Kok Bisa Watford Duduk di Empat Besar Premier League?

3 September 2018 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para penggawa Watford rayakan rekor empat kemenangan beruntun di Premier League musim 2018/19. (Foto: REUTERS/David Klein)
zoom-in-whitePerbesar
Para penggawa Watford rayakan rekor empat kemenangan beruntun di Premier League musim 2018/19. (Foto: REUTERS/David Klein)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelum pertandingan Premier League pekan keempat Minggu (2/9/2018) dimulai, Tottenham Hotspur lebih diunggulkan untuk memetik kemenangan atas Watford. Dibandingkan dengan tim tuan rumah, Spurs memiliki catatan lebih meyakinkan. Tiga laga sebelumnya sukses mereka sapu bersih, termasuk saat mempermalukan Manchester United 3-0 di Old Trafford.
ADVERTISEMENT
Sementara tiga angka yang rutin dipetik Watford merupakan hasil rampasan dari klub-klub medioker macam Brighton & Hove Albion, Burnley, dan Crystal Palace. Kemenangan-kemenangan itu lebih tampak seperti sindrom 'kebetulan' yang menjangkiti tim-tim papan tengah di bulan pertama bergulirnya liga.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Watford jusru mampu menggulingkan Spurs 2-1. Bahkan, perolehan gol The Lilywhites tak akan berubah andai Abdoulaye Doucoure tak 'memberikan' gol bunuh diri di menit 53.
Dengan kemenangan itu, Watford kini duduk di posisi ketiga klasemen sementara Premier League. Tentu saja ini adalah pencapaian yang mengejutkan.
Lantas, bagaimana bisa klub yang finis di urutan ke-14 Premier League musim lalu itu bisa mencatatkan kemenangan 100% dalam empat laga awal? Jangan lupa, mereka juga mengemas 12 poin, setara dengan Liverpool dan Chelsea.
ADVERTISEMENT
Adalah Javi Gracia yang paling bertanggungjawab atas konsistensi Watford sejauh ini. Cairnya format 4-4-2 (atau lebih tepat dengan 4-2-2-2) yang dipakainya sulit untuk dibekukan tim lawan. Dua gelandang terdepan diisi oleh pemain kreatif macam Roberto Pereyra dan Will Hughes. Sedangkan di garda terdepan, Troy Deeney ditemani Andre Gray.
Sepasang penyerang tersebut nyaris tak punya waktu untuk diam saat timnya mengaktifkan serangan. Dengan kata lain, Gray dan Deeney juga rutin bergerak melebar ketimbang hanya ngepos sambil menunggu aliran bola.
Jika di musim lalu Deeney hanya dibantu Richarlison dan Doucoure dari lini kedua, kini Gray difungsikan untuk bergerak lebih aktif. Malah tak hanya mengandalkan dua penyerangnya saja, Watford memaksimalkan secondline untuk mendongkrak daya gedor.
ADVERTISEMENT
Yang paling kentara adalah saat Watford sukses membungkam Burnley 3-1 di pekan kedua. Dua gol pertama yang dihasilkan Gray dan Deeney, merupakan buah dari instruksi Gracia untuk menjejalkan para pemainnya di kotak penalti lawan. Tercatat ada tiga pemain Watford di teritori Joe Hart sebelum gol Gray tercipta. Lesakan Deeney lebih gila lagi, karena sebelumnya ada empat pemain mereka yang ngetem di kotak penalti Burnley.
Pada dasarnya Gracia memberikan kebebebasan kepada pemain kreatifnya untuk bergerak bebas. Dalam hal ini, Roberto Pereyra mendapatkan mandat untuk bermanuver langsung ke jantung pertahanan lawan.
Secara tipikal permainan, mantan penggawa Juventus itu piawai dalam melancarkan dribel ketimbang rekan-rekan setimnya. Selain itu tendangan jarak jauh Pereyra juga terbilang jitu. Hal itu yang membuat pemain berpaspor Argentina mengemas rata-rata 2,3 tembakan per laga, hanya kalah dari Deeney.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk urusan umpan, Gracia menyerahkannya kepada Will Hughes. Meski pemain yang digaet dari Derby County itu juga mahir dalam urusan mencetak gol tanpa perlu berada terlalu dekat ke gawang lawan.
Roberto Pereyra rayakan assist Jose Holebas ke gawang Spurs. (Foto: REUTERS/David Klein)
zoom-in-whitePerbesar
Roberto Pereyra rayakan assist Jose Holebas ke gawang Spurs. (Foto: REUTERS/David Klein)
Bila Pereya jadi pembeda di area sentral, maka Jose Holebas adalah versi lainnya dalam bentuk full-back. Torehan 4 assist-nya sejauh ini --terbanyak bersama Benjamin Mendy-- bisa dijadikan acuan. Saat berhadapan dengan Palace di pekan lalu misalnya, Holebas malah lebih intens ngepos di sepertiga pertahanan lawan ketimbang menjaga tepi kiri pertahanan Watford.
Bukan cuma Holebas saja yang aktif mendulang peluang garis pertahanan. Daryl Janmaat yang mengisi full-back kanan juga merupakan penyumbang umpan kunci terbanyak ketiga --setelah Holebas dan Doucoure --dengan rata-rata 1,3 per laga.
ADVERTISEMENT
Mengaktifkan mode serangan kepada full-back tentu saja mengundang banyak risiko pada pertahanan mereka sendiri. Itulah mengapa Gracia menurunkan Doucoure dan Etienne Capoue, sepasang gelandang kekaar di area sentral.
Buktinya, Capoue berhasil mencatatkan 5 intersep saat berhadapan dengan Spurs. Jumlah tersebut masih lebih banyak dari torehan tiga bek Spurs bila dikalkulasi. Untuk tekel sukses, torehan Capoue dan Doucoure menyentuh angka 7 bila dijumlahkan.
Sebagai mantan gelandang bertahan, Gracia tahu benar bagaimana cara mengikis serangan lawan. Sejauh ini, Watford berhasil mengukir 15,5 intersep per laga. Sebagai perbandingan, jumlah tersebut merupakan yang tertinggi kedua di Premier League.
Namun, bukan cuma aksi bertahan yang dipunyai Doucoure dan Capoue, melainkan juga kemampuan distribusi bola. Aspek semacam ini juga jadi kunci untuk memaksimalkan kecairan di lini depan.
ADVERTISEMENT
Manajer Watford, Javi Gracia. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Manajer Watford, Javi Gracia. (Foto: Reuters/Lee Smith)
Secara garis besar, kekuatan Watford terletak pada kecairan lini depan mereka dengan format 4-2-2-2 yang dicanangkan Gracia. Tak hanya sektor depan saja, akan tetapi juga full-back yang disokong oleh duet gelandang bertahan yang mereka miliki.
Keberhasilan The Hornets memetik empat kemenangan memang tak bisa dibilang kebetulan. Dan bila behasil menjungkalkan United di pekan depan, sudah sepatutnya Watford menjadi tim yang diperhitungkan di Premier League musim 2018/2019 ini.