Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kepelatihan Antonio Conte bersama Chelsea di musim 2017/2018 menjadi gambaran yang paling sesuai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan anomali.
ADVERTISEMENT
“Conte adalah sosok yang paling mengejutkan. Instruksinya singkat. Kata-katanya sederhana. Namun, kita semua menjadi terbius dan mengikuti kata-katanya. Benar-benar beracun,” seperti itu Andrea Pirlo menjelaskan kata-kata Conte dalam bukunya yang berjudul 'I Think Therefore I Play'.
Menurut Pirlo dalam buku itu, kata-kata (termasuk motivasi) Conte mirip dengan isi telegram: singkat, padat, dan sarat makna. Karena Conte cenderung hemat kata, maka semua pemain harus menangkap dengan jelas apa yang dimaksud Conte.
Riwayat kepelatihan Conte bersama Juventus bahkan dimulai dengan satu pidato singkat, “Musim lalu kita finis di posisi tujuh. Itu tidak masuk akal, benar-benar mengerikan. Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengulangi hal tersebut.”
Conte memang lihai memotivasi timnya. Bedanya dengan pelatih lain, motivasi ini tidak diberikan dengan mengobral kata-kata. Semuanya lahir dari pemikirannya, bukan olahan kata-kata manis yang berapi-api.
ADVERTISEMENT
Mulai dari ruang makan sampai pinggir lapangan, Conte akan selalu berteriak-teriak kepada para pemainnya. Mulai dari daftar gizi makanan yang harus dipenuhi pemain sampai rekaman video pertandingan, Conte mengisi hari-hari anak didiknya dengan satu pernyataan: menang atau keluar dari tim.
Kata-kata Conte dari pinggir lapangan membuat pemain yang bertanding menjadi lebih bersemangat. Walau sebenarnya belum jelas, apakah mereka benar-benar semangat atau ketakutan dihajar Conte di ruang ganti. Yang jelas, Conte tak akan berhenti membentak, memaki, atau bahkan memarahi pemainnya hingga pertandingan selesai sesuai keinginannya.
Lantas, ada pemandangan tak normal semasa Conte menjabat sebagai manajer Chelsea. Conte justru sempat berbicara kepada media bahwa perburuan gelar juara Premier League Chelsea sudah usai. Hal ini diutarakan Conte usai Chelsea menelan kekalahan 0-1 di kandang West Ham United pada pekan ke-16 gelaran Premier League musim ini.
ADVERTISEMENT
"Untuk berbicara tentang perburuan gelar setelah kalah menurut saya agak aneh. Apalagi karena ini adalah kekalahan keempat musim ini di 16 laga.”
“Bila Anda memiliki tugas ini, tidak mungkin Anda berpikir bahwa Anda berada dalam perburuan gelar. Itu tidak mungkin.”
Bila Conte berhasil menyulap kamar ganti Juventus menjadi ruangan yang memandang kekalahan sebagai perkara najis, maka ruang ganti Chelsea dikenal sebagai ruangan yang menerima kekalahan.
Dibandingkan membicarakan kekurangan timnya, Conte lebih suka menyuruh anak-anak asuhnya di Juventus untuk menonton rekaman video pertandingan mereka.
Lewat mandatnya ini, Conte sekali lagi ingin menegaskan, kalau kau kalah, itu bukan karena perkara lain, tapi karena keburukanmu sebagai pemain. Jadi, bereskan dulu segala keburukanmu, baru berkomentar macam-macam.
ADVERTISEMENT
Conte yang seperti ini tidak terlihat di sepanjang musim 2017/2018. Conte mulai tampil persis pelatih lain yang gemar menyalahkan faktor-faktor di luar performa timnya. Mulai dari padatnya jadwal pertandingan sampai wasit.
Saat melatih Juventus, Conte tak mau buang-buang energi untuk membicarakan apa pun yang tak ada kaitannya secara langsung dengan sepak bola. Namun, di Chelsea, Conte bahkan terlibat perang mulut dengan Jose Mourinho yang menukangi Manchester United.
Reputasi Conte sebagai genius taktik di Juventus lahir karena ia piawai memadu-padankan taktik yang dimilkinya. Bersama Juventus, Conte terlihat sebagai pelatih yang selalu punya cara untuk merebut kemenangan.
Pertandingan pekan ke-25 yang mempertemukan Chelsea dengan Bournemouth ditutup dengan hasil akhir yang mengejutkan. Chelsea kalah 0-3 di kandang mereka sendiri, Stamford Bridge.
ADVERTISEMENT
Selain membikin posisi Chelsea merosot ke posisi empat klasemen sementara Premier League, hasil buruk ini juga mengancam posisi Conte sebagai manajer Chelsea. Namun di atas segalanya, kekalahan ini mencerminkan jalan buntu Conte dalam mengolah taktik.
Bersama Chelsea, Conte memang punya sejumlah rencana cadangan. Namun, rencananya itu tetap berpusat pada rencana awalnya untuk memainkan skema tiga bek. Akibatnya, rencana cadangan yang tidak beda-beda amat dengan rencana utama itu menjadi perihal yang terlampu kasat mata untuk dibaca lawan.
Hukum yang berlaku dalam sepak bola, rencana yang terbaca bisa menjadi awal dari kekalahan sebuah tim . Ini pula yang terjadi pada Chelsea.
Mengarungi kompetisi panjang seperti yang dialami Conte di Inggris, memang membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang mumpuni. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pemain, tapi juga untuk manajer. Jika pemain terkuras fisiknya, manajer terkuras isi otaknya karena harus menyediakan banyak rencana dalam mengarungi kompetisi liga.
ADVERTISEMENT
Pelatih, pada dasarnya memiliki hak untuk bersikap egois. Egosentrisme taktik menjadi miliknya. Apa-apa yang ada dalam tim tidak berpusat pada pemainnya, tetapi pelatih sebagai juru taktik.
Jika satu skema gagal, harus ada skema yang lain. Jika satu pemain kesayangan -entah kesayangan publik, media, atau malah klub- tak bisa memberikan kontribusi kepada tim, pilihannya ada dua: dipermak atau dibuang.
Makanya, alih-alih protes melulu tentang padatnya jadwal dan rentetan cedera, Conte yang diserahi wewenang untuk mengotak-atik tim seharusnya punya cara untuk mengatasinya. Kemenangan adalah harga mutlak bagi setiap klub yang berkompetisi, apa pun kondisinya.
Sama seperti kecenderungan Conte yang tampil sebagai sosok yang menggebu-gebu dalam memaksa anak-anaknya untuk merebut kemenangan, Conte pun harus berhasil memaksa diri sendiri supaya bisa meracik anak-anaknya menjadi tim yang sanggup merebut kemenangan itu.
ADVERTISEMENT
“Sejujurnya, spekulasi tentang hubungan saya yang buruk dengan para petinggi Chelsea sudah beredar sejak kami dikalahkan Burnley pada pekan perdana. Alangkah baiknya apabila ada pernyataan resmi dari pihak klub bahwa mereka percaya kepada saya dan hasil kerja saya.”
Karier kepelatihan Conte bersama Juventus juga bukannya tanpa gempuran dari sana-sini, terutama menyangkut tuduhan tentang keterlibatannya pada kasus match fixing.
Persoalan hukum yang menjadi buntut dari tuduhan itu membikin Conte dikenai hukuman empat bulan larangan mendampingi Juventus. Hukuman ini jauh lebih ringan daripada tuntutan sebelumnya, 10 bulan. Selama masa hukuman ini, posisi Conte untuk sementara digantikan oleh Angelo Alessio (asisten Conte di Tim Nasional Italia dan Chelsea) serta Massimo Carrera (pelatih Spartak Moskva saat ini).
ADVERTISEMENT
"Ini adalah masa-masa sulit," kata Conte waktu itu. "Kalian harus membantu saya, lebih dari apa yang biasa kalian lakukan. Berikan yang terbaik saat latihan dan di pertandingan.”
“Ketika saya tak ada di sana, kalianlah yang bertugas untuk menjaga agar pemain-pemain lain tidak keluar jalur. Jangan malas-malasan. Jangan sampai apa yang kita bangun bersama hancur begitu saja."
Kedua omongan Conte, baik sebagai pelatih Chelsea (omongan pertama) dan Juventus (omongan kedua), sama-sama mencerminkan permintaan tolong Conte kepada manajemen. Namun, ada dua perbedaan mendasar.
Permintaan tolong Conte kepada manajemen Chelsea adalah upayanya untuk melindungi diri. Supaya dia punya kelegaan dan keleluasaan untuk melatih. Singkat kata, Conte meminta supaya manajemen tetap mempercayainya.
ADVERTISEMENT
Sementara permintaan tolongnya kepada manajemen Juventus berarti, apa pun yang dihadapinya, tim harus tetap yang utama. Bagi Conte saat itu, tak masalah bila ia tak punya tempat di Juventus. Yang terpenting, tim tak terjungkal. Yang terutama, Juventus tetap berjaya di Italia.
Dalam setiap pertandingan Chelsea, sorot mata Conte tetap intens mengamati permainan anak-anak didiknya. Mustahil menemukan ekpresi datar Conte saat ia ada di pinggir lapangan. Saat sebuah peluang gagal dimaksimalkan oleh pemainnya, ia tetap bakal kesal bukan kepalang. Walau bola sedang tak ada di atas kakinya, saat kesal, Conte bakal menunjukkan gestur seperti orang yang sedang menendang bola.
Sejak melatih di Italia sampai di Inggris, ciri Conte yang seperti ini tak berubah. Namun, terkadang, perubahan seseorang memang tak ada hubungannya dengan apa-apa yang kelihatan dari luar. Dan jangan-jangan, ini pula yang terjadi pada Conte.
ADVERTISEMENT