Makan Serangga, Alternatif Sustainable Food yang Tinggi Protein

19 Juli 2019 19:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jajanan ekstrem di Bangkok. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Jajanan ekstrem di Bangkok. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Gaya hidup sehat membuat banyak orang beralih ke sustainable food. Bagi yang belum familier, sustainable food mengacu pada makanan yang aman dan sehat. Diproduksinya pun tanpa menggunakan pestisida dan bahan kimia.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, sustainable food bukan hanya soal makanannya. Istilah ini juga mengacu pada kombinasi beberapa faktor terkait proses produksi, bagaimana ia didistribusikan, hingga cara konsumsinya.
Tujuan sustainable food ini adalah mencegah kerusakan dan mengurangi tingkat sumber alam yang disia-siakan. Mereka yang sadar akan gaya hidup berkelanjutan ini biasanya mengurangi konsumsi daging, ikan, dan produk dairy. Tak perlu menjadi vegan atau vegetarian; namun memang lebih banyak makan sayur dan buah.
Di tengah banyaknya sustainable food yang bermunculan, ada satu gagasan unik yaitu dengan makan serangga. Misalnya menambahkan jangkrik krispi ke poke bowl.
Abokado, sebuah restoran sushi di London memprediksikan bahwa serangga akan jadi makanan normal untuk diet sehari-hari. Ini juga yang jadi alasan mereka menjual menu poke bowl dengan jangkrik krispi sebagai topping-nya.
ADVERTISEMENT
Mengkonsumsi serangga memang bukan hal yang baru. Sebelum beberapa restoran menyediakan makanan ekstrem ini, ada istilah entomophagy yang mendeskripsikan praktik makan serangga oleh manusia. Tak hanya jangkrik, pilihan lainnya ada semut yang rasanya seperti madu, giant hornet pupae —larva lebah raksasa dengan rasa creamy—, serta larva kumbang dengan rasa smokey di lidah.
Jajanan ekstrem di Bangkok. Foto: Shutterstock
Masih aneh di telinga? Sekarang malah sudah banyak yang mengkonsumsi semua makanan di atas dalam keadaan mentah.
Dilansir Independent, serangga dinilai dapat mendukung gaya hidup sustainable. Pertanian dan pengolahan hewan ternak menghancurkan alam; melepaskan ribuan ton CO2 ke udara. Angkanya terus naik seiring dengan populasi dan keinginan makan daging yang bertambah.
Serangga juga butuh lebih sedikit makanan, dan proses pengembangbiakkannya cepat. Kehidupannya tidak mengambil ruang yang terlalu besar di bumi.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, serangga jadi pilihan asupan protein sehat, tanpa lemak pula.
kumparan menghubungi Prof.Dr. Nuri Andarwulan, Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFEST) sekaligus Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Setali tiga uang, ia setuju kalau serangga mengandung banyak protein. Menurutnya, memang sudah ada kajian untuk mengganti produk beef burger dengan serangga.
“Karakter produknya pasti beda. Seperti halnya roti dengan terigu dengan yang terbuat dari bukan terigu. Atau bakso daging sapi jadi ikan,” ungkapnya dalam percakapan via Whatsapp dengan kumparan (19/7).
Sebenarnya budaya makan serangga itu sudah ada dari lama. Misalnya saja di Thailand yang hingga kini masih makan serangga —bahkan jadi street food yang paling menarik minat wisatawan. Di Indonesia pun demikian. Rempeyek yang asalnya jadi Jawa Tengah pun ada yang menggunakan laron.
Jajanan ekstrem di Bangkok. Foto: Shutterstock
Ada pula ulat sagu yang biasa jadi makanan orang Papua. Di Gunung Kidul belalang goreng jadi camilan berprotein tinggi yang digandrungi. Dari hama tanaman, jadi penganan.
ADVERTISEMENT
Sama seperti restoran di luar negeri yang mulai menghadirkan menu dengan serangga, Locavore jadi salah satu pembawa tren ini ke Indonesia. Sesuai dengan arti namanya, tempat makan di Bali ini hanya menggunakan bahan lokal.
Dalam presentasi di Ubud Food Fest 2019, mereka menyajikan telur semut, jangkrik, bubuk laron, dan larva untuk dimakan. Memang agak aneh karena di meja presentasi mereka, masih ada serangga yang hidup. Tidak seaneh melihat ayam hidup memang.
Salah satu hidangan di Locavore: Hati sapi dengan bubuk jangkrik. Foto: Toshiko/kumparan
kumparan mencicipinya langsung, ternyata tidak ada yang aneh. Rumah semut terasa seperti kacang yang manis. Sementara bubuk jangkrik dan laron bikin rasa makanan semakin gurih. Ulat yang digoreng pun seperti rempeyek rebon.
Memang, ada saatnya kami sedikit bergidik, terutama ketika otak berpikir kalau yang dimakan adalah serangga.
ADVERTISEMENT
Dampak kesehatan konsumsi serangga
Kendati tinggi protein, namun Prof. Nuri menekankan bahwa peminatnya harus berhati-hati dengan kandungan alergen di dalam serangga.
“Mengandung alergen, mirip dengan ikan dan hasil laut. Ini yang bikin alergi, sama seperti alergi dengan seafood. Yang dimakan pun tidak sembarang semut atau ulat, harus dilihat lagi,” jelas Prof. Nuri lebih lanjut.
Protein yang tinggi plus masuk ke dalam sustainable food mungkin membuat serangga kelak akan diburu jadi makanan sehat. Apakah kamu berani mencobanya?