Masalah dan Tantangan Perfilman Nasional

30 Maret 2017 9:25 WIB
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi FIlm. (Foto: Pixabay)
Dari mata Fauzan Zidni, Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), ada tiga masalah utama di subsektor perfilman yang perlu segera diatasi.
ADVERTISEMENT
Pertama, masih rendahnya kualitas film lokal secara rata-rata dan kurangnya pekerja film yang berkualitas yang disebabkan terbatasnya sekolah film. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi akan kehadiran film-film impor.
"Secara umum, film Indonesia juga masih kurang bisa bersaing jika dihadapkan dengan film-film blockbuster dari Hollywood. Talent-talent baru untuk sutradara memang banyak bermunculan, tapi untuk produser, saya pikir pertumbuhannya tidak sebanyak yang diharapkan. Mungkin karena posisi sutradara terlihat lebih glamor, dan semua orang sepertinya ingin jadi sutradara. Padahal, fungsi dan peran produser sangat vital dalam sebuah produksi," kata Fauzan saat dihubungi kumparan (kumparan.com).
Produser tentunya bukan hanya menginisiasi sebuah proyek, namun mengamankan pembiayaan, terlibat dalam menjaga proses kreatif, hingga urusan distribusi dan penjualan film.
ADVERTISEMENT
Jika filmnya tidak laku, pihak bioskop tentu tidak bisa mempertahankannya terus menerus. Kalau penontonnya sedikit sekali, berarti filmnya memang harus turun.
Kedua, kurangnya layar dan akses ke bioskop. Saat ini, jumlah layar bioskop di Indonesia ada 1.117 layar dengan persebarannya yang tidak merata. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, Indonesia memiliki ratio per kapita yang sangat rendah.
Ilustrasi Film. (Foto: Pexels)
Riset portal filmindonesia.or.id menunjukan, hanya 13 persen kabupaten dan kota yang punya akses ke bioskop. Ketimpangan persebaran bioskop juga terjadi dengan 87 persen layar terpusat di Pulau Jawa, dan 35 persen layar berada di DKI Jakarta.
Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat dalam menghargai kekayaan intelektual sehingga pembajakan film secara fisik maupun digital masih merajalela.
ADVERTISEMENT
"Beberapa waktu lalu, kami observasi 102 pusat perbelanjaan di DKI Jakarta. Masih ada 23 pusat perbelanjaan yang membiarkan kehadiran pedagang DVD bajakan. Padahal, UU 28 tahun 2014 Hak Cipta memberikan tanggung jawab dan sanksi pidana ke pengelola pusat perbelanjaan," ucap Fauzan.
Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap DVD bajakan membuat secondary market film mati, sehingga produser tidak mendapatkan pendapatan tambahan di luar bioskop dan televisi. Tapi sekarang, munculnya penyedia jasa nonton online berbayar juga mampu mendongkrak pertumbuhan bisnis film.
"Kita harus dukung agar bisnis mereka tumbuh. Semoga kita juga memiliki semakin banyak kapital agar bisa lebih banyak lagi membeli konten-konten film Indonesia dengan harga yang pantas," tuturnya.
Infografis Layar dan Sinema Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Tahun 2016 adalah salah satu tahun terbaik Indonesia secara market share maupun secara angka penonton. Secara market share, Indonesia menembus angka 34 persen.
ADVERTISEMENT
"Kalau enggak salah, sekitar 140 film diproduksi dalam satu tahun itu (2016). Ini rekor yang terbanyak. Berarti kan, gairah orang-orang untuk memproduksi dan menonton sedang tinggi-tingginya," kata Fauzan.
Maka dari itu, Fauzan berharap agar tahun ini ada peningkatan dalam angka penonton.
"Beberapa tahun kemarin, film yang masuk festival internasional semakin banyak. Banyak yang sudah mulai menunjukkan lagi kelasnya di internasional. Semoga penonton film nasional di tahun 2017 semakin meningkat," ucapnya.
Namun, jika penonton film nasional di bioskop terus meningkat dari tahun ke tahun, kenapa datanya sulit untuk diakses? Menurut Fauzan, hal itu adalah kewajiban pemerintah.
"Di pasal 33 Undang-undang Republik Indonesia nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, ada kewajiban untuk melaporkan data di situ. Bioskop wajib melaporkan ke menteri, dam menteri wajib melaporkan ke masyarakat. Mekanisme pelaporannya seperti apa, ini belum diatur," terang Fauzan.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi film. (Foto: Pixabay)
Fauzan menambahkan, APROFI turut mengapresiasi Cinema XXI yang sudah mengirimkan data film Indonesia setiap minggunya.
"Mungkin, bioskop lain juga ada yang mengirimkan data. Tapi, biasanya waktu kita minta, mereka enggak kasih, karena dia bilang ada produser yang enggak setuju datanya di-publish. Padahal, datanya juga sudah ke-publish," tuturnya.
Jadi, untuk kewajiban data film asing atau nasional, hal itu sebuah kewajiban untuk melaporkan hasilnya kepada menteri.
"Sekarang gini, kita mau yang nge-publish film  kita sendiri, atau kita pengin ada sistem yang mengatur itu semua?" tanya Fauzan.
Bagaimana mekanisme soal pajak film? Simak di story selanjutnya.