199 Tahun Multatuli sang Pembunuh Kolonialisme

1 Maret 2019 19:32 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Multatuli sang Pembunuh Kolonialisme. (Ilustrator: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Multatuli sang Pembunuh Kolonialisme. (Ilustrator: Herun Ricky/kumparan)
Seorang laki-laki miskin berusia 39 tahun menutup diri selama tiga minggu di sebuah penginapan murah di Brussels, Belgia. Sebundel manuskrip novel berserak pada meja kayu di hadapannya. Tulisan tangannya samar. Tinta yang ia gunakan encer, terlalu banyak dicampur air dalam sebuah usaha menghemat yang menyedihkan.
Buku itu, ketika sudah selesai nanti, akan menjadi upaya pamungkasnya mengembalikan sedikit harga diri yang bisa diselamatkan. Ia punya banyak utang, kepada penjual buku loak sampai tukang sayuran.
Di tengah musim dingin, bermodal sepotong syal dililit di leher namun tanpa baju hangat, laki-laki itu tak berhenti. Matanya memerah bengkak karena terlalu lama terjaga. Ia juga tak berhenti. Eduard Douwes Dekker, si miskin tadi, terus menulis.
November 1859, manuskrip itu selesai ia tulis. Judulnya Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij, yang artinya Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Di muka manuskrip, bukan Eduard Douwes Dekker yang tertera, namun sebuah nama pena sarat makna: Multatuli—istilah bahasa Latin dari ‘aku sudah cukup menderita’.
Eduard lantas menyerahkan manuskrip itu pada kakaknya, Jan, dengan permintaan untuk menerbitkannya. Jan, yang tak punya koneksi langsung ke penerbitan, menyerahkannya ke W.J.C. van Hasselt yang kemudian menyerahkannya lagi ke Jacob van Lennep.
Van Lennep, selesai membaca manuskrip itu hanya dalam waktu satu minggu, menyebutnya sebagai ‘sebuah buku yang benar-benar bagus’. Tak berselang lama, tepatnya pada Mei 1860, buku tersebut terbit lewat Penerbit De Ruyter di Amsterdam. ‘Badai’ di sekeliling buku tersebut baru saja dimulai.
Buku Max Havelaar. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Max Havelaar langsung menggebrak. Sebagai karya sastra, ia berbeda. Max Havelaar jadi novel pertama yang menggunakan bahasa lugas dan berapi-api. Kehadirannya menyegarkan kesusastraan Belanda, yang selama 200-an tahun sebelumnya terjebak dalam adat bahasa kesusastraan yang cengeng, bertele-tele, dan usang.
“Salah satu sebab lain ya karena Multatuli jujur. Dia ngomong apa adanya. Pada masa itu laporan soal Hindia Belanda selalu bagus. Mereka tidak tahu masyarakat di daerah tidak minum kopi dari biji kopi, tapi dari daun kopi,” kata Kepala Museum Multatuli, Ubaidillah Muchtar, saat berbincang dengan kumparan di kantornya, Lebak, Banten, Rabu (13/2).
Max Havelaar memiliki struktur yang amat spesial pada masanya. Total, ada empat lapisan cerita di sepanjang novel yang satu sama lain saling berebut: 1) dari sudut pandang sang makelar kopi Batavus Droogstoppel; 2) anak pedagang kopi dari Jerman Stern; 3) Max Havelaar yang menjadi perwujudan Eduard; dan 4) tentang kisah cinta pemuda-pemudi Lebak Saidjah-Adinda.
Patung Multatuli dan patung Saidjah di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Dalam cerita intinya, yaitu bagian Havelaar dan Saidjah-Adinda, Max Havelaar bercerita soal ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Jawa karena sistem Tanam Paksa yang memanfaatkan pejabat pribumi. Ia mengutuk kesewenang-wenangan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara, dan mengkritik pemerintah Belanda yang menutup mata akan ketidakadilan yang mereka sebabkan.
Kritik-kritik ini, yang benar-benar Eduard Douwes Dekker lakukan selama menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, membuat dia dipecat dari jabatannya sebagai amtenar Hindia Belanda. Pemecatan itu memaksanya pulang ke Eropa.
Tentu saja, kritik vulgar dalam buku Max Havelaar tak bisa diterima oleh pemerintah Belanda. Bahkan, saat masih berupa manuskrip, buku tersebut sudah menjadi perhatian di kalangan pejabat. Lewat van Lennep, bangsawan kaya yang konservatif, kelompok penguasa di Belanda mulai tahu dan terganggu karena kritik-kritik keras yang ada dalam Max Havelaar.
Beberapa langkah dilakukan agar Eduard tak menerbitkan bukunya tersebut. Berdasar catatan Museum Multatuli, Amsterdam, Belanda, Eduard ditawari posisi menggiurkan di Suriname dan Belanda Karibia. Eduard menolak, dan tambah semangat dalam menerbitkan buku tersebut.
Sampai saat ini, Max Havelaar diterjemahkan ke dalam 46 bahasa dan masih menjadi buku paling laris di Belanda. Ia juga mendapat predikat sebagai tonggak sastra modern Belanda.
“Sigmund Freud mengatakan, ikon antikolonial pertama di dunia itu Multatuli,” kata Ubai.
Max Havelaar, induk buku kisah Saidjah-Adinda. Foto: Tio Ridwan/kumparan
Max Havelaar lahir di saat yang tepat. Pada periode 1850-1860an, gerakan politik liberal di Tweede Kamer (Parlemen Belanda) mulai menguat. Salah satu kebijakan yang terus menjadi isu utama yang terus-menerus dipertikaikan dalam dua dekade itu adalah cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa).
Sistem Tanam Paksa diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-1833) Johannes van Den Bosch dalam merespons memburuknya kondisi keuangan Belanda karena bangkrutnya VOC dan dilepasnya Belgia oleh Kerajaan Belanda pada 1830. Dengan kebijakan Tanam Paksa ini, petani wajib menanam seperlima dari tanahnya untuk komoditas ekspor Belanda. Hasilnya, dari 1831-1877, Belanda mendapatkan surplus sebanyak 832,4 juta gulden dari kebijakan ini.
Meskipun mendatangkan untung besar, kebijakan Tanam Paksa tersebut tak lepas dari kritikan, utamanya dari kelompok oposisi berhaluan liberal. Seperti ditulis Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (2008), mereka menilai monopoli yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dalam sistem Tanam Paksa tak efektif.
Selain menghalangi gerak perusahaan swasta di Jawa, menurut kelompok oposisi berhaluan liberal, sistem Tanam Paksa juga terus memantik kemunculan pemberontakan yang memerlukan penanganan berbiaya besar. Maka, ketika Max Havelaar muncul pada 1860, kelompok liberal menjadikannya senjata untuk semakin kencang meneriakkan penghapusan sistem Tanam Paksa.
Gambar Multatuli di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Pemerintah Hindia Belanda merespons dengan menghapus komoditas Tanam Paksa sedikit demi sedikit, dari yang paling sedikit keuntungannya hingga yang paling besar. Dimulai dari penghapusan Tanam Paksa lada pada 1862; cengkeh dan pala pada 1864; nila, teh, dan kayu manis pada 1865; dan tembakau 1866. Sementara kopi dan gula—komoditas yang paling banyak mendatangkan keuntungan—baru benar-benar berakhir pada 1917.
Meski tanam paksa pelan-pelan dihentikan, gerakan kelompok liberal yang memanfaatkan gaung Max Havelaar tak berhenti. Gerakan ini mencapai puncaknya pada 1899, saat politisi liberal Conrad Theodore van Deventer menuliskan Een Ereschuld (Sebuah Hutang Kehormatan) di Majalah De Gids. Di situ, van Deventer menulis Belanda berhutang budi sebesar 190 juta gulden dan mendorong desentralisasi serta pemisahan keuangan Belanda dan koloninya di Timur Jauh tersebut.
Kemudian, pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik takhta menegaskan dalam pidato di parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan utang budi terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.
Dari situ, ditempuhlah kebijakan Trias Politika: irigasi, transmigrasi, dan edukasi. Irigasi untuk memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan guna keperluan pertanian, transmigrasi agar penduduk dapat tersebar secara merata, dan edukasi untuk memberikan pendidikan lebih luas kepada bangsa pribumi.
“Teorinya begitu,” ujar Bonnie Triyana, sejarawan asal Rangkasbitung dan Pemimpin Redaksi Majalah Historia. “Praktiknya, cuma anak ningrat saja yang bisa sekolah.”
Meski begitu, Bonnie setuju bahwa Politik Etis menjadi titik mula kesadaran identitas bangsa Indonesia. “Langsung atau tidak, dia berdampak menciptakan satu generasi yang melek literatur, punya akses ke pendidikan. Artinya, dari pengetahuan mereka, mereka punya kesadaran adanya identitas kami dan mereka—mereka yang menjajah dan kami yang dijajah,” jelasnya kepada kumparan, Selasa (26/2).
“Kesadaran ini yang melahirkan gerakan untuk membebaskan diri dari penjajahan. Jadi kayak bola salju, menggelinding jadi gede, jadi sebuah gerakan,” katanya. Bonnie mencontohkan nama-nama besar macam Sukarno, Achmad Soebardjo, hingga Agus Salim sebagai generasi yang diuntungkan kebijakan itu.
Patung Multatuli di Museum Multatuli, Lebak, Banten. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Suatu hari pada 1964, Pram sempat mengusulkan pada Sukarno untuk memberi penghormatan buat Multatuli.
Pram tahu, Bung Karno telah sejak dulu menggemari Multatuli dan karyanya, Max Havelaar. Dalam Indonesia Menggugat, pledoi Sukarno saat disidang di Landraad, Bandung, pada 1930, ia mengutip pemikiran Multatuli:
“Dan tidakkah ‘kena’ sekali perbandingan Multatuli, yang membandingkan ‘cultuur-stelsel’ itu dengan kumpulan pipa-pipa [...] yang menembus dada jutaan orang Jawa…”
Maka, Pram enteng saja mengusulkan pada Bung Karno, “Bung, bikin patung Multatuli.”
Namun, jawaban yang dinanti Pram tak datang. Sukarno justru menolak.
“Ah, ngapain? Kenapa nggak bikin patung Sneevliet saja?” jawab Bung Karno.
Sneevliet yang ia maksud adalah Henk Sneevliet, fungsionaris Komunis Internasional yang membantu pendirian Partai Komunis China dan menjadi ‘guru’ para pendiri Partai Komunis Indonesia. Pram tak punya jawaban.
***
Penolakan Sukarno saat itu memang tak terduga. Nama Multatuli selalu punya tempat terhormat di mata Sukarno dan pelopor kemerdekaan Indonesia lain macam Achmad Soebardjo, Agus Salim, Mohamad Hatta, sampai Tirto Adhi Soerjo.
Meski begitu, sejarawan Asvi Warman Adam, seperti diceritakan oleh Ubai, berargumen bahwa Sukarno salah mengira bahwa yang dimaksud Pram adalah Setiabudi, atau Ernest Douwes Dekker.
Adanya dua Douwes Dekker dalam teks sejarah Indonesia memang kadang membingungkan. Orang kerap menganggap Ernest Douwes Dekker dalam Tiga Serangkai atau Indische Partij sebagai pengarang buku Max Havelaar.
Tentu saja hal tersebut salah. Max Havelaar dibuat oleh Eduard Douwes Dekker dalam waktu tiga bulan, sejak September hingga November 1859 di Belgia. Sementara, Ernest Douwes Dekker, bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara membikin Indische Partij di Bandung pada 1913.
“Kalau Multatuli lima bersaudara, kakaknya itu bernama Jan (Douwes Dekker). Jan ini kakek dari si Ernest Francois Eugene Douwes Dekker,” kata Ubai menjelaskan hubungan kedua Douwes Dekker. Di kemudian hari, Ernest mengganti namanya menjadi Danudirja Setiabudi dan sempat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III.
Kata Mereka Tentang Multatuli. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Meski Multatuli mendapat pujian selangit, tak sedikit pula orang yang meragukan posisinya dalam mengkritik kolonialisme. Philip Vermoortel, misalnya. Guru besar Universitas Brussel, Belgia itu melihat Multatuli sebagai pesakitan yang tak terima dipecat oleh pemerintah kolonial.
“Dia hanyalah seseorang yang ingin semua hal berjalan dengan baik dan orang bekerja sebagaimana mestinya, kata Vermoortel, dikutip dari Historia.
Kritik lain juga menyoroti kehidupan Multatuli, yang kerap tak sinkron antara tulisan dan kelakuannya di dunia nyata. “Banyak kritik, misalnya dia tukang pesta, hedonis, dia main cewek, gaya hidupnya tuh nggak sesuailah sama yang ditulisnya,” kata Bonnie.
Namun, menurutnya, harus dibedakan Eduard Douwes Dekker sebagai pribadi dan Multatuli serta Max Havelaar sebagai karya sastranya. “Adalah sebuah fakta bahwa dia hedonis. Adalah fakta juga bahwa buku yang ditulis ini dibaca orang, kemudian menimbulkan satu gagasan untuk satu gerakan (antikolonial),” ujar Bonnie.
“Makanya, kalau kata Pram,” sambung Bonnie, “buku itu kan ‘anak rohani’ seorang penulis. Yang ketika dia sudah menjadi buku, menjadi teks, dia akan bebas diterjemahkan sebagai layaknya anak dewasa yang bebas ke mana dia pergi. Tinggal kita mau angle yang mana untuk melihatnya.”
Kini, 199 tahun setelah Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820, gaung Max Havelaar tak juga hilang. Ia dipuji, diagungkan, dicaci, diragukan, namun tak pernah dilupakan.