Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
“Kalau (Anda) tidak siap Rp 3,5 miliar, petahana katanya sudah siap Rp 5 miliar.”
Kalimat itu dilontarkan seorang utusan kepada calon rektor Universitas Padjadjaran, September 2018. Sang calon rektor sontak merasa ciut.
“Lemaslah saya,” kata dia kepada kumparan di Bandung, akhir Maret 2019. Ia meminta identitasnya tak disebutkan demi alasan keamanan.
Sementara rektor petahana, Tri Hanggono Achmad, menampik menyediakan Rp 5 miliar untuk melenggang kembali ke tampuk kepemimpinan kampus. “Siapa yang bilang? Informasi itu sama sekali tidak benar,” ujar Tri, Jumat (12/4).
Calon rektor Unpad lain yang juga meminta namanya tak diungkap, mengisyaratkan permintaan uang hingga Rp 5 miliar itu telah menjadi standar. Ia sendiri tidak ikut dimintai “mahar” meski sempat didekati utusan tertentu.
“Angka segitu sudah umum. Mereka tahu saya nggak punya duit. Kalau saya punya duit Rp 5 miliar, ngapain saya (mau) jadi rektor?” kata dia saat berbincang dengan kumparan di Jakarta Pusat, Kamis (28/3).
Rudiantara, Menkominfo yang juga Ketua Majelis Wali Amanat Unpad, membantah ada mahar untuk menjadi rektor. “Kata siapa ada mahar? Mahar ke siapa? Nggak ada kok,” ucapnya di Ancol, Jakarta Utara, Kamis (11/4).
Awal Oktober 2018, calon rektor Unpad yang dimintai duit memutuskan untuk menolak memberikan uang. Namun kasus itu akhirnya sampai ke meja Komisi Aparatur Sipil Negara.
“Salah satu orang melapor ke Pokja bahwa ada calon rektor yang dimintai uang Rp 3,5 miliar,” ujar Kepala KASN Sofian Effendi kepada kumparan di kantornya, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (21/3).
Siapa gerangan yang meminta mahar kepada calon rektor itu?
“Jelas bukan menteri. Entah kaki tangan siapa,” kata Sofian.
Sumber kumparan di lingkup Unpad menyebut, permintaan duit datang dari orang yang mengaku berada di lingkaran menteri. Mahar Rp 3,5 miliar sampai Rp 5 miliar itu konon diperlukan untuk mengantongi dukungan menuju kursi rektor. Sebab, berdasarkan Peraturan Menristekdikti tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, menteri memiliki 35 persen suara dalam pemilihan rektor perguruan tinggi negeri.
Namun, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir membantah kementeriannya meminta-minta duit kepada calon rektor. “Periksa saja. Kami tidak pernah memfasilitasi hal itu. Jangan ada yang main uang dalam pemilihan rektor,” ucapnya saat ditemui di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (10/4).
Perkara duit juga membayangi pemilihan rektor Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin. Sumber kumparan di ULM menyatakan, harga mahar di kampusnya bahkan mencapai Rp 7,5 miliar.
“Jadi bantunya itu lewat ‘dia’. Dari dia ke Cak Imin. Dari Cak Imin ke menteri,” tutur dia sembari mewanti-wanti namanya tak dibuka ke publik agar keamanannya terjaga.
‘Dia’ yang dimaksud sumber ULM itu merujuk pada orang yang sama dengan yang diduga terlibat dalam pemilihan rektor Unpad. Sejumlah sumber di Unpad menyebutnya sebagai Abdullah alias Gus Abduh.
“Namanya Gus Abduh. Yang datang ke sini minta duit katanya disuruh Gus Abduh. Gus Abduh katanya staf khusus menteri, keponakannya,” ujar salah satu sumber.
Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti Ainun Na’im mengatakan, tak ada orang bernama Abdullah atau Gus Abduh terdaftar dalam struktur kementeriannya.
Sementara sumber-sumber kumparan berkata senada, bahwa Gus Abduh adalah kerabat dekat Cak Imin (Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar) dan Menteri Nasir. Abduh disebut sebagai staf khusus nonformal di Kemenristekdikti dan tenaga ahli Cak Imin di DPR.
Semua ucapan itu disanggah Abduh. “Enggak ada (yang seperti itu). Saya enggak ada kewenangan di situ (pemilihan rektor),” ujar dia saat dikonfirmasi kumparan.
Abduh juga membantah berkerabat dengan Cak Imin maupun Nasir. “Enggak, saya cuma kenal aja. Enggak terlalu dekat,” imbuhnya.
Hal berbeda disampaikan Rasdi alias Aras, utusan yang datang menemui kandidat rektor Unpad. Ia diduga operator yang bertugas mendekati para calon rektor, khususnya di Unpad .
“Saya ketemu dengan tiga-tiganya (melalui tim atau calon rektor langsung) membicarakan visi misi,” kata Aras yang menjabat Ketua Komisariat PMII Universitas Kuningan periode 2014-2015 itu.
Kepada kumparan, Aras mengaku sebagai staf Abduh. Ia juga mengatakan, Abduh merupakan staf khusus nonformal di Kemenristekdikti.
Selaku utusan, Aras tak sendiri. Menurutnya, pertemuan dengan calon-calon rektor tak melulu dilakukan olehnya, sebab ada juga kawan lain. Namun dalam pertemuan itu, ujar Aras, tak ada soal permintaan duit.
“Membicarakan visi misi saja,” akunya.
Upaya kumparan berulang kali menghubungi Cak Imin untuk meminta keterangan terkait namanya yang ikut disebut dalam kasus ini, belum berbalas hingga artikel diturunkan.
Namun sumber kumparan di internal PKB mengatakan, Cak Imin menyebar pesan lewat grup WhatsApp partai untuk menekankan kepada kadernya agar jangan percaya bila ada orang mencatut nama dia untuk jabatan dirjen, rektor, dan lain-lain.
Penolakan membayar mahar, baik secara langsung atau tak langsung, ditengarai akan membuat para calon rektor tersingkir.
“Kalau nggak ada uang, nggak usah ikut pemilihan rektor,” seloroh sumber kumparan menanggapi dugaan suap yang membayangi pemilihan rektor sejumlah perguruan tinggi negeri sejak setidaknya 2016.
Kemenristekdikti melalui sekretaris jenderalnya, Ainun Na’im, mengimbau kepada pihak-pihak yang mengeluhkan kejanggalan dalam pemilihan rektor, untuk melapor ke kementeriannya.
“Kalau memang ada proses yang tidak betul dan ada yang mengetahui, valid, berikan saja buktinya ke kami. Sampai sekarang kan enggak ada yang bisa memberikan bukti. Bisa saja ada orang yang kecewa, lalu menyebar fitnah ‘Oh, ini menang (pilrek) karena menyuap.’ Jadi yang penting buktinya mana, akan kami proses,” ujar Ainun di kantor kementeriannya, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Belum lama ini, Mahfud MD—mantan hakim konstitusi yang juga pakar hukum tata negara—menyinggung soal jual beli jabatan rektor di sejumlah universitas Islam negeri.
Mahfud menyinyalir terdapat permainan Kementerian Agama dalam pemilihan rektor kampus Islam—selain jual beli jabatan Kantor Wilayah Kemenag yang menjerat mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy saat ini.
Sementara kampus-kampus Islam berada di bawah Kemenag, perguruan-perguruan tinggi lain berada di bawah Kemenristekdikti—kementerian pimpinan Nasir, kakak ipar Cak Imin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Siti Juliantari berpendapat, suap di lingkup perguruan tinggi terus terjadi karena pihak-pihak yang sesungguhnya tahu merasa enggan melapor. Terlebih bagi mereka yang berstatus aparatur sipil negara.
“Ada ketakutan mereka akan diintimidasi, ditimpa hal-hal buruk ketika melapor,” ucap Siti.
Suap hanya salah satu modus korupsi di universitas. Pengamatan Siti menunjukkan, paling tidak ada 12 modus korupsi yang biasa terjadi di perguruan tinggi, mulai dari pengadaan barang dan jasa hingga penjualan aset yang tak sesuai prosedur.
Suap dalam pemilihan rektor bisa terjadi, salah satunya, karena porsi 35 persen suara menteri dalam penentuan rektor.
“Kecenderungannya, kami lihat, dengan memberikan suara 35 persen kepada menteri dalam pemilihan rektor, ini berpotensi disalahgunakan,” ujar Siti.
Ia khawatir, porsi suara tersebut membuka ruang bagi kementerian untuk melakukan intervensi sehingga dapat “mengurangi independensi perguruan tinggi.”
Kekhawatiran tersebut dibantah Kemenristekdikti. Menurut Ainun, aturan 35 persen suara menteri ialah regulasi terbaik dalam pemilihan rektor. Sebab, jumlah itu bukan suara mutlak atau dominan. Masih ada 65 persen suara lainnya yang dibagi di antara anggota Senat Akademik atau Majelis Wali Amanat.
“Kalau diubah, apakah ada alternatif yang lebih baik? Tunjukkan alternatif yang lebih baik itu apa?” jawab Ainun terkait porsi 35 persen suara menteri yang rawan ‘dimanfaatkan’.
Kepala KASN Sofian Effendi yang juga mantan rektor Universitas Gadjah Mada menilai, masalah suap pemilihan rektor ini muncul karena jabatan strategis di kementerian dipegang oleh orang-orang dari lingkaran partai politik.
“Posisi menteri yang harusnya dipegang oleh para teknokrat dan profesional, kalau dipegang oleh orang-orang yang dekat dengan politik, memberi peluang kepada orang-orang parpol untuk ‘main’,” ucapnya.
Walau begitu, Sofian yakin kalaupun ada mahar untuk menjadi rektor, pelakunya “Jelas bukan menterinya, paling kaki tangan.”
Saat ini, pemilihan rektor Universitas Padjadjaran yang telah berlangsung delapan bulan dan seharusnya rampung Oktober 2018, belum juga menemui titik terang.
Rapat Pleno MWA, Sabtu (13/4), memutuskan untuk mengulang pemilihan rektor Unpad dari awal, mencoret Obsatar Sinaga dari kandidat rektor, dan menunjuk pelaksana tugas rektor.
Gonjang-ganjing di kampus itu belum usai. Nakhoda kapal masih dinanti.