Pembatasan Merek dan Kemasan Dinilai Dorong Peredaran Rokok Ilegal

9 Oktober 2019 18:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri rokok kembali ramai dengan wacana pembatasan merek dan kemasan polos yang bakal dilakukan pemerintah. Sebelumnya, Thailand sudah menerapkan kemasan rokok putih polos.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Eddy Hussy, menilai jika wacana ini diterapkan, berpotensi memudahkan masuknya rokok ilegal. Sebab, nantinya tak lagi ada perbedaan antara rokok legal dan ilegal.
"Bisa jadi bakal ada persaingan tidak sehat antara brand polos dan yang sudah eksis," kata dia dalam diskusi Dilema Pembatasan Merek dan Kemasan Polos di Hotel Milenium, Jakarta, Rabu (9/10).
Padahal, kata Eddy, perusahaan eksisting yang sudah memiliki nama butuh waktu lama membangun merek atau brand rokok mereka ke masyarakat.
Belum lagi, merek yang diperkenalkan memiliki hak cipta yang diatur undang-undang. Dia menyayangkan jika aturan pembatasan merek dan kemasan polos diberlakukan pada rokok dan produk konsumsi lainnya.
Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto, mengakui jika wacana ini berpotensi memudahkan rokok ilegal masuk lebih masif.
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Dia mencontohkan di Australia. Sebagai negara yang sudah menerapkan aturan ini sejak 2012, peredaran rokok ilegal langsung naik menjadi 13 persen pada 2013.
ADVERTISEMENT
"Indonesia bisa dimasuki banyak rokok ilegal. Itu akan mudahkan pelaku karena mereknya putih saja. Jadi dampaknya ke sektor ekonomi dan sektor lain," jelas dia.
Menurut Mogadhisu, jika aturan itu jadi diterapkan, akan mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Mogadhisu mengaku sudah diajak bicara Kementerian Kesehatan terkait wacana ini. Tapi, kata dia, masih perlu pembicaraan internal lagi antar kementerian.
"Dengan kenaikan cukai tahun depan, mungkin bukan waktu tepat ubah PP ini karena dampaknya akan ke mana-mana dan pengaruhnya ke dampak industri tembakau nasional. Ya kami (harus pikirkan) mitigasi dampak kelanjutannya. Jangan sampai bebani industri berkali-kali," ujarnya.