sudah cukup kuat sebetulnya. Hanya saja, di sektor hulu masih belum begitu kuat. Jadi kalau kita tekan hilir untuk ekspor, maka impor bahan bakunya juga akan tambah. Di satu sisi, impor yang banyak akan menekan hulu," katanya.
Karenanya, selain mengaku akan melakukan kajian terkait besaran safeguard, Sigit mendukung adanya substitusi bahan baku tekstil.
Misalnya dengan memperbanyak penggunaan serat viscose rayon dari kapas. Apalagi saat ini semakin banyak masyarakat yang sadar untuk menggunakan bahan baku pakaian jadi yang lestari.
"Dengan semakin bertambahnya produsen viscose rayon ini, diharapkan yang tadinya banyak menggunakan kapas, bisa diganti dengan serat rayon. Dengan begitu, impor bisa digantikan," ujarnya.
ADVERTISEMENT