ASI Bukan Cuma Masalah Ibu

7 Februari 2017 17:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi ibu menyusui (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Rilis UNICEF tahun 2016 menyebutkan hanya 55 persen bayi di Indonesia yang mendapat asupan air susu ibu (ASI) hingga usianya mencapai dua tahun. Ini memperlihatkan, Indonesia masih gagal menjalankan kebiasaan asupan ASI yang membutuhkan konsistensi sebagai syarat utama.
Niatan dan ketekunan jadi kunci bayi Indonesia bisa mendapatkan manfaat optimal ASI. Dan jangan salah, niatan ini bukan cuma melulu persoalan ibu, melainkan negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif menunjukkan bahwa asupan ASI melibatkan peran ibu, lingkungan, dunia kerja, dan tentu saja pemerintah.
ASI ialah kepentingan publik yang tidak bisa disepelekan. Asupan ASI yang baik sulit terwujud jika tak ada dukungan dari segala sisi.
Kebutuhan ruang dan waktu untuk memberikan ASI terhadap bayi makin mendesak di tengah meningkatnya angka ibu bekerja dan tingginya mobilitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia, dr. Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC, mengatakan ada tiga faktor yang mendukung lancarnya pemberian ASI.
“Pertama, faktor dukungan seperti kebijakan pimpinan, solidaritas teman-teman, rumah (keluarga). Kedua adalah ketersediaan waktu,” ujarnya.
Ibu bekerja mestinya mendapat waktu untuk memerah ASI dan mengasuh bayi.
“Perlu ruangan khusus. Ruang pumping, ruang untuk menitipkan bayi. Ini terkait dengan faktor ketiga, yakni ketersediaan ruang atau sarana umum,” kata Wiyarni.
Ia menegaskan, ruangan khusus untuk ibu menyusui amat penting didirikan sebagai bagian dari fasilitas publik.
Nursery Room di Mall Kota Kasablanka. (Foto: Salmah Muslimah/kumparan)
“Sebetulnya bayi yang masih ASI eksklusif tidak boleh lama-lama berpisah dengan ibunya. Ibu tetap harus diberikan hak untuk menyusui,” ujar Wiyarni.
Untuk itu, diterbitkanlah peraturan khusus. Ruang laktasi diatur detail lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu. Aturan ini bahkan mengatur tata cara pembangunan ruang laktasi hingga pemilihan bahan bangunan.
ADVERTISEMENT
“Akhir tahun kemarin, muncul juga Rancangan Peraturan Daerah yang melindungi ruang menyusui. Ada 20-30 lebih pemerintah daerah yang sekarang pun mulai menyusun peraturan. Tinggal bagaimana agar peraturan tersebut benar-benar dilaksanakan,” tutur dosen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara Jakarta tersebut.
Implementasi memang menjadi faktor mendasar kesuksesan peraturan pemerintah.
“Pasal 5 dalam PP ASI Eksklusif menyebutkan bahwa setiap orang harus menyediakan akses untuk pemberian ASI eksklusif, termasuk di tempat kerja,” kata Wiyarni.
Hal senada diungkapkan Nia Umar, konselor menyusui dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). “Tantangan utama lebih kepada ibu yang bekerja,” ujarnya kepada kumparan, Senin (6/2).
Namun, imbuhnya, hambatan bukan hanya pada ketersediaan ruang yang tak selalu ada, melainkan juga lingkungan yang suportif terhadap ibu menyusui.
ADVERTISEMENT
“Di perkotaan biasanya sudah difasilitasi. Yang menjadi PR besar adalah pekerja di sektor informal. Masalahnya terdapat pada jam kerja dan kondisi kerja,” kata Nia.
“Karena begitu penting, menyusui harus menjadi norma yang berlaku, dan harusnya dapat dilakukan di manapun dan kapanpun. Setiap orang harus paham bahwa menyusui adalah hal alamiah, seperti makan dan minum,” ujarnya.
ASI adalah hak dasar manusia.
Ilustrasi ibu menyusui (Foto: Thinkstock)
ASI, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperlukan untuk membentuk landasan penting dalam tubuh manusia, yaitu kekebalan tubuh dan pertumbuhan saraf motorik.
Menyusui bukan hanya memberi asupan, namun praktik yang didambakan. UNICEF mencatat, 96 persen ibu di Indonesia pernah menyusui anaknya. Artinya, nyaris tak satupun ibu di Indonesia yang ingin melewatkan momen menyusui.
ADVERTISEMENT
Namun kebutuhan bayi akan ASI tidak sesederhana itu. ASI harus diberikan dengan standar-standar tertentu. Terdapat prekondisi pemberian ASI optimal yang dinamakan Gold Standard of Infant Feeding.
“Pertama yaitu Inisiasi Menyusui Dini atau 90 menit menyusui dini setelah kelahiran. Selanjutnya ASI Eksklusif selama 6 bulan tanpa asupan makanan lain. Dilanjutkan dengan mulai memberikan pendamping ASI yang berkualitas. Kemudian, ASI bisa diteruskan sampai bayi berusia dua tahun,” kata Nia ketika dihubungi kumparan.
Periode ASI eksklusif 6 bulan inilah yang masih perlu menjadi perhatian. Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan, angka pemberian ASI eksklusif belum mencapai separuhnya. Hanya 42 persen bayi di Indonesia yang beruntung mendapat asupan ASI 6 bulan tanpa putus.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk data lain, yaitu Pemantauan Standar Gizi tahun 2015, dokumen tersebut bahkan mencatat 65 persen bayi Indonesia menikmati ASI 6 bulan. Sementara sisanya mendapat asupan ASI diselingi susu formula.
Pola menyusui parsial dialami oleh 82 persen bayi di Indonesia.
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa angka ibu menyusui di Indonesia sudah berada pada jalur yang tepat. “Data global menyebutkan bahwa pada tahun 2025 akan ada 50 persen bayi yang mendapat asupan ASI. Angka tersebut dianggap sudah on track” ujar dr. Wiyarni.
Namun, ujar Wiyarni, ia tak yakin dengan kondisi sesungguhnya di lapangan, karena hingga saat ini masih mendapati banyak keluhan.
Anak adalah masa depan bangsa, dan karenanya mesti mendapat asupan tepat sejak lahir.
ADVERTISEMENT
Jelas sudah, ASI bukan sekadar masalah domestik ibu.
Simak rangkaian kisah berikut
Infografis Bagaimana ASI Diproduksi (Foto: Bagus Permadi/kumparan)