Persistensi Gian Piero Gasperini

14 Mei 2019 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gasperini memimpin Atalanta di laga melawan Genoa. Foto: AFP/Miguel Medina
zoom-in-whitePerbesar
Gasperini memimpin Atalanta di laga melawan Genoa. Foto: AFP/Miguel Medina
ADVERTISEMENT
Barangkali memang cuma Jose Mourinho seoranglah yang bisa begitu tinggi memberi apresiasi pada hasil imbang tanpa gol. Pada 2010 silam, ketika masih melatih Internazionale, Mourinho berhadapan dengan sosok yang membuatnya begitu terkesan.
ADVERTISEMENT
"Dia adalah pelatih yang paling membuatku kesulitan. Setiap kali aku mengubah taktik, dia selalu bisa beradaptasi. Ini adalah salah satu hasil 0-0 paling spektakuler, khususnya bagi mereka yang mencintai sepak bola," kata Mourinho ketika itu.
Inter asuhan Mourinho saat itu tidak punya lawan sepadan di Serie A. Juventus dan Milan belum pulih betul pasca-Calciopoli, sementara Napoli belum sekuat sekarang. Praktis hanya Roma yang bisa betul-betul memberi perlawanan berarti. Namun, sosok yang mendapat pujian dari Mourinho itu tidak ada sangkut pautnya sedikit pun dengan Roma.
Mengapresiasi hasil imbang tanpa gol memang sangat tipikal Mourinho. Sebagai sosok pragmatis, hasil optimal, bukan maksimal, adalah favoritnya. Namun, bagi klub Italia mana pun saat itu, menahan imbang Inter 0-0 adalah sebuah pencapaian luar biasa, apalagi jika mereka bukan bagian dari jajaran elite.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, Mourinho tidak asal memuji hanya karena pertandingan berakhir sesuai dengan jalan berpikirnya. Mourinho melontarkan pujian demikian karena sosok yang dia hadapi itu sesungguhnya benar-benar memiliki kemampuan mumpuni sebagai pelatih. Sosok yang dimaksud Mourinho itu adalah pelatih Genoa, Gian Piero Gasperini.
Gasperini berpelukan dengan Mourinho. Foto: AFP/Emilio Andreoli
***
Hampir satu dekade setelah pujian Mourinho itu, Gasperini mendapati dirinya berada di jajaran elite sepak bola Italia. Bersama Atalanta, pria 60 tahun itu tengah berupaya mewujudkan sesuatu yang sebelum-sebelumnya bahkan tidak pantas mereka impikan: Lolos ke Liga Champions.
Gasperini pertama kali berani bicara soal mimpinya itu pada 8 April 2019. Setelah menahan imbang Inter 1-1 di Giuseppe Meazza, Atalanta sukses merangsek ke urutan lima klasemen Serie A. Saat itu mereka cuma kalah head-to-head dari Milan yang duduk di peringkat empat.
ADVERTISEMENT
"Kami tidak minder dalam perburuan ini. Kami tahu jalan ke depan sangat terjal. Mari kita lihat apa yang kami bisa lakukan pekan per pekan," kata Gasperini dengan mantap.
Pertandingan melawan Inter itu terjadi pada pekan ke-31 Serie A. Tiga pekan kemudian, menyusul kemenangan atas Udinese, Atalanta benar-benar masuk ke zona Liga Champions sampai sekarang. Satu kemenangan lagi dan mimpi besar mereka bakal terwujud.
Dalam keberhasilannya ini, ada banyak figur yang berperan krusial. Mulai dari Papu Gomez yang merupakan kapten sekaligus kreator tim sampai Gianluca Mancini yang begitu tangguh di belakang tetapi juga cukup tajam di depan gawang lawan. Mulai dari Duvan Zapata sang pencetak gol terbanyak sampai Marten de Roon dan Remo Freuler yang tak kenal lelah berjuang di lini tengah. Akan tetapi, semua itu tidak akan ada artinya tanpa tangan dingin Gasperini.
ADVERTISEMENT
Gian Piero Gasperini bersama kaptennya, Alejandro Gomez. Foto: AFP/Vincenzo Pinto
Sedari awal, termasuk ketika masih membesut Genoa, hingga saat ini, tak pernah ada perubahan ide besar yang dilakukan oleh Gaseperini. Dia selalu setia dengan pakem dasar 3-4-3 dan variasinya (3-4-1-2 serta 3-4-2-1) yang dieksekusi dengan cara spesifik. Cara itu memang tak selalu berhasil tetapi di Genoa dan Atalanta taktik Gasperini tersebut betul-betul bekerja dengan baik.
Ada dua kata kunci yang tak pernah hilang dari tim asuhan Gasperini: agresivitas dan fleksibilitas. Dia selalu menginstruksikan para pemainnya untuk tak memberi kesempatan sedikit pun kepada pemain lawan. Instruksi itu diejawantahkan dengan pressing dan marking ketat yang dilakukan secara kolektif.
Tiga pemain depan tim Gasperini senantiasa diperintahkan untuk menekan bek tengah lawan yang sedang menguasai bola untuk mengebiri opsi umpan. Kemudian, para pemain tengah dan belakang akan melakukan man-to-man marking yang membuat tim lawan kehilangan ruang berharga.
ADVERTISEMENT
Agresivitas ini dipadukan dengan fleksibilitas yang membuat Atalanta tak kehilangan bentuk pertahanan meski melakukan man-to-man marking. Ketika ada pemain lawan yang terlalu jauh, dia akan dibiarkan dulu. Pemain tersebut bakal kembali ditekan ketika dianggap sudah membahayakan.
Sepintas, hal ini tampak seperti cara bertahan. Akan tetapi, di tim Gasperini, tidak ada distingsi antara bertahan dan menyerang. Lewat cara bertahan demikian, para pemain Atalanta kini jadi lebih mudah mendapatkan superioritas jumlah untuk melakukan overload sehingga serangan pun jadi lebih mudah dilancarkan. Hasilnya, Atalanta musim ini menjadi tim terproduktif Serie A dengan koleksi 73 gol.
Cara bermain seperti itu bukannya tanpa kekurangan. Sejauh ini Atalanta sudah kemasukan 44 kali dan itu merupakan bukti bahwa cara ini memunculkan banyak ruang yang bisa dieksploitasi oleh lawan. Akan tetapi, torehan 73 gol tadi nyatanya cukup untuk mendapatkan lebih banyak hasil positif ketimbang negatif.
ADVERTISEMENT
Bersama Atalanta, Gasperini seperti menemukan surga. Akan tetapi, untuk mendapatkan apa yang dia miliki, perjalanan Gasperini tidaklah mudah. Ketika pertama kali datang ke Atalanta di musim 2016/17, misalnya, Gasperini harus mendapati anak-anak asuhnya meraih hasil buruk. Dalam lima laga pertama Atalanta menelan empat kekalahan.
Yang menjadi masalah kala itu adalah adaptasi. Sebelumnya Atalanta adalah sebuah tim yang didesain untuk bertahan hidup, bukan menjadi agresor. Oleh Gasperini, mentalitas itu diubah. Akan tetapi, lantaran perubahan yang dilakukan begitu radikal, Atalanta terkaget-kaget dan akhirnya kelabakan.
Namun, Gasperini beruntung karena mendapat kepercayaan penuh dari Presiden Atalanta, Antonio Percassi. Menysuul kekalahan 0-1 dari Palermo, Percassi mendatangi tempat latihan Atalanta untuk memberi dukungan kepada Gasperini.
"Aku tidak mempunyai keraguan sedikit pun terhadap Gasperini. Dia adalah pelatih kita, pelatih terbaik yang bisa kita miliki, dan dia tak tersentuh. Sekarang mari kita lihat bagaimana cara kalian beraksi," ucap Percassi kala itu.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, pemain-pemain Atalanta mampu bangkit. Mereka menuruti betul instruksi Gasperini sampai ke titik komanya. Di akhir musim, Atalanta sukses finis di urutan keempat. Namun, karena saat itu Serie A cuma bisa mengirim tiga tim ke Liga Champions, Atalanta pun harus puas berlaga di Liga Europa.
Nyatanya, di Liga Europa mereka menggila. Everton dan Lyon dihantam, Borussia Dortmund dibuat kewalahan. Atalanta memang tersisih sebelum sampai partai puncak tetapi penampilan mereka kala itu semakin menegaskan betapa hebatnya sosok Gasperini sebagai pelatih. Kehebatan itu pun masih dirasakan hingga saat ini.
***
Di Atalanta, Gasperini beruntung punya bos seperti Percassi. Di tengah kesulitannya, pria kelahiran Grugliasco itu mendapat sokongan moral yang diperlukan. Hal serupa tidak bisa dikatakan untuk menjelaskan masa-masanya melatih Inter dan Palermo.
ADVERTISEMENT
Pujian dari Mourinho pada 2010 tadi rupanya punya pengaruh besar terhadap perjalanan karier Gasperini. Dan sebenarnya, bukan cuma Mourinho yang mengagumi mantan gelandang Juventus tersebut. Pada 2009, Sir Alex Ferguson pernah menyatakan kekagumannya kepada Gasperini.
Menurut Tuttosport, Ferguson bahkan berniat membajak Gasperini untuk dijadikan tangan kanannya. Akan tetapi, karena musim 2008/09 adalah musim di mana Gasperini membawa Genoa finis peringkat kelima, keinginan Sir Alex itu pun urung terpenuhi.
Sir Alex Ferguson pernah meminati Gian Piero Gasperini. Foto: Getty Images/Allsport UK/Allsport
Kekaguman dua sosok besar inilah yang akhirnya membuat Massimo Moratti dan Maro Branca kepincut. Walaupun masa kepelatihan Gasperini di Genoa berakhir dengan pemecatan di pertengahan musim 2010/11, dua petinggi Inter itu akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Gasperini untuk jadi suksesor Leonardo Nascimento.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Gasperini tidak bertahan lama di Inter. Sejak pertama kali datang dia sudah mendapat serangan dari kanan-kiri. Formasi tiga beknya dianggap kuno. Selain itu, dia juga dipandang sebagai sosok miskin pengalaman. Celakanya, performa Inter di bawah kendalinya pun jauh dari kata memuaskan. Setelah menang 4-1 atas Lecce di pekan pertama, Inter kalah dua kali dan bermain imbang sekali dalam tiga laga sesudahnya. Tanpa ba-bi-bu, Gasperini dipecat.
Masa-masa sulit ini dialami Gasperini sampai tahun 2013. Setelah dipecat Inter, dia mencoba peruntungannya bersama Palermo. Namun, dengan keberadaan presiden seperti Maurizio Zamparini, Gasperini memang tak pernah punya banyak kesempatan di klub Sisilia itu. Karier sang pelatih baru kembali stabil manakala dia kembali ke Genoa yang dia latih dari 2013 sampai 2016.
ADVERTISEMENT
***
Gasperini bangkit dari masa sulit dan itu bukan kebetulan. Sejak masih menjadi pemain, dia sudah terbiasa berjuang lebih keras dari rekan-rekannya. Meskipun lulus dari akademi Juventus berbarengan dengan Paolo Rossi, karier bermain Gasperini jauh sekali dari kata menterang.
Gianluca Mancini (kanan) berduel dengan Mario Mandzukic. Foto: AFP/Marco Bertorello
Tak mendapat kesempatan bersama 'Si Nyonya Tua', Gasperini hijrah ke Palermo sebelum mengembara ke tim-tim semenjana sampai akhirnya pensiun pada 1993 sebagai pemain Vis Pesaro. Pada tahun itu juga Gasperini memulai karier sebagai pelatih, tetapi perjalanan itu harus dia mulai dari bawah.
Selama 10 tahun berikutnya Gasperini menjadi bagian dari Juventus sebagai pelatih tim junior. Setelahnya, pada 2003, dia menerima tawaran Crotone dan membawa klub itu lolos ke Serie B. Tiga tahun bersama Crotone, Gasperini mengiyakan pinangan Genoa dan di situlah nama Gasperini mulai dikenal oleh publik sepak bola.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemain, Gasperini tidak pernah diberkati kemampuan teknik yang memadai. Sebagai pelatih, dia pun tak pernah betul-betul memiliki pemain bintang yang bisa mempersembahkan hasil instan. Keterbatasan itu nyatanya tak menghalangi kiprah Gasperini dan salah satu cara yang kerap dia lakukan untuk mengatasi itu adalah dengan mengorbitkan pemain muda.
Masa-masanya sebagai pelatih tim junior Juventus membuat Gasperini jadi lebih peka terhadap potensi pemain muda. Dari Domenico Criscito sampai Roberto Gagliardini, dari Andrea Masiello sampa Mattia Caldara dan Gianluca Mancini, semua mengorbit berkat kepercayaan Gasperini.
Tahun 2019 ini adalah tahun ke-26 Gasperini menjadi pelatih sepak bola. Perjalanan sepanjang itulah yang harus dia tempuh untuk jadi sosok yang betul-betul diperhitungkan. Namun, dalam kasus Gasperini, proses sama sekali tidak mengkhianati hasil dan jika semuanya berjalan lancar Kamis (16/5/2019) dini hari WIB nanti dalam pertandingan melawan Lazio, Gasperini akan mendapat trofi perdananya di ajang Coppa Italia. Rasanya, sudah waktunya penantian itu diakhiri olehnya.
ADVERTISEMENT