Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Analisis: Pemain-pemain Senior Bersinar, tapi Taktik Belum Bekerja
14 November 2018 13:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Sebelum pertandingan pertama Piala AFF 2018 digelar, pelatih Singapura, Fandi Ahmad, merendah. Mantan striker yang pernah merumput di Indonesia itu berkata bahwa timnas negaranya memang dulu pernah menjadi jagoan di Asia Tenggara. Namun, untuk saat ini, kelas mereka sama dengan Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Di kancah persepakbolaan Asia Tenggara, Timor Leste jelas merupakan anak bawang. Negaranya saja belum ada ketika Piala AFF mulai dihelat dulu. Dalam sejarah, mereka baru pernah ikut serta sekali pada edisi 2004. Kala itu, Piala AFF masih disebut sebagai Piala Tiger karena alasan sponsorship dan Timor Leste sendiri jadi bulan-bulanan Myanmar, Malaysia, Thailand, serta Filipina.
Timnas negara seperti itulah yang dijadikan pembanding oleh Fandi untuk timnas negaranya. Tetapi nyatanya, Singapura sukses menang atas Indonesia kala keduanya bersua di Stadion Nasional Singapura, Jumat (9/11/2018) lalu. Lantas, ini pun menimbulkan kekhawatiran. Apa yang akan terjadi manakala Indonesia bersua dengan Timor Leste?
Selain dari pernyataan Fandi, ada dua hal lain yang membuat Timor Leste patut diwaspadai oleh Indonesia berdasarkan apa yang mereka perbuat pada laga kontra Thailand. Ya, mereka memang dihajar dengan skor telak 0-7. Akan tetapi, percaya tidak percaya, anak-anak asuh Norio Tsukitate itu sanggup melepas lebih banyak tembakan (16) dibandingkan Thailand (13).
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari laga melawan Thailand itu, bisa dilihat bahwa Timor Leste bermain dengan pressing serta garis pertahanan tinggi. Padahal, saat menghadapi Singapura, permainan Indonesia praktis tidak berkembang karena alasan itu. Oleh karenanya, makin sah apabila Timor Leste dipandang sebagai sebuah ancaman.
Dalam laga kedua di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Selasa (13/11) malam, itulah yang terjadi, setidaknya sampai tiga menit babak kedua berjalan. Timor Leste sanggup memberikan perlawanan dengan cara bermain mereka yang agresif, dan bahkan mereka sukses mencuri gol terlebih dahulu.
Indonesia akhirnya memang menang 3-1 pada laga itu lewat gol-gol dari Alfath Fathier, Stefano Lilipaly, dan Alberto 'Beto' Goncalves. Akan tetapi, gol-gol tersebut pada dasarnya lebih disebabkan oleh kemampuan mumpuni sejumlah pemain, bukan karena adanya perbaikan permainan secara fundamental yang dilakukan oleh pelatih Bima Sakti.
ADVERTISEMENT
***
Sesuai janjinya, Bima melakukan beberapa pergantian di sebelas awal Indonesia , termasuk Gavin Kwan yang 'mau tidak mau' harus mengisi pos bek kanan karena I Putu Gede Juni Antara tak bisa bermain lantaran hukuman kartu merah.
Selain itu, ada Fachrudin Aryanto yang menggantikan Ricky Fajrin, Alfath Fathier yang menggantikan Rizki Pora, Hargianto yang menggantikan Zulfiandi, Septian David yang menggantikan Lilipaly, serta Andik Vermansah yang mengisi tempat Irfan Jaya.
Perubahan tidak sampai di situ. Ada sedikit perbedaan dari cara Indonesia membangun serangannya. Evan Dimas yang pada pertandingan pertama harus turun ke bawah sejajar dengan duo bek sentral kali ini didorong lebih ke depan supaya dia tidak tertekan. Atau, setidaknya begitulah teorinya. Untuk menjembatani ketiadaan Evan di antara lini belakang dan tengah, ada sosok Alfath.
ADVERTISEMENT
Cara bermain Alfath ini menarik. Jika full-back biasanya beroperasi menyisir sisi lapangan, pemain 22 tahun ini justru menjadi inverted full-back yang bermain menusuk ke dalam. Ini mirip dengan apa yang dilakukan para full-back Bayern Muenchen ketika Pep Guardiola masih menjadi pelatih. Keberadaan Alfath membuat pivot Indonesia tak lagi kalah jumlah di tengah.
Namun, rencana permainan itu tak berjalan mulus. Pasalnya, Timor Leste kemudian merespons ini dengan baik. Pada dasarnya, Timor Leste bermain dengan pakem 4-4-2 standar, di mana jarak antarlini begitu rapat. Akan tetapi, dua penyerang mereka, Henrique Cruz dan Rufino Gama, dibiarkan menggantung ke depan.
Cruz dan Gama selalu berada di antara dua pivot dan dua bek sentral Indonesia. Mereka sebenarnya tidak benar-benar menekan seperti Bobby Firmino di Liverpool. Namun, keberadaan mereka di sana saja sudah cukup untuk menjepit lini tengah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Gambarannya kira-kira begini: Indonesia melakukan build-up serangan dari duet Hansamu Yama dan Fachrudin, lalu bola diarahkan ke Alfath untuk kemudian dialirkan ke Evan. Baru dari sana bola disebarkan ke kedua sisi sayap. Dengan keberadaan Cruz dan Gama di tempatnya tadi, rencana Bima agar Evan dan Hargianto tidak kalah jumlah jadi buyar.
Pasalnya, dengan situasi seperti itu, justru pivot Indonesia harus berhadapan dengan empat pemain sekaligus. Sebenarnya, Alfath dan Gavin dalam situasi build-up itu juga sudah membantu dengan naik ke lini tengah. Namun, naiknya dua full-back ini kemudian jadi masalah lain.
Ketika bola dari Evan bisa dipatahkan, para pemain Timor Leste kemudian langsung mengirim umpan panjang ke dua sisi sayap. Dengan naiknya Alfath dan Gavin, area tepi pertahanan Indonesia pun jadi lengang. Dengan demikian, pada babak pertama, Indonesia kerapkali harus menerima ancaman dari sisi sayap.
ADVERTISEMENT
Indonesia beruntung. Sebab, kreativitas para pemain Timor Leste terhitung cukup buruk. Ketika mendapatkan bola di sisi sayap, yang mereka lakukan cuma melepas umpan silang lambung ke jantung pertahanan. Padahal, mereka tidak punya penyerang tinggi yang sekiranya bisa mengalahkan Hansamu dan Fachrudin dalam duel udara.
Selain itu, Timor Leste juga tidak bisa memanfaatkan second ball karena dalam situasi menyerang itu, jarak antara lini depan dan lini tengah biasanya sudah kadung terlalu jauh. Itulah mengapa, pada babak pertama, meskipun sering mendapat bola di area permainan Indonesia, Timor Leste akhirnya cuma bisa melepas tiga tembakan tanpa ada yang mengarah ke gawang.
Indonesia sendiri, pada babak pertama itu, baru bisa benar-benar lepas dari tekanan mendekati menit ke-20. Akan tetapi, rencana build-up serangan yang tadi tetap tidak terlaksana. Serangan-serangan Indonesia justru lahir dari gegenpressing. Setelah pemain Timor Leste mencuri bola, para pemain Indonesia sanggup merebutnya kembali sebelum umpan panjang tadi dilepas ke sayap.
ADVERTISEMENT
Namun, di sinilah kemudian terjadi sesuatu yang menyebabkan Indonesia gagal mencetak gol di babak pertama. Jadi, setelah sukses merebut bola, para pemain Indonesia biasanya hanya mengalirkan bola ke sayap kanan tempat Andik dan Gavin beroperasi. Dari sini, semuanya berujung menjadi umpan silang yang tidak efektif.
Sementara itu, di sisi kiri, Febri Hariyadi kembali 'mati' seperti pada laga kontra Singapura. Pemain bernomor 13 itu memang dijadikan target double team oleh Timor Leste. Tiap kali Febri menguasai bola, ruang geraknya langsung ditutup oleh dua pemain. Maka, Febri pun kemudian jadi jarang bisa melakukan akselerasi ke depan.
Febri sendiri sempat mendapatkan dua momentum dalam menyerang. Pertama, ketika dia melepas umpan lambung pada Beto. Kedua, ketika dia beradu cepat dengan full-back kanan Timor Leste, Feliciano Goncalves. Namun, di situ justru semakin terlihat bagaimana ketatnya penjagaan Timor Leste kepada pemain Persib Bandung tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketika melepas umpan pada Beto itu, Febri berada di area tengah lapangan. Lalu, ketika beradu cepat itu, Febri gagal melewati Goncalves karena sang pemain bertahan sanggup menggiringnya ke tepi lapangan sehingga dia salah mengambil keputusan. Maka dari itu, Andik-lah yang kemudian jadi tumpuan serangan Indonesia pada babak pertama. Tetapi, ya, itu tadi. Produk akhirnya sangat monoton.
Pada babak pertama itu, yang dijadikan senjata oleh Indonesia akhirnya hanyalah intensitas. Terus menyerang dan menyerang, pada menit-menit akhir Indonesia sempat memperoleh beberapa peluang beruntun. Puncaknya adalah ketika sepakan Hansamu di dalam kotak penalti membentur tiang gawang. Inilah yang kemudian ditanggapi positif oleh Danurwindo ketika kumparanBOLA berbincang dengannya di jeda antarbabak.
***
ADVERTISEMENT
Tiga menit babak kedua berjalan, SUGBK bergemuruh. Namun, suara yang muncul dari tribune bukan pekik kegembiraan melainkan teriakan kekecewaan. Gama, lewat aksi spektakulernya, berhasil menggetarkan jala gawang Andritany Ardhiyasa. Sampai pada momen itu, Indonesia benar-benar berada di titik nadir. Kalah menghadapi Timor Leste jelas haram hukumnya, apalagi kalau sampai mempengaruhi kans kelolosan ke fase gugur.
Namun, setelah itu Indonesia berhasil bangkit. Kemasukan satu gol membuat para pemain Indonesia bekerja dua kali lebih keras. Salah satu wujud perubahan bisa disaksikan dalam diri Beto. Pemain kelahiran Brasil itu, di babak kedua, bermain lebih ke dalam untuk menjemput bola. Selain itu, lini serang Indonesia sendiri bermain jauh lebih tinggi ketimbang pada babak pertama.
ADVERTISEMENT
Perubahan itu baru benar-benar terasa selepas menit ke-56. Riko Simanjuntak, pada menit itu, dimasukkan Bima untuk menggantikan Febri. Dengan demikian, Riko bermain di sayap kanan, sementara Andik berpindah tugas ke sisi kiri. Di sinilah permainan Indonesia baru betul-betul membaik. Berkat pengalaman para pemain senior.
Setelah laga rampung, Andik dinobatkan sebagai pemain terbaik pertandingan ini. Namun, Riko-lah yang sebetulnya membuat semua itu jadi mungkin. Setidaknya, ada empat hal yang membuat Riko jauh lebih efektif di sisi kanan ketimbang Andik.
Pertama, Riko tidak selalu mengakhiri giringannya dengan umpan silang lambung. Kedua, dia lebih fasih dalam melakukan kombinasi dengan pemain-pemain di sekitarnya. Ketiga, pemain Persija Jakarta itu lebih agresif dalam melakukan penetrasi serta menekan pemain bertahan Timor Leste. Terakhir, pria 26 tahun tersebut berhasil membuat lini belakang lawan tercerai berai berkat penempatan posisinya yang cerdas.
ADVERTISEMENT
Kelebihan Riko yang keempat itu menjadi faktor penting dalam terciptanya gol pertama Indonesia . Dengan keberadaan Riko di sisi kanan, para pemain belakang Timor Leste jadi kebingungan ketika ada serangan balik. Melihat back-four lawan sedikit tertarik ke arah Riko, Evan mengirimkan bola dengan cerdik ke arah Andik.
Di situ, Alfath kemudian memanfaatkan situasi dengan melakukan overlapping. Ruang terbuka, Alfath bisa masuk, menerima bola dari Andik, menggocek seorang pemain lawan, sebelum melepaskan tembakan yang tak bisa diantisipasi dengan sempurna oleh kiper Timor Leste, Fagio. Inilah momentum kebangkitan Indonesia.
Pada dasarnya, masuknya Riko --dan juga masuknya Fano menggantikan Septian di menit ke-63-- membuat formasi Indonesia saat menyerang menjadi 4-2-4. Secara teoretis, formasi itu akan membuat Evan dan Hargianto terkurung. Itu memang benar. Namun, di sinilah kemudian strategi bola panjang menjadi bekerja dengan sempurna.
ADVERTISEMENT
Pada situasi itu, lini tengah Indonesia boleh dianggap sudah hangus. Maka, untuk mengalirkan bola, lini tersebut ditinggalkan. Permainan direct itu cocok sekali digunakan, apalagi di paruh kedua babak kedua itu pemain-pemain Timor Leste sudah tampak kelelahan. Jadilah kemudian sayap Indonesia merajalela.
Gol kedua Indonesia juga lahir dari sayap. Akselerasi Andik dari kiri memaksa pemain Timor Leste menjatuhkannya secara ilegal di kotak penalti. Fano yang baru enam menit masuk tidak menyia-nyiakan kans itu untuk menaklukkan Fagio yang sebetulnya bisa menebak arah tembakan.
Lalu, gol ketiga Indonesia pun lahir dari sayap. Kali ini, kontribusi 'riil' Riko tercipta. Lewat umpan silang lambung akuratnya, Riko berhasil menemukan Beto. Dengan sundulannya, Beto menjebol gawang Timor Leste untuk kali ketiga.
ADVERTISEMENT
Di proses terciptanya gol ketiga itu, peran Fano juga terlihat. Meski di atas kertas dia semestinya bermain sebagai gelandang serang, eks pemain Cambuur itu pada praktiknya berdiri sejajar dengan Beto di lini depan. Di situ, Fano sukses menarik perhatian bek tengah Timor Leste sehingga Beto bisa berdiri bebas untuk mengeksekusi umpan dari Riko. Kemenangan 3-1 pun akhirnya didapat.
***
Indonesia memang menang. Akan tetapi, seperti yang diutarakan Bima selepas laga, pekerjaan rumahnya masih sangat banyak, dan dia benar.
Pada pertandingan tersebut, tampak jelas bahwa lini tengah Indonesia masih belum bekerja dengan baik, terutama jika kita menilik peran Hargianto dan Septian. Hargianto di laga itu lebih cocok jika disebut sebagai bayangan Evan karena dia hampir selalu berada di dekat Evan tetapi tidak berbuat apa-apa. Akan lain ceritanya jika dia bisa memancing pemain Timor Leste supaya Evan bisa bebas.
ADVERTISEMENT
Lalu, Septian. Pemain satu ini sebenarnya lebih mobile ketimbang Fano di pertandingan pertama. Akan tetapi, pergerakannya sama sekali tidak efektif. Permasalahan terbesar Septian ada dua. Pertama, bagaimana dia bergerak dan kedua, bagaimana dia memperlakukan bola yang ada di kakinya.
Pergerakan Septian pada pertandingan ini jadi tidak efektif karena dia seperti tidak tahu kapan harus mendekati dan kapan harus menjauhi Beto. Septian lebih sering mendekat dan ini membuat kemubaziran posisional sering tercipta. Akkibat dari ini adalah opsi Evan untuk mengalirkan bola ke depan justru jadi berkurang. Lalu, ketika sudah menguasai bola, Septian terlalu buru-buru melepasnya.
Selain Hargianto dan Septian, masalah lain ada pada diri Gavin. Pada babak pertama, khususnya, area yang dikawal Gavin sangat sering ditembus pemain Timor Leste yang melakukan aksi individual. Melawan Thailand nanti, Bima kudu memutar otak untuk menyelesaikan masalah bek kanan. Putu Gede rentan terpancing emosinya, sementara Gavin kerap gagal menjaga areanya.
ADVERTISEMENT
Namun, ada beberapa pemain pula yang mampu menunjukkan penampilan cemerlang. Riko, Andik, dan Alfath, lewat cara bermain dan kontribusinya, semestinya layak untuk mendapatkan porsi lebih ketika 'Garuda' bertandang ke Stadion Rajamangala, Sabtu (17/11) mendatang. Selain itu, satu hal utama yang kudu benar-benar dipikirkan Bima adalah bagaimana sebenarnya Indonesia mau bermain?
Live Update