Son Heung-min: Lahir di Chuncheon, Menjadi Bintang di London

14 Februari 2019 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perayaan gol Son Heung-min di pertandingan melawan Dortmund. Foto: AFP/Adrian Dennis
zoom-in-whitePerbesar
Perayaan gol Son Heung-min di pertandingan melawan Dortmund. Foto: AFP/Adrian Dennis
ADVERTISEMENT
Semarak Wembley belum kembali ketika para pemain Tottenham Hotspur dan Borussia Dortmund kembali dari ruang ganti. Puluhan ribu penonton yang hadir di sana masih berusaha bangkit dari pengalaman traumatik mereka di babak pertama. Ekspektasi mereka tinggi, tetapi justru disuguhi oleh minimnya peluang berarti.
ADVERTISEMENT
Yang tidak para penonton itu tahu, pelatih Tottenham Mauricio Pochettino sudah mempersiapkan babak kedua dengan cara yang tak biasa. Pochettino sadar bahwa pada babak pertama para pemain itu tampil tergesa-gesa sehingga segala upaya mereka terbuang percuma. Maka, Pochettino pun mengajak mereka duduk bersama menonton rekaman video yang sudah dipersiapkan.
Tak ada perubahan di air muka para pemain Tottenham ketika mereka kembali dari ruang ganti. Akan tetapi, isi kepala mereka benar-benar baru. Kuliah singkat Pochettino yang baru saja diterima sudah siap mereka praktikkan di dunia nyata dan impaknya pun langsung terasa.
Pertandingan babak kedua belum berusia satu menit ketika Lucas Moura, Jan Vertonghen, dan Christian Eriksen terlibat dalam sebuah serangan yang dilancarkan dari sisi kiri. Vertonghen yang terakhir menguasai bola bisa saja kehilangan si kulit bulat andaikata Eriksen tak sigap membantunya. Lucas, sementara itu, berhasil dikeluarkan dari permainan kecil itu oleh para pemain Dortmund.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, dua orang saja cukup. Dari Eriksen, bola dikembalikan lagi kepada Vertonghen yang sudah mengokang kakinya. Situasi ini diamati dengan cermat oleh Son Heung-min di kotak penalti.
Son tidak berdiri bebas. Di sebelah kanan belakangnya ada sosok Dan Axel Zagadou yang siap menerjang. Akan tetapi, di antara Son dan Zagadou ada jarak yang cukup besar; kira-kira setengah meter. Ketika Son melihat Vertonghen bersiap mengirim bola ke kotak penalti, dia cepat-cepat membalikkan badan. Celah setengah meter itu tadi menjadi tak ubahnya Terusan Suez yang bisa membuat Son tiba di tujuan dengan segera.
Tak sampai dua detik kemudian, bola sudah bersarang telak di gawang Roman Buerki. Umpan akurat Vertonghen berhasil disambut Son dengan kaki kanannya. Sembari melompat kecil, Son mengarahkan bola ke sudut kiri atas yang tak mampu digapai Buerki. Son pun berlari dan melakukan selebrasi bersama Serge Aurier yang datang menyelamati.
ADVERTISEMENT
Gol itu adalah gol pertama yang dilesakkan Tottenham ke gawang Dortmund pada pertandingan leg pertama babak 16 besar Liga Champions, Kamis (14/2/2019) dini hari WIB. Sesudah itu, dua gol tambahan tercipta, masing-masing lewat kaki Vertonghen dan kepala Fernando Llorente. Di akhir pertandingan Tottenham berpesta. Satu kaki mereka sudah di perempat final.
Pochettino pun girang bukan kepalang. Seusai laga bahkan dia berkata bahwa bisa saja para pemain Tottenham diliburkan usai memetik kemenangan besar tersebut. Tak lupa, Pochettino menyebut gol Son itu sebagai suntikan morel berharga. Lewat gol pemain asal Korea Selatan itulah keberuntungan kemudian menjalari Tottenham hingga peluit panjang.
Ya, Son adalah jimat keberuntungan Tottenham musim ini. Sudah ada 13 pertandingan yang dilalui Tottenham dengan diwarnai gol dari Son dan semuanya berakhir dengan kemenangan. Son pun kini jadi tumpuan anyar Tottenham di lini depan menyusul cedera yang dialami penyerang andalan mereka, Harry Kane.
ADVERTISEMENT
Melihat Son berlaga di lapangan saat ini, sulit membayangkan bahwa ketika pertama kali datang ke Tottenham dulu dia sempat langsung ingin pindah. Pochettino ketika itu harus turun tangan langsung agar Son kerasan di London Utara. Son akhirnya berhasil diyakinkan dan dalam tiga musim terakhir telah terbukti bahwa bertahan adalah keputusan tepat baginya.
Sissoko (kanan), transfer gagal Spurs. Foto: Clive Rose
Ketidakbetahan Son kala itu sebetulnya tak sukar dipahami. Pasalnya, proses transfer pemain binaan FC Seoul ini ke White Hart Lane tidaklah mudah. Saking inginnya menjajal Premier League bersama Tottenham, Son sampai harus bersitegang dengan klub yang dia perkuat sebelumnya, Bayer Leverkusen.
Kala itu, pada awal musim 2015/16, Son minta dijual. Akan tetapi, Leverkusen yang masih punya akal sehat terang-terangan menolak. Pada musim 2014/15, Son tampil 38 kali untuk Leverkusen di Bundesliga dan Liga Champions dengan sumbangsih 14 gol. Di musim 2015/16 pun Son sudah tampil sekali untuk klub milik perusahaan farmasi Bayer tersebut.
ADVERTISEMENT
Artinya, Son ketika itu dianggap sebagai bagian dari rencana masa depan Leverkusen. Namun, seperti halnya Glitch yang ngebet meninggalkan gim Sugar Race untuk pindah ke Slaughter Race dalam film animasi 'Ralph Breaks the Internet', Son merasa Tottenham bisa menghadirkan tantangan lebih besar yang bisa membuatnya jadi pemain yang lebih besar pula.
Situasi itu kemudian memuncak manakala Son menghilang. Akhirnya, Leverkusen menyerah. Mereka menerima tawaran 30 juta euro dari Tottenham untuk menjadikan Son pesepak bola termahal Asia. Rumitnya proses kepindahan inilah yang membuat Son merasa frustrasi lantaran jarang dimainkan sebagai starter di klub barunya. Beruntung, Pochettino bisa mendeeskalasi situasi.
Merajuk sebenarnya bukan tindakan yang akrab dengan Son. Ketika pertama kali datang ke Jerman pada usia 16 tahun, Son dikenal sebagai remaja pemalu. Deskripsi itu diberikan oleh mantan ibu asuhnya di Jerman, Jutta Wendorf. Akan tetapi, sikap pemalu Son itu bisa dengan mudah dijelaskan lewat ketidakmampuannya berbahasa Jerman ketika itu.
ADVERTISEMENT
Maka, Son pun jadi irit bicara. Ketika akhirnya dia direkrut oleh Hamburger, Son pun lebih banyak berlatih sepak bola ketimbang menjalin keakraban dengan kawan-kawannya. Bukannya tidak mau, tetapi memang Son tidak bisa.
Son Heung-min saat memperkuat Bayer Leverkusen. Foto: AFP/Patrik Stollarz
Walau demikian, usaha keras Son di lapangan latihan itu terbalas lewat kepercayaan besar yang diberikan Hamburger. Hanya dua tahun setelah tiba untuk kali pertama, pemain kelahiran Chuncheon itu sudah menjadi bagian dari tim utama 'Sang Dinosaurus'. Di musim berikutnya, Son telah berhasil menjadi salah satu pemain penting.
Tiga musim lamanya Son berada di Hamburger dan pada musim ketiga dia benar-benar meledak. Bermain sebanyak 33 kali di Bundesliga, Son mampu mencatatkan 12 gol dan 2 assist. Keberhasilan ini sekaligus menjadi jawaban sempurna atas larangan sang ayah, Son Woong-jung, yang tidak ingin anaknya menjadi pesepak bola.
ADVERTISEMENT
Dari sanalah Son kemudian menarik minat Leverkusen. Setelahnya, Son pun sampai di Premier League dengan berseragam Tottenham Hotspur.
Sebagai seorang penyerang sayap, Son terbilang punya kemampuan lengkap. Dia cepat, cerdas, punya teknik olah bola bagus, punya penyelesaian akhir yang baik, dan bisa menggunakan kaki kanan serta kiri dengan sama baiknya. Inilah yang membuat Son kemudian jadi begitu fleksibel. Di Tottenham, di bawah asuhan Pochettino, fleksibilitas itu membuatnya jadi pemain penting.
Dalam situasi normal, jika Kane dan Dele Alli bisa bermain, Son biasa bermain di sayap kiri. Dari posisi itu dia bisa memiliki banyak opsi untuk menyakiti lawan, entah dengan bergerak menyisir sisi tepi lapangan, menusuk ke dalam untuk mencari ruang tembak, maupun dengan bergerak ke tengah untuk berkolaborasi dengan Alli dan Eriksen.
ADVERTISEMENT
Salah satu penampilan terbaik Son musim ini adalah ketika Tottenham melumat Everton dengan skor 6-2, akhir Desember tahun lalu. Son mencetak dua gol pada pertandingan itu dan bertanggung jawab langsung atas dua gol lainnya yang masing-masing dilesakkan Alli dan Kane. Alli mencetak gol memanfaatkan bola muntah hasil sepakan Son yang ditepis Jordan Pickford, sementara Kane membobol gawang The Toffees berkat assist dari Son.
Son Heung-min berselebrasi usai meraih emas cabor sepak bola putra Asian Games 2018. Foto: Chaideer MAHYUDDIN/AFP
Semua itu dilakukan Son dengan pergerakan yang sebenarnya terlihat mudah tetapi sesungguhnya amat sukar dilakukan tanpa kemampuan teknis dan kecepatan berpikir yang mumpuni. Penampilan ini semakin membenarkan ucapan pelatih Timnas Korea Selatan, Shin Tae-yong, pada 2016 silam.
"Ketika aku pertama kali melihatnya, dia cuma pemain cepat, tanpa penampilan yang cemerlang. Namun, seiring berjalannya waktu, tekniknya semakin berkembang terutama di area kotak penalti. Ini adalah alasan kenapa Tottenham rela membayar mahal untuknya," kata Shin seperti ditulis Sky Sports.
ADVERTISEMENT
Ucapan Shin itu sudah berusia hampir tiga tahun dan dalam kurun waktu tersebut Son terus berkembang, berkembang, dan terus berkembang. Sejauh musim 2018/19 berjalan, Son sudah mencetak 16 gol dan 6 assist. Padahal, Son sempat harus absen memperkuat Tottenham lantaran ada tugas negara yang harus dia laksanakan.
Son mengawali musim 2018/19 dengan kekhawatiran. Kegagalan Korea Selatan di Piala Dunia 2018 membuat Son terancam harus ikut wajib militer selama kurang lebih dua tahun. Wajib militer itu berpotensi membuat karier Son berantakan. Oleh karenanya, pemain 26 tahun ini kemudian ngotot untuk ikut tim Korea Selatan di Asian Games 2018.
Berlaga di Indonesia, Son akhirnya berhasil lepas dari wajib militer usai mengantarkan Korea Selatan meraih medali emas. Adalah Jepang yang kala itu berhasil dia taklukkan. Meski begitu, tugas negara yang diemban Son tak berhenti di situ karena pada Januari lalu dia kembali memperkuat Taeguk Warriors di Piala Asia. 'Beruntung' bagi Tottenham, Korea Selatan tersingkir lebih cepat sehingga Son pun pulang lebih awal.
ADVERTISEMENT
Kini, Son benar-benar menjadi bintang Tottenham. Namun, kebintangan pemain yang kerap menghiasi tabloid Korea Selatan ini tak diraih dengan cara-cara individualis seperti yang dilakukan Cristiano Ronaldo. Oleh karena itu, sebenarnya julukan 'Sonaldo' yang disematkan terhadapnya tidaklah terlalu tepat. Son mencuat karena dia selalu memberi yang terbaik untuk tim yang gaya bermainnya amat cocok dengan dirinya.