Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Membedah Wajah Setan Perempuan dalam Film Horor Indonesia
26 Oktober 2017 8:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Ibu datang lagi.
Marwani hanya bisa tidur, makan, dan berbaring di kasurnya. Wajahnya pucat, raganya lemah. Sehari-hari, ia menggunakan lonceng bila hendak meminta bantuan dari anak-anak atau suaminya untuk sekadar makan atau disisir rambutnya. Hingga ibu empat anak itu wafat dan seluruh keluarga berduka.
ADVERTISEMENT
Namun, kesedihan tak berlangsung lama, dan segera bertukar dengan ngeri tak terperi. Roh Ibu ternyata tetap di rumah itu--bersama “kawan-kawan” sedunianya kini.
Euforia Pengabdi Setan , bagi sebagian orang, terbawa hingga ke semesta mimpi atau alam bawah sadar. Mulai dari ilusi denting suara lonceng yang sekonyong-konyong terdengar, bayangan kain putih yang terbang cepat tertangkap ekor mata, hingga suara lagu “Kelam Malam” yang tiba-tiba terdengar--lewat tengah malam.
Sosok Ibu menjadi begitu familiar dan lekat di benak. Rambut panjangnya, seringai seramnya, seolah membayangi malam-malam para penontonnya. Ditambah pengemasan suasana vintage pada film, menambah kesan seram dan mencekam kala sosok Ibu tiba-tiba muncul, entah di sudut ruangan atau luar jendela (mana favorit anda?)
Karakter Ibu dengan lihai dimainkan oleh Ayu Laksmi , seniman perempuan yang telah menggeluti dunia seni selama bertahun-tahun. Peran Mawarni Suwono, nama lengkap “Ibu” di Pengabdi Setan, ditampilkan sebagai karakter tak berdaya, sakit-sakitan, dan hanya bisa berbaring lemah di kasur hingga akhirnya wafat karena penyakitnya.
ADVERTISEMENT
“Ibu yang tidak berdaya karena raganya sudah lemah, dikuasai roh jahat yang meminjam tubuhnya, dan ada penyesalan yang begitu besar tapi tidak bisa dia ceritakan ke keluarganya. Dia bersyukur karena punya anak, tapi pada waktu bersamaan menyesal karena mengabdi pada sesuatu yang salah,” kata Ayu Laksmi, menafsirkan sosok Ibu, ketika berbincang dengan kumparan, Sabtu (21/10).
Semasa hidupnya, Mawarni adalah seorang penyanyi sukses, cantik, populer. Penggemarnya begitu banyak. Ia meraih Platinum Records, tanda karyanya telah mencapai angka penjualan hingga satu juta.
“Ketenaran, popularitas dia oke banget. Dia dapat uang karena secara artis sangat menguntungkan. Kan ada Platinum Records di kantornya itu,” kata Joko Anwar sang sutradara film Pengabdi Setan, Kamis (19/10).
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya tak ada kesempurnaan dalam hidup. Dan bagi Mawarni, ketenaran dan kekayaan tak lengkap tanpa kehadiran anak-anak. Sayangnya, ia tak juga punya anak. Hingga hal tersebut membuatnya mengabdi pada sebuah sekte kesuburan--yang akhirnya membuat ia mati tak tenang, dan berimbas teror terhadap keluarga yang justru ia sayangi.
Ibu Mawarni yang gentayangan digambarkan mengenakan baju putih panjang, dengan rambut terurai, lingkaran mata hitam, dan seringai menakutkan di wajah. Penggambaran ini, sekilas, tampak seperti bagaimana setan perempuan pada umumnya ditampilkan. Kuntilanak, misalnya.
Bagaimanapun, Joko Anwar memberikan sentuhan amat berbeda pada karakter Ibu dalam Pengabdi Setan--remake dari film berjudul serupa pada 1980. Joko melihat sosok Ibu Mawarni sebagai perempuan yang kuat dan berdaya. Ini dia gambarkan dengan gemilangnya karier Mawarni sebelum ia jatuh sakit.
ADVERTISEMENT
“Karakter si Ibu ini sebenarnya adalah orang yang sangat teremansipasi. Tapi dia juga punya beberapa kelemahan. Dia orang yang sangat ambisius, ingin mendapatkan semua--wealth, luxury, yang ada di dunia. Pada waktu itu kan, luxury pasti ketenaran, karier yang sangat baik, harta. Terus dia juga mau punya keluarga yang ideal,” jelas Joko.
Representasi perempuan dalam Pengabdi Setan pun dibahas dalam artikel berjudul “Pengabdi Setan, Menyadarkan Kita Tentang Nasib Perempuan” yang ditulis Gita Putri Damayana di The Conversation .
Artikel tersebut berbicara tentang bagaimana kisah hantu perempuan “Ibu”--juga kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol--sebenarnya menyimpan pertanda soal masalah besar yang menghantui sebagian perempuan Indonesia, yakni rendahnya akses atas layanan kesehatan dan nihilnya perasaan aman dari kekerasan.
ADVERTISEMENT
“Ada persepsi bahwa perempuan yang meninggal ketika melahirkan itu menjadi hantu. Padahal kalau misalnya mau mengutip ajaran agama Islam, ibu yang meninggal ketika melahirkan itu levelnya sama dengan jihad ketika meninggal di pertempuran, di medan perang. Tapi yang terjadi di publik, yang diwariskan ingatannya (lewat film), bahwa perempuan yang meninggal ketika melahirkan itu menjadi hantu--kuntilanak. Enggak ada simpatinya pada perempuan yang meninggal ketika melahirkan atau pada perempuan yang mengalami kekerasan seksual,” kata Gita di Jakarta, Selasa (17/10).
Konteks sosial ini, menurut Gita, lantas dilanggengkan secara turun-temurun dalam produk budaya. Salah satunya industri film. Gita melihat, film horor Indonesia memiliki sensibilitas amat rendah terhadap perempuan.
“Budaya-budaya populer, dari film-film Suzanna zaman dulu sampai sekarang, itu enggak ada simpatinya terhadap perempuan-perempuan yang jadi korban,” kata Gita.
ADVERTISEMENT
Menyelisik lebih dalam, penggambaran setan perempuan dalam film sesungguhnya memiliki sejarah panjang. Dari waktu ke waktu, wujud setan perempuan di layar kaca pun berubah-ubah mengikuti zaman.
Gladwin dalam tulisannya, Witches, Spells and Politics: The Horror Films of Indonesia, mengurai pandangan tentang bagaimana konteks sosial, budaya, dan politik dalam masyarakat Indonesia dari masa ke masa begitu kuat membangun representasi (setan) perempuan.
Awal 1980, film horor Indonesia mulai marak diproduksi, dengan karakter utama antara lain Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul, Sundel Bolong, hingga Ratu Ular yang disebut-sebut sebagai anak Ratu Laut Selatan.
Setan perempuan Indonesia tersebut kerap dimunculkan dengan tampilan khas, seiring konteks sosial yang mengiringi. Pada beberapa mitos, perempuan menjelma menjadi hantu ketika ia mati penasaran dan hendak balas dendam. Mereka yang mati karena diperkosa dan dibunuh, misalnya, akan berubah menjadi kuntilanak, lalu mengejar dan menguntit laki-laki yang telah menodai dan merenggut nyawanya.
ADVERTISEMENT
Seakan tak cukup ditampilkan seram, tak berdaya, dan hanya bisa melawan saat sudah mati, setan perempuan kerap dihadirkan menjelma manusia--dengan tampilan seksi dan sensual, bahkan hobi menggoda pria yang akan ia jadikan korban.
Pada 1981 misalnya, film Leak--atau dikenal juga dengan judul Mystic in Bali--menjadi salah salah satu film horor Indonesia yang mendapat perhatian masyarakat. Bercerita tentang perempuan Amerika yang hendak mempelajari dunia ilmu hitam di Bali, kisah ini memunculkan karakter hantu “Ratu” Leak yang menyeramkan dan menyebar teror kematian kepada masyarakat desa.
Sebagai film horor yang diproduksi pada awal 1980-an, Leak dianggap cukup menakutkan dan menarik--tanpa harus menampilkan perempuan berpakaian minim.
Gladwin dalam tulisannya pun menyebutkan, Leak muncul sebagai film horor aseksual alias tanpa sedikit pun adegan berbau seks disematkan dalam cerita. Ini, salah satunya, terkait sensor konten untuk film Indonesia. Pada periode 1980 awal tersebut, Badan Sensor Film (BSF) disebut menyeleksi ketat konten yang boleh ditonton masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada periode inilah Ratu Horor Suzanna mulai muncul dan menjadi karakter setan perempuan yang melegenda. Dalam film Nyi Blorong Putri Nyi Loro Kidul (1982) besutan Sisworo Gautama Putra, Suzanna tampil sebagai Ratu Ular. Karakternya digambarkan sebagai seorang perempuan cantik, memiliki kekuatan besar, sangat ditakuti, dan berhati licik. Jangan berani sembarangan berurusan dengannya.
Melihat dari berbagai film horor Indonesia, perempuan pada akhirnya digambarkan dalam dua jenis karakter. Pertama, perempuan yang memiliki kekuatan gaib dan kerap menyebarkan teror pada masyarakat--terutama laki-laki. Kedua, perempuan “baik-baik” yang berlaku sesuai norma tradisional masyarakat--baik, lembut, dan patuh.
Menurut Galdwin, penggambaran perempuan yang penuh kekuatan merupakan representasi ketakutan kolektif terhadap seksualitas perempuan yang dominan, sehingga kerap ditampilkan sebagai sosok sensual.
ADVERTISEMENT
Representasi setan perempuan dalam film horor Indonesia menjadi makin sensual dan hanya berpusat pada tubuh di periode 1987-1993. Kala itu, film Barat tengah begitu deras masuk ke Indonesia. Sistem sensor film di Indonesia pun kian longgar pada akhir 1980-an, sehingga konten sensual dan porno tersebar mudah di tengah masyarakat.
Kondisi semacam itu membuat industri film ikut mengambil keuntungan dengan menambahkan konten seksual ke dalam film guna menarik jumlah penonton lebih besar.
Film Pembalasan Ratu Pantai Selatan (1987), misalnya. Ratu Ular yang diperankan Suzanna digambarkan sebagai sosok yang memiliki hasrat seks tinggi. Ia menarik perhatian lelaki yang akan menjadi korbannya, hingga akhirnya masuk ke dalam jerat “sesi seks” bersama Sang Ratu. Kala si lelaki sudah terlena, ular akan keluar dari vagina Ratu, lalu menggigit si lelaki.
ADVERTISEMENT
Maraknya konten yang memperlihatkan perempuan sebagai tokoh sensual, berpakaian minim, dan fokus pada ketubuhannya, tetap marak hingga selepas Reformasi tahun 1998. Sebab film horor berbumbu seks macam ini dirasa menarik perhatian sebagian besar masyarakat hingga membuatnya terus diproduksi masif.
Judul-judul film horor dibuat “mengundang” imajinasi penonton, mulai Pocong Mandi Goyang Pinggul, Suster Keramas, hingga Tali Pocong Perawan. Posternya pun dengan eksplisit menampilkan perempuan berpakaian minim dan sensual.
Hal ini turut disorot Ayu Laksmi, Ibu Setan dalam Pengabdi Setan. Ia menyayangkan perempuan, baik dalam kebanyakan film maupun kehidupan nyata di masyarakat, masih kerap dipandang sebatas tubuh.
“Ketika orang mendengar (kata) perempuan, pasti satu image yang pertama kali muncul dalam pikiran adalah tubuh,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Walau pandangan ini belum banyak berubah, film horor Indonesia mulai memiliki sensitivitas terhadap cara merepresentasikan perempuan dalam kontennya. Joko Anwar memandang, sensibilitas film tahun 1970-1980an memang masih begitu rendah terhadap perempuan.
Sementara kini, menurutnya, para pembuat film memiliki pola pikir yang lebih peka sehingga menempatkan perempuan tak hanya sekadar tubuh.
“Misalnya pada film Pengabdi Setan 2017, perbedaannya adalah perempuannya itu teremansipasi. Jadi si Ibu tidak diperkosa atau dipaksa untuk punya anak. Dia sendiri yang mengambil keputusan. Opresi terhadap perempuan tetap ada. Tapi untuk film, sensibilitasnya nggak seekstrem dulu,” kata Joko.
Alam bawah sadar seorang Joko Anwar sendiri menyimpan kegelisahan tentang bagaimana sosok perempuan kerap diperlakukan “tak semestinya” dalam masyarakat Indonesia yang masih amat konservatif. Mungkin, ujar Joko, dari situ pula lahir karakter Mawarni Suwono yang terperosok menjadi pengabdi setan lantaran ingin punya anak.
ADVERTISEMENT
“Aku melihat banyak sekali orang-orang yang punya anak hanya karena mengikuti convention of society. (Konvensi itu) misalnya, anak habis SMA, orang bakal nanya ‘Eh, kuliah di mana?’ Habis kuliah, lulus, ditanya ‘Kerja di mana?’ Sudah kerja juga ditanya apakah prestisius, duitnya banyak? Setelah itu ditanya juga, ‘Kapan nikah?’ Jadi, (akibatnya) orang harus nikah karena secara sosial itu sesuatu yang harus diikuti. Habis nikah, tentu (pertanyaannya), ‘Punya anak kapan?’” ujar Joko bertubi-tubi.
Padahal, imbuhnya, “Habis kuliah, kalau nggak mau nikah ya nggak apa-apa. Habis nikah, kalau nggak mau punya anak juga nggak apa-apa. Some of my friends nikah, tapi nggak punya anak--memang belum mau. Dan aku rasa masalah di dunia banyak sekali karena (salah satunya) orang punya anak tanpa berpikir rencana untuk membesarkannya, tanpa jaminan anak ini akan jadi manusia yang bahagia atau tidak. Hanya ikut convention.”
ADVERTISEMENT
Akibatnya dalam jangka panjang, ujar Joko, banyak anak lahir tanpa perencanaan matang orang tua. “Alhamdulillah, dari mereka banyak yang beruntung disayang orang tua, mendapat pendidikan dan kehidupan baik. Tapi nggak sedikit juga yang akhirnya hanya jadi statistik--statistik orang-orang yang terlantar, terjerumus kriminal.”
Kegelisahan pada alam bawah sadar Joko Anwar itulah yang membuatnya melahirkan karya-karya yang memuat karakter perempuan hamil sebagai ciri khas. Pun tanpa perempuan hamil di Pengabdi Setan, Joko memunculkan sekte kesuburan--yang tak ada pada film Pengabdi Setan tahun 1980-an. Meski, tegas Joko, keputusan Mawarni untuk memperoleh anak dengan menjadi pengabdi setan, bukan karena tekanan pihak lain, melainkan atas kesadaran dia sendiri.
Namun, Joko menyebut sebagian film horor Indonesia “tak bisa dianggap film”, dan karenanya tak tepat menganalisis karakter hantu atau setan perempuan Indonesia dalam film-film horor menggunakan satu pisau yang sama.
ADVERTISEMENT
“It just special segment of film exploitation. Ada genrenya sendiri, agak susah kalau digabungkan,” ujar Joko.
Ayu Laksmi berpendapat, sudah tidak tepat lagi apabila film horor diidentikkan dengan tubuh sensual perempuan--yang kemudian berubah sosok mengerikan. Sebab horor yang sesungguhnya berasal dari dalam diri.
“Setan beda dengan hantu. Setan itu lebih menjurus pada sifat. Horor yang menimpa manusia sebetulnya bukan hanya eksternal, tapi internal--muncul dari dalam. Ketika kita tak bisa mengendalikan diri--marah, benci, serakah, maka setan--yang dari luar--jadi mudah mengendalikan kita.”
Perempuan, ujar Joko, memang tak mesti jadi setan dalam film. Ada banyak film horor dunia yang justru menempatkan tokoh perempuan sebagai survivor atau pahlawan di akhir cerita.
ADVERTISEMENT