Kerja Sama Proyek dengan China, Malaysia Lebih Berani dari Sri Lanka

15 April 2019 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PM Malaysia Mahathir Mohamad menjabat tangan PM China Le Keqiang usai menggelar jumpa pers di Beijing, Senin (20/8/2018).
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Malaysia berhasil memangkas nilai proyek kereta yang dibangun melalui kerja sama dengan China, hingga sepertiga dari nilai awal. Setelah sempat dibatalkan Perdana Menteri Mahathir Mohamad karena kemahalan, proyek East Coast Rail Link (ECRL) tersebut dilanjutkan dengan biaya yang jauh lebih murah.
ADVERTISEMENT
Mahathir Mohamad berhasil menarik kembali China ke meja perundingan, untuk menegosiasi ulang nilai proyek ECRL, yang merupakan kerja sama Malaysia Rail Link dengan China Communications Construction Company.
Proyek yang dibiayai utang China itu akan dilanjutkan, dengan dana sebesar 44 miliar ringgit atau sekitar USD 14,5 miliar atau sekitar Rp 204 triliun. Nilai itu lebih rendah 21,5 miliar ringgit atau sekitar sepertiga dari nilai proyek awal sebesar 65,5 miliar ringgit.
Forbes menulis, kesepakatan baru itu merupakan kemenangan besar bagi Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Dia menepati janji kampanyenya, untuk merundingkan kembali investasi China di negara itu. Sebelumnya, proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan China, dianggap lebih melayani kepentingan Beijing, daripada untuk kepentingan masyarakat Malaysia.
ADVERTISEMENT
Dalam berurusan dengan China, Malaysia dianggap lebih berani melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Sri Lanka, Pakistan, dan Filipina. Yakni membawa Beijing kembali ke meja perundingan untuk memangkas biaya proyek investasi, yang jadi garapan kontraktor China.
Hal ini membuat nasib proyek ECRL di Malaysia, berbeda dengan Pelabuhan Hambantota dan Badara Internasional Mattala Rajapaksa. Dua yang terakhir, merupakan proyek infrastruktur yang dibiayai utang China di Sri Lanka.
Pelabuhan laut Colombo, Sri Lanka. Foto: AFP/ISHARA S. KODIKARA
Proyek-proyek tersebut, membuat Sri Lanka berutang hingga USD 8 miliar ke China. Angka itu setara 10 persen total utang pemerintah. Masalahnya, Sri Lanka kesulitan mengembalikan pinjaman tersebut, karena penerimaan dari proyek-proyek yang baru diresmikan itu tak sebesar yang diperkirakan semula.
Konsultan Kebijakan Publik Global pada Access Partnership, Xiaomeng Lu, menyatakan China memiliki ambisi politik dan militer untuk mengisi kekosongan pengaruh di wilayah-wilayah maritim.
ADVERTISEMENT
“Presiden Xi Jinping ingin menanamkan pengaruh yang kuat melalui Belt and Road Initiative, yang mencakup Asia Tenggara hingga ke Afrika,” katanya.
Situasi telah memicu tuduhan bahwa China berusaha untuk menarik negara-negara yang berlokasi strategis (termasuk Djibouti dan Maladewa), ke dalam perangkap utang yang kemudian dimanfaatkan untuk menguasai kontrol infrastruktur utama.
Perangkap utang inilah yang coba dihindari oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Kembali ke tampuk kekuasaan pada Agustus 2018 lalu, dia membatalkan proyek East Coast Rail Link, yang memaksa Cina kembali ke meja perundingan. Dan dia berhasil menekan China, untuk meneken kesepakatan baru.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Foto: Antara/Aprillio Akbar
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Zulfikar Rakhmat, menyatakan siapa pun presiden Indonesia terpilih melalui Pilpres 2019, harus berani bernegosiasi dengan China.
ADVERTISEMENT
“Jadi kuncinya memang di negosiasi. Terkait investasi China di Indonesia, bukan semata-mata Indonesia yang membutuhkan China. Tapi justru China yang butuh Indonesia,” kata Doktor Ekonomi Politik dari University of Manchester, Inggris itu, kepada kumparan.
Salah satu proyek infrastruktur kerja sama Indonesia dengan China, adalah kereta cepat Jakarta-Bandung. Proyek bernilai USD 6,071 miliar ini merupakan kerja sama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd yang membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).