Polemik VAR: Teknologi, SDM, dan Senjata Pengubah Kultur

7 Agustus 2019 17:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Layar besar yang menampilkan VAR. Foto: Carl Recine/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Layar besar yang menampilkan VAR. Foto: Carl Recine/Reuters
ADVERTISEMENT
Dua puluh tahun penantian bukanlah waktu sebentar bagi Hakan Anaz. Baru pada usia 44 tahun, Anaz mendapat kesempatan menjadi wasit Piala Dunia edisi 2014.
ADVERTISEMENT
Memang, Anaz tak bertugas sebagai wasit tengah, melainkan asisten Ben Williams selaku pengadil lapangan. Namun, tetap saja, pengalaman itu tak terlupakan sepanjang kariernya sebagai wasit.
Tiga laga dilalui Anaz di Piala Dunia Brasil, yaitu dalam laga Korea Selatan versus Belgia, Honduras melawan Ekuador (fase grup), serta Kosta Rika berhadapan dengan Yunani (babak 16 besar). Usai menyentuh level Piala Dunia, Anaz pensiun.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari Anaz. Perjalanannya tak mudah mendapat kepercayaan menjadi salah satu wasit Piala Dunia.
“Saya adalah pengkritik. Saya suka menonton performa saya. Bahkan, ketika saya tahu pertandingan berjalan baik, saya pun secara kritis menganalisis keputusan, posisi, dan kinerja pribadi. Saya memiliki etos tersebut," ujar Anaz di situs Dutchreferee.
ADVERTISEMENT
"Intinya, saya tidak pernah berhenti belajar. Saya selalu menganalisis performa diri sendiri dan berusaha mencapai level yang lebih tinggi. Saya melakukan banyak latihan visualisasi dan teknis sehingga saya siap. Ada pepatah: gagal untuk mempersiapkan berarti bersiap untuk gagal. Jadi, persiapan saya tidak pernah main-main, baik fisik dan teknis. Saya harus memastikan berada di standar yang sangat tinggi sebelum berangkat ke turnamen,” imbuh Anaz.
Wasit berkebangsaan Australia itu tak pernah pergi dari dunia wasit. Kini, ia menjadi instruktur dan penilai wasit AFC. Nama Anaz juga masuk dalam daftar calon Direktur Teknik Wasit PSSI pada 2019 ini. Ia digadang-gadang menggantikan kursi Toshiyuki Nagi.
Sayang, gayung tak bersambut. Anaz keburu menerima tawaran FIFA menjadi Kepala Departemen VAR milik AFC. Tadinya, pengalaman Anaz yang sudah sampai ke Piala Dunia plus jabatan terkini di AFC dijadikan senjata untuk meningkatkan kualitas wasit Indonesia.
ADVERTISEMENT
***
Cerita Anaz bukanlah bagian lain dari artikel ini. Ia masih berkelindan dengan hasil rapat Komite Eksekutif (Exco) PSSI pada akhir bulan Mei lalu.
Ya, beberapa anggota Exco sudah menyetujui menggunakan video assistant referee (VAR) untuk kompetisi Liga 1. Meski, belum jelas kapan akan diimplementasikan.
Komite Eksekutif PSSI cuma menunjuk PT Liga Indonesia Baru (LIB) dan PSSI melakukan kajian soal VAR segera. Terbaru, federasi langsung menuju Thailand untuk melihat pengaplikasian VAR.
Exco sejatinya sadar pemakaian VAR tidak bisa disegerakan. Turnamen sekelas Piala Dunia saja baru menggunakan VAR pada 2018, itu pun dengan kajian mendalam. Banyak hal yang mesti disiapkan sebelum benar-benar VAR ada di Liga 1.
Pandangan awam, bicara VAR erat kaitannya dengan persoalan teknologi dengan harga selangit. Padahal, secara harfiah VAR itu berarti asisten wasit yang bertugas menganalisis video. Dengan kata lain, sumber daya manusia (SDM) memegang peranan penting dalam VAR.
ADVERTISEMENT
“Orang salah kaprah soal VAR. SDM wasit sebetulnya yang penting. Kita perlu wasit VAR. Tidak sembarangan cari wasit VAR. Bukan soal teknologi dan perangkatnya saja. Misalnya dalam satu pekan liga ada sembilan laga. Sementara satu pertandingan butuh empat wasit VAR. Jadi, minimal harus punya 36 wasit VAR,” ujar Efraim Ferdinand—Kepala Departemen Wasit PSSI—kepada KumparanBOLA, Selasa (6/8/2019).
VAR, masih menuai kontroversi. Foto: REUTERS/Carlos Barria
Menurut Efraim, wasit harus VAR punya kualifikasi khusus. Untuk mendapatkannya, mereka harus melewati delapan kursus sertifikasi dengan durasi waktu satu tahun.
Wasit VAR pun tidak bisa merangkap sebagai wasit aktif. Menurut Efraim, di FIFA pun VAR diisi wasit-wasit yang baru pensiun. Alasannya, jika wasit VAR merangkap sebagai wasit aktif maka akan mengganggu performa fisik.
ADVERTISEMENT
Jalan lainnya, PSSI mesti memproduksi wasit-wasit khusus VAR. Meski belum gantung peluit, para pengadil lapangan tersebut dibebastugaskan sebagai wasit lapangan dan cuma fokus dengan VAR.
“Wasit aktif ‘kan butuh menjaga fisiknya. Mereka pun sudah ditugaskan menyesuaikan program fisik. Misal saja, setelah bertugas mereka harus pemulihan fisik dan harus mencapai performa puncak saat ingin bertugas lagi. Kalau merangkap juga sebagai VAR, fisiknya pasti akan kacau,” tuturnya.
Dan, wasit pensiun itu juga tak sembarangan. Mereka mesti memiliki pengalaman dan lisensi melebihi wasit utama yang bertugas di lapangan.
“Wasit VAR tidak bertugas lagi di lapangan. Setelah pensiun mereka langsung dibekali soal teknologi VAR. Jadi, tidak asal wasit pensiun yang gagap teknologi. Pensiunnya juga harus fresh. Artinya, Laws of the Game masih hafal di kepala. Pengalaman juga berbicara. Ambil contoh wasit VAR di Piala Dunia. Mereka pastinya wasit-wasit pensiun yang sudah pernah memimpin Piala Dunia ketika aktif,” kata Efraim.
ADVERTISEMENT
Perkenalan Wasit Liga 1 2019. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Mencari wasit VAR dengan kriteria yang disebut Efraim menjadi persoalan utama. Itu pula yang jadi pekerjaan rumah pertama saat bicara penerapan VAR di Tanah Air.
Belum lagi bicara perangkat VAR dan kaitannya dengan infrastruktur di Indonesia. Intinya, butuh proses panjang agar VAR bisa dipakai di sepak bola nasional.
Tak heran, nama Anaz muncul di benak Efraim ketika Exco PSSI meminta VAR segera dipakai. Ia sejatinya akan didaulat sebagai ahli untuk ‘mengajari’ VAR di Indonesia. Sayang, Anaz tak bisa menerima pinangan itu.
Belum habis akal, Efraim segera berguru ke Thailand pada akhir Juli lalu. Segala macam kebutuhan dipelajari di Negeri Gajah Putih.
“Kami mencari tahu apa saja yang mesti dibuat. Butuh melihat juga pengaplikasiannya seperti apa. Thailand saja tidak (menerapkannya) musim ini. Mereka coba dulu di sebuah turnamen domestik dulu. Setelah menjalani sertifikasi, FIFA dan IFAB masih harus memantau performa wasit dalam pengoperasian VAR," kata Efraim.
ADVERTISEMENT
"Segalanya mesti melalui persetujuan FIFA. Apakah wasit VAR sudah bisa diturunkan atau belum. Lalu, teknologi seperti software dan perangkat lain juga melalui sertifikasi FIFA dan IFAB. Artinya, vendor teknologi VAR juga direkomendasikan FIFA dan IFAB,” ujarnya.
Simulasi menjadi perlu karena kerja VAR juga melibatkan wasit yang bertugas di lapangan. Koordinasi wasit VAR dan wasit utama harus dilatihkan.
Pasalnya, runutan proses di sebuah pertandingan sebenarnya juga tak sederhana. Wasit VAR—yang sudah khatam Laws of the Game—mesti menentukan sepersekian detik insiden kunci.
Mereka harus memotong video insiden kunci itu untuk ditampilkan di layar VAR. Wasit VAR lantas memberikan instruksi kepada wasit tengah apakah kejadian di lapangan dinyatakan VAR atau tidak.
“Basis teknologi dan analisis menjadi keahlian wasit VAR. Wasit VAR sama seperti wasit tengah. Dia juga membuat keputusan, tapi melalui video. Makanya perlu wasit VAR ini punya pengalaman lebih daripada wasit tengah," ungkap Efraim.
ADVERTISEMENT
"Ia jadi lebih tahu apakah keputusan wasit tengah sudah tepat atau belum. Kalau belum tepat, wasit VAR menginstruksikan wasit utama untuk melihat layar VAR. Koordinasi itu juga perlu latihan panjang,” imbuhnya.
Lepas soal SDM, teknologi menjadi poin penting berikutnya. Jumlah kamera VAR menjadi bahan perbincangan menarik.
Setidaknya, kamera yang dibutuhkan untuk VAR harus menjangkau empat insiden kunci, seperti gol atau tidak gol, pelanggaran yang menyebabkan penalti, kartu merah langsung, dan salah identitas.
Pertanyaan mengemuka apakah pengoperasian VAR bisa menggunakan kamera broadcast? Efraim menampiknya.
Ia menilai pandangan kamera broadcast berbeda dengan pandangan kamera untuk VAR. Operator kamera VAR pun berdiri sendiri.
“Sudut pandang kamera VAR bukan seperti yang ditampilkan untuk tayangan televisi. Ada penambahan jumlah kamera. Mencari operator kamera VAR menjadi masalah lagi. Dia harus tahu sudut-sudut pandang yang dibutuhkan wasit. Tidak mungkin operator VAR mengambil gambar dari kamera broadcast atau siaran televisi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
VAR di Piala Dunia 2018. Foto: REUTERS / Sergei Karpukhin
Pengadaan kamera VAR yang cukup rumit itu sempat disindir Bandung Premier League (BPL). Turnamen liga komunitas itu mengklaim diri bisa membuat perangkat VAR dengan modal Rp15 juta saja.
Hanya saja VAR milik BPL cuma bisa menjangkau area kotak penalti saja. Perangkatnya pun tidak sesuai dengan standar FIFA dan IFAB.
“Alat kami simpel. Dua CCTV di masing-masing gawang. Lalu, kami memakai kabel ke monitor. Dari monitor operator disambungkan ke monitor untuk wasit yang ada di lapangan. Sejauh ini cuma bisa kejadian krusial di kotak penalti, seperti pelanggaran atau gol,” ujar Doni ‘Jalu’ Setiabudi, CEO BPL, ketika dijumpai KumparanBOLA.
VAR ala BPL itu juga yang ditawarkan Doni ke PSSI. Bahkan, karyanya sudah diakui Menpora Imam Nahrawi.
ADVERTISEMENT
Namun, Efraim tak sepakat dengan VAR versi BPL. Alasannya, jika mau diterapkan di liga resmi semisal Liga 1, semua harus disetujui FIFA dan IFAB.
Tentunya, lanjut Efraim, VAR ala BPL tak sesuai dengan infrastruktur stadion yang dipakai di Liga 1. Belum lagi kalau bicara perangkat pelengkap lainnya.
“Tidak bisa seperti itu di liga. Kameranya harus yang spesifikasi lebih tinggi. ‘Kan stadion di liga luasnya saja beda. Sementara VAR dari FIFA ada software khusus. Butuh instalasi sendiri. Bagaimana VAR ini sebisa mungkin waktunya sama dengan di lapangan sesungguhnya. Jangan sampai di lapangan sudah menit ke-1, tapi di monitor VAR baru detik 50 misalnya," tutur Efraim.
"Operator VAR juga tidak sembarangan, harus disertifikasi. Jangan sampai, gara-gara VAR waktu pertandingan berhenti 10 menit. Ada lagi dari sistem, atau si operator tidak tahu dan lama memotong insiden kunci karena tidak punya kapasitas,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
VAR sesungguhnya tak sesederhana VAR ala BPL. Teknologi kamera pun mesti punya kapasitas super slow motion dan ultra slow motion.
Terlepas dari perdebatan itu, VAR digadang-gadang bisa mengubah kultur sepak bola Indonesia. Bukan rahasia lagi kalau protes keras kerap kali muncul menyikapi keputusan wasit.
Sebuah cerita menarik muncul dari BPL ketika frekuensi protes berkurang semenjak ada VAR buatan sendiri. Pemain-pemain yang berlaga di liga komunitas itu menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada sang pengadil lapangan.
Wasit Wawan Rapiko (kanan) memberikan kartu kuning kepada pemain Borneo FC Abrizal Umanailo dalam pertandingan semifinal leg pertama Piala Indonesia di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
“Tingkat keributan atau protes terhadap wasit menurun drastis sampai 90 persen. Sampai ada kejadian lucu ketika ada insiden di kotak penalti, pemain teriak handball. Wasit menuju monitor VAR dan tidak sengaja listrik mati. Jadi, layar blank. Wasit pintar. Dia balik lagi dan bilang tidak penalti. Pemain tidak protes,” kata Doni.
ADVERTISEMENT
Ya, kepercayaan kepada wasit memang tengah menurun di kompetisi Tanah Air. VAR tampaknya menjadi penawar satu-satunya agar kultur sepak bola berubah sekaligus kembali menaikkan kepercayaan terhadap wasit.
Meski demikian, Efraim kembali menekankan bahwa kualitas wasit paling utama. VAR hanya perangkat pendukung saja.
“Percuma ada VAR tapi wasit tidak hafal Laws of the Game. Begitu lihat VAR, dia bingung menentukan keputusannya. Intinya, semua balik lagi ke SDM. Kepercayaan kepada wasit juga terangkat kalau pengadil diperbaiki kualitasnya. Toh, ketika sedang bertanding wasit tengah berhak lho untuk menolak VAR. Semua keputusan ‘kan ada di tangan dia. VAR punya kewenangan terhadap keputusan di lapangan,” ujar Efraim.