Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0

ADVERTISEMENT
Polusi udara akibat kebakaran hutan dan lahan berpengaruh buruk terhadap kesehatan, terutama anak . Ya, Moms, anak-anak lebih rentan terhadap polusi udara karena mereka bernapas lebih cepat, sementara kekuatan fisik dan daya tahan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan resmi yang diterima kumparanMOM dari UNICEF, sejak Juli 2019 hingga September 2019, tercatat sudah ada sebanyak 10 juta anak yang terdampak akibat karhutla yang melanda Kalimantan dan Sumatera. Dari jumlah tersebut, 2,4 juta di antaranya adalah anak usia balita, sedangkan sisanya 7,8 juta merupakan anak usia sekolah.
Karhutla tak hanya memporak-porandakan ketahanan tubuh saja, Moms, namun juga melumpuhkan kegiatan belajar-mengajar. Di Kalimantan, Riau, dan Jambi, Pemda setempat terpaksa meliburkan sebanyak 46 ribu sekolah yang merasakan dampak terberat akibat kebakaran hutan dan lahan.
Selain kehilangan hak belajar dan hak bermain, anak-anak juga berisiko mengalami penyakit yang dapat timbul akibat asap. Seperti yang disampaikan oleh Departemen Kesehatan melalui buku 'Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah' bahwa ada 5 penyakit utama yang disebabkan oleh asap, diantaranya adalah ISPA, asma, mengurangi atau memperburuk kinerja paru-paru, penyakit jantung, dan iritasi.
ADVERTISEMENT
“Setiap tahun, ada jutaan anak yang menghirup udara beracun dan hal ini mengancam kesehatan serta mengakibatkan mereka tidak dapat belajar di sekolah. Efeknya adalah kerugian fisik dan kognitif seumur hidup seorang anak", ujar perwakian UNICEF, Debora Comini dalam keterangannya, Senin (23/9).
Bayi yang berada di dalam kandungan pun turut menjadi korban dampak karhutla. Hasil riset yang ditulis oleh UNICEF dalam keterangannya menyebutkan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang terpapar polusi tingkat tinggi selama kehamilan berisiko lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan di dalam rahim, berat badan lahir rendah, dan bayi lahir prematur.
“Buruknya kualitas udara adalah tantangan berat yang semakin meningkat bagi Indonesia,” kata Comini.
UNICEF menjelaskan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut memang kerap terjadi di Indonesia pada musim kemarau. Namun situasi ini diperparah oleh beberapa faktor seperti musim kering berkepanjangan, pemanasan global dan El Nino yaitu fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur.
Untuk mengatasinya, menurut Ahli Pendidikan Dalam Situasi Bencana, Yusra Tebe, pemerintah perlu segera mengatasi persoalan ini melalui tiga tahap, Moms.
ADVERTISEMENT
Pertama, melakukan berbagai penangan darurat yang diperlukan, terutama untuk sektor pendidikan.
Kedua, membuat rencana penanganan jangka panjang yang berorientasi kepada pengurangan risiko bencana yang responsif, dengan melakukan penindakan hukum yang kepada para pihak yang melakukan pembakaran hutan dan lahan secara ilegal.
Ketiga, melakukan kampanye dan penyadaran kepada berbagai pihak, soal bahaya asap akibat karhutla. Tindakan ini sangat krusial dilakukan segera demi menyelamatkan anak sebagai generasi bangsa yang terpapar penyakit akibat asap.
Karena dampak karhutla, lagit di Jambi bahkan sempat memerah di sejumlah daerah, pada Sabtu (21/9). Berdasarkan hasil analisis BMKG, hal itu disebabkan akibat banyaknya titik panas dan sebaran asap yang sangat tebal. Bahkan dampak karhutla juga semakin meluas ke banyak daerah seperti di Medan dan Aceh.
ADVERTISEMENT