Bukan Pleidoi dari Michael Oliver

12 April 2018 16:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keputusan kontroversial Michael Oliver. (Foto: REUTERS/Paul Hanna)
zoom-in-whitePerbesar
Keputusan kontroversial Michael Oliver. (Foto: REUTERS/Paul Hanna)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gianluigi Buffon dan Michael Oliver bertikai. Pertikaian yang ganjil. Pertikaian yang keluar dari ironi dan kesunyian mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Kiper dan wasit adalah makhluk paling sendirian di atas lapangan bola, walau belakangan, kesunyian penjaga gawang adalah kesunyian yang ramai. Setiap kiper pantas berterima kasih kepada Albert Camus. Berkat tulisannya, jalan kiper tak sesunyi dulu.
Orang-orang menaruh simpati pada perayaan seorang dirinya di bawah mistar gawang. Orang-orang melindunginya saat ia dicecar akibat tak kuasa menghalau bola. Kiper tak lagi sendirian. Kalaupun di antara sekian banyak orang yang bersimpati itu tak bisa menjadi kiper, mereka tetap bersedia menjadi teman sang kiper.
Tapi, wasit pun serupa kiper. Mengutip Eduardo Galeano, yang mengenakan kostum warna-warni yang berbeda tak hanya kiper, tapi juga mereka yang digelari pengadil lapangan. Dulu, kostum gelap yang dikenakan wasit seperti pakaian berkabung, hitam-hitam. Kalau ditanya untuk siapa mereka berkabung, pasti untuk diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Sekarang, kostum mereka lebih berwarna. Cerah, terkesan ceria. Mungkin ini jadi pilihan mereka untuk menyamarkan betapa muramnya pekerjaan ini.
Coba perhatikan lagak wasit di setiap pertandingan. Mereka punya teman bernama hakim garis. Namun, hanya wasit yang memasuki lapangan. Ialah yang pertama kali masuk ke atas lapangan, mempersiapkan semuanya, mempersiapkan diri.
Wasit punya kuasa atas setiap pertandingan. Namun, kuasa ini ibarat kutukan yang membikinnya dibenci hampir seantero stadion. Wasit hanya mendapat olok-olok. Ia tak pernah menerima aplaus.
Di tengah-tengah lapangan itu, hanya dia yang tak bermain. Semuanya bermain, termasuk kiper. Tentu saja ia ingin bermain, karena ia menyukai sepak bola. Ia punya kuasa untuk memimpin pertandingan, tapi tak punya hak untuk menikmati pertandingan.
ADVERTISEMENT
Bila bola yang melambung dan menggelinding itu tak sengaja membentur tubuhnya, orang-orang tak hanya akan mencacinya, tapi mengutuki ibunya. Keberadaannya dianggap menghambat laga. Di atas lapangan, wasit lebih sendirian daripada kiper.
Namun, semakin dibenci orang, ia semakin dibutuhkan, setidaknya oleh para penggelar kompetisi. Lantas, jika pekerjaan ini membuatnya jadi orang yang paling dibenci, mengapa masih ada orang yang belajar untuk menjadi wasit?
Mengapa rela berkendara, berpindah dari satu kota ke kota hanya untuk memimpin pertandingan? Buat apa pula bersusah-susah melintas dari satu negara ke negara, hanya untuk mengangkat kartu dan menghukum para pendosa di lapangan?
"Dua puluh dua jabat tangan," seperti itu cara Lee Swabey, wasit asal Inggris, menjawab pertanyaan tadi.
ADVERTISEMENT
Dua puluh dua jabat tangan, apalagi bila ditambah kedua manajer, menjadi penanda bahwa mereka sepakat dengan kepemimpinan dan keputusannya sebagai wasit. Kata Swabey, hanya itu yang dikejarnya.
Namun, 22 jabat tangan itu tak didapat Oliver di laga Real Madrid melawan Juventus. Pertandingan ini kepalang penting. Hei, ini Liga Champions! Babak perempat final, leg kedua pula.
Michael Oliver sebelum memimpin pertandingan. (Foto: ANDREW YATES / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Oliver sebelum memimpin pertandingan. (Foto: ANDREW YATES / AFP)
Sesering apa pun suatu tim mengangkat trofi yang punya dua kuping besar ini, tak akan melunturkan hasrat mereka untuk mengangkatnya lagi dan lagi. Terlebih, bagi dia yang belum pernah mengangkat dan sedang ada di ambang karier. Ini kesempatan terakhir. Dan siapa pula yang ingin kesempatan terakhirnya direbut begitu saja?
Juventus tak ingin hanya AS Roma yang bangkit dari keruntuhan. Pikir mereka, kalau Roma saja bisa membalikkan keadaan melawan Barcelona, mengapa mereka tidak?
ADVERTISEMENT
Toh, Madrid bukan tim nomor satu di Spanyol saat ini. Mereka ada di peringkat empat, masih di bawah Atletico Madrid dan Valencia.
Itu pulalah yang sebaik-baiknya dikerjakan Juventus. Bertandang ke Santiago Bernabeu, mereka menyegel keunggulan pertama pertandingan -walau masih tertinggal secara agregat- pada menit kedua.
Menerima umpan silang dari Sami Khedira, Mario Mandzukic, yang berdiri bebas di dalam kotak penalti Madrid, tidak kesulitan untuk melepaskan sundulan kencang.
Kejutan Juventus tak berhenti di gol kilat Mandzukic. Pada menit 37, giliran umpan Lichtsteiner yang dikonversi Mandzukic menjadi gol.
Memasuki menit ke-61, Juventus kembali menambah angka. Berawal dari kegagalan Keylor Navas menangkap bola, Matuidi dengan mudah mencocor bola ke gawang Madrid yang kosong.
ADVERTISEMENT
Asa Juventus membuncah, gerak Massimiliano Allegri makin liar di pinggir lapangan. Madrid bergegas, Zinedine Zidane tetap dingin di belakang garis.
Di pengujung waktu normal pertandingan, Oliver menghadiahi Madrid dengan penalti. Ia mendakwa bek tengah Juventus, Medhi Benatia, melanggar Lucas Vazquez.
Keputusan wasit asal Inggris itu mendapat protes keras dari pemain Juventus, tak terkecuali sang kapten, Buffon. Oliver bergeming, ia berdiri di atas keputusannya.
Sembilu yang didapat Juventus bukan hanya hukuman penalti, tapi hukuman untuk Buffon. Kartu merah jadi ganjaran karena protesnya dinilai terlalu keras. Ini menjadi pengusiran pertama Buffon di sepanjang perjalanan kariernya di Liga Champions. Kita semua tahu akhirnya. Pertandingan memang ditutup dengan skor 1-3, tapi Madrid menang 4-3 secara agregat.
ADVERTISEMENT
Juventus, apa boleh buat, selesai jalannya di Liga Champions musim ini. Buffon telah lebih dulu berjalan menuruni tangga menuju ruang ganti. Sama seperti tepuk tangan yang tetap ada untuknya, caci maki juga ada buat Oliver.
"Saya paham bahwa wasit melihat apa yang dia lihat, tapi insiden ini tetap meragukan. Ini insiden meragukan yang terjadi di menit 93, padahal di leg pertama penalti yang jelas-jelas seharusnya diberikan untuk kami malah ditolak."
"Tim ini memberikan segalanya di pertandingan. Tak satu makhluk pun berhak menghancurkan mimpi seperti itu (juara Liga Champions -red) di pengujung laga comeback atas dasar situasi yang meragukan."
"Anda (Michael Oliver) jelas tidak punya hati, yang ada di dalam sana hanya tempat sampah. Di atas segalanya, jika Anda memang tidak punya karakter untuk memasuki lapangan sebesar ini di stadion sekelas ini, Anda dapat duduk di tribune bersama istri, anak-anak, sambil minum Sprite dan makan keripik."
ADVERTISEMENT
Nama Oliver memang dikenal di ranah perwasitan Inggris. Dikutip dari laman resmi Premier League, rekor wasit termuda dalam sejarah Premier League dipegang olehnya. Rekor ini diraihnya waktu ia bertugas memimpin pertandingan Birmingham City melawan Blackburn Rovers pada Agustus 2010. Waktu itu, usianya masih 25 tahun.
Dua tahun setelah pertandingan itu, nama Oliver resmi masuk daftar wasit FIFA. Ia pun dipercayai untuk memimpin pertandingan level internasional, tepatnya di final Piala Dunia U-17 yang mempertemukan Mali dan Nigeria.
Buffon tertunduk lesu di Bernabeu. (Foto: Susana Vera/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Buffon tertunduk lesu di Bernabeu. (Foto: Susana Vera/Reuters)
Community Shield dan Piala Liga Inggris sebagai salah dua kompetisi di Inggris pun tak luput dari jejak kepemimpinannya. Ia menjadi wasit di laga final Community Shield musim 2014/2015 yang mempertemukan Arsenal dan Manchester City, sertai partai puncak Piala Liga Inggris 2015/2016 antara Liverpool dan Manchester City.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, bukan sekali ini keputusan Oliver menuai kontroversi. Di kalangan wasit, ia pun terkenal sebagai sosok yang bengis dan tanpa ampun.
Jose Mourinho pernah menyindir Oliver saat Manchester United kalah dari Chelsea di perempat final Piala FA 2016/2017. Pasalnya, United kehilangan Ander Herrera di menit 35. Oliver menilai, pemain asal Spanyol itu melanggar Eden Hazzard.
Laga itu pun ditutup dengan kemenangan 1-0 untuk Chelsea. Kebanyakan, para pengamat dan penonton menilai bahwa Hazard-lah yang layak diganjar kartu karena ia melakukan diving.
Tim besutan Josep Guardiola juga pernah mengalami kejadian serupa. Bertanding melawan Liverpool, mereka diganjar hukuman penalti. Pasalnya, Oliver menilai Roberto Firmino dilanggar oleh Gael Clichy. Hadiah cuma-cuma itu pun berhasil dikonversi Liverpool menjadi gol lewat sepakan Firmino sendiri.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu tak hanya berhadiah hukuman penalti bagi City, tapi dakwaan FA. Federasi Sepak Bola Inggris itu menilai, pemain City mengintimidasi Oliver saat memprotes keputusan penalti itu.
Juergen Klopp tak hanya pernah diuntungkan, tapi dirugikan oleh keputusan Oliver yang memang gemar menuai kontroversi. Peristiwanya terjadi pada November 2017 lalu, saat Liverpool berhadapan dengan Chelsea.
Yang diprotes Klopp bukan kartu merah ataupun penalti. Dilansir Daily Mail, dalam wawancara seusai pertandingan, Klopp muntab karena ia menilai Oliver menolak permintaannya untuk mengganti pemain. Lanjut Klopp, karena tak bisa mengganti pemain demi kebutuhan taktik, Chelsea jadi leluasa untuk menyamakan kedudukan.
"Saya tidak paham apa maksudnya, tapi dia mengatakan kepada saya tentang 'terlalu lama' (mungkin, Oliver menganggap Klopp mengulur-ulur waktu). Bagaimana bisa pergantian pemain memakan waktu yang terlalu lama?"
ADVERTISEMENT
"Kami tidak ingin mempermainkan waktu atau apa pun, yang kami inginkan adalah mengubah sistem permainan kami. Kami ingin beralih kepada skema lima bek. Saya percaya sistem seperti ini dapat menolong Willian. Inilah yang membikin saya marah."
Keputusan Oliver menjadi kontroversi karena satu pihak menganggap salah, pihak lain menilainya benar. Cristiano Ronaldo, yang menjadi satu-satunya pencetak gol Madrid di laga tersebut pun angkat bicara.
"Saya tidak paham mengapa mereka membantah. Toh, Benatia memang ada di belakang Lucas. Sepak bola seperti ini, ia adalah permainan yang memungkinkan segalanya bisa terjadi. Kami akui, kami tidak bermain baik di sini. Kami bisa belajar darinya untuk pertandingan selanjutnya. Selangkah demi selangkah, kami menuju semifinal."
Adalah wajar bila Ronaldo membenarkan keputusan Oliver karena ialah yang menjadi eksekutor tendangan penalti tadi. Bila menyimak apa yang disampaikan oleh komentator BeinSport dalam laga ini, ia pun menilai bahwa Oliver telah mengambil keputusan yang benar soal penalti.
ADVERTISEMENT
Benatia yang ada dalam situasi krusial berusaha memberikan sapuan untuk menghalau bola. Yang membikin sial, aksi defensif itu disertai dorongan yang menjatuhkan Vazquez. Dorongan inilah yang agaknya menjadi pangkal dari keputusan Oliver.
Keputusan Oliver dipandang tepat. Barangkali, yang membikinnya terlihat tak tepat adalah karena keputusan itu mesti diambil pada waktu yang tak tepat: menit 93, saat Juventus sudah memimpin 3-0.
Lantas, yang angkat bicara tak hanya para pemain, tapi surat kabar. Gazzetta dello Sport, misalnya.
“Anda tidak memberikan penalti dengan cara seperti itu. Oliver, wasit Inggris berusia 33 tahun, menunjukkan bahwa ia tidak sanggup mengatasi tantangan: Ia terlalu sering meniup peluit (enam untuk Juventus, dan tiga untuk Madrid, termasuk saat ia mengganjar Ronaldo dengan kartu kuning atas perayaan golnya). Lantas, ia juga tidak bisa mengatasi tensi yang terjadi di momen-momen krusial."
ADVERTISEMENT
“Kartu merah untuk Buffon juga berlebihan. Jika protes seperti itu memang harus dihukum kartu merah, seharusnya ia memberikan kartu kuning kedua untuk Benatia (Benatia pun memprotes keputusan Oliver -red), tapi Oliver melupakan hal macam ini.
Ya, seperti itulah buah dari keputusan Oliver. Sampai kapan pun, pembicaraannya akan menyulut tensi. Wasit memang pekerjaan yang memantik emosi. Walau semua pelakon sepak bola paham atau setidaknya tahu, menjadi wasit tidak semudah memprotes keputusan wasit.
Wasit hanya diberi waktu sepersekian detik untuk mengambil keputusan di tengah-tengah lapangan bola. Mulai dari pelanggaran, proses gol, hingga offside, semuanya terjadi dalam kedipan mata. Posisi wasit pun jelas menentukan. Bila kepala setiap wasit dibelah, maka sebagian besar isinya akan diisi dengan kesadaran akan risiko profesi semacam ini.
ADVERTISEMENT
Yang paling menyebalkan dari menjadi wasit adalah, keputusannya berpotensi mengubah segalanya -tak cuma jalannya pertandingan, tapi nasib tim dan individu dalam tim. Mungkin, inilah yang membikin potensi kekeliruan wasit tidak bisa diterima. Kalau dipikir-pikir, yang melakukan kekeliruan bukan hanya wasit, tapi pemain dan pelatih.
Akibat menyebalkan tadi terjadi pada Buffon. Keputusan wasit membelokkan nasibnya, setidaknya itu di mata kita dan Buffon. Kariernya (kemungkinan besar) mesti ditutup dengan ketidakmungkinan menjuarai Liga Champions.
Semua tahu bahwa cerita Buffon dan Liga Champions memang perkara ironis. Namun, satu hal yang harus Buffon tahu, satu-satunya hal ironis bagi wasit adalah bila ia mendasari keputusannya pada ironi.
***
Buffon tak perlu menjadi Superman, karena ia memang manusia. Dan sepak bola, adalah cerita tentang manusia, tentang kemenangan yang berdampingan dengan kekalahan. Lapangan bola memang lurus dan presisi, tapi perjalanan di atas lapangan tak pernah rapi. Epik semacam itu tak akan pernah menjadi bagian manusia di Bumi.
ADVERTISEMENT
Buffon juga tak perlu menjadi Sisifus, makhluk yang menanggung kutukan mendorong batu ke puncak sendirian seumur hidupnya. Begitu hampir mencapai puncak, batu itu akan terguling lagi ke bawah, dan Sisifus harus mendorongnya lagi sendirian.
Toh, Buffon memang tak sendirian, ia menanggungnya bersama teman-temannya. Kalaupun tak ada teman-temannya, elu-elu itu akan menjadi teman penutup kariernya. Bila ingin mencari siapa yang sendirian, wasit adalah orangnya.