Awas Kampanye Hitam

4 Maret 2019 12:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Awas Kampanye Hitam. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Awas Kampanye Hitam. Foto: Herun Ricky/kumparan
Mata warga Kampung Bakan Maja, Karawang, Jawa Barat, belakangan selalu awas memandang pendatang yang singgah. Mereka tak mau sembarangan mengumbar kata ketika diajak bicara. Mulut lebih banyak terkatup atau menjawab tak tahu.
Ketenteraman kampung itu baru saja terusik setelah Engqay Sugiati, salah seorang warga Bakan Maja, dicokok polisi karena kampanye hitam pada Minggu (24/2). Warga lain jadi waswas. Salah bicara, mereka bisa terjerat kasus yang sama.
Suasana inilah yang dijumpai kumparan ketika bertandang ke kampung itu pada Rabu (27/2). Rumah Engqay di dekat palang perlintasan kereta api tertutup rapat, begitu pula lapak warung es campur tempat ia biasa berjualan. Di depan warung, bendera bergambar lambang PKS terlihat berkibar.
Sekelompok pria yang menjaga palang pintu perlintasan kereta dekat rumah itu mengaku tak kenal Engqay. Mereka tak mau bicara sama sekali.
Musabab perkara terjadi ketika Engqay bersama dua rekannya anggota Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes), Eka Peranika dan Citra Widianingsih, menggelar door to door kampanye capres. Ketiganya bertandang ke rumah Parjo di Kalioyod, Desa Wancimekar, Karawang, pada Rabu (13/2).
Bukannya memapar visi-misi dan janji jagonya—Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ketiganya justru menyebut berbagai kabar miring bilamana calon lawan, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, terpilih. Suara mereka saat itu lantang karena tahu Parjo agak budek.
“Tahun 2019, kalau dua periode, nggak bakalan ada suara azan. Kalau ada anak mengaji, nggak akan ada yang pakai kerudung. Sesama wanita bisa menikah, sesama laki-laki bisa menikah,” ucap mereka bertiga bersahutan.
Aksi ini terekam dalam video dan viral, hingga bergulir menjadi kasus hukum ketika polisi mencokok ketiganya.
Kontrakan Suparjo, korban kampanye hitam di Karawang. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Rumah Parjo hanya berkisar 500 meter dari rumah Engqay. Beragam atribut partai menghiasi sepanjang jalan menuju dua rumah itu, didominasi oleh Partai Golkar dan Gerindra. Gambar dua pasangan capres-cawapres 2019 pun ikut meramaikan perkampungan padat di kabupaten Karawang itu.
Ketua RT 003 Bakan Maja, Sudarmanto, mengatakan kampungnya tergolong warna-warni soal pilpres. Pilihan politik mereka tak sama. Parjo, misalnya, merupakan salah satu pendukung Jokowi-Ma’ruf yang berseberangan dengan Pepes.
Yang Sudarmanto tahu, Engqay tinggal di RT berbeda, yaitu RT 002. Jarak rumah Engqay dengan Parjo tak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit atau sekitar 300 meter.
“Kalau di RT saya, tidak diperbolehkan relawan kampanye dari rumah ke rumah. Saya juga tidak tahu bagaimana aktivitas Pepes itu,” aku Darmanto, sapaan Sudarmanto.
Darmanto sendiri menyebar stiker bergambar caleg Golkar Dedi Mulyadi yang mendominasi semua rumah di kampung itu.
Rumah Citra, salah satu emak yang kampanye hitam di Karawang. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sepak terjang ketiga relawan Pepes yang ditangkap polisi itu sudah diakui di Karawang. Anggota Badan Pemenangan Daerah (BPD) Prabowo-Sandi sekaligus calon legislatif Partai Gerindra, Nace Permana, mengatakan Engqay serangkai tergolong relawan militan. Nace tak mengenalnya, namun ia kenal Citra Widaningsih, Koordinator Pepes Karawang yang berkampanye bersama Engqay.
“Mereka iuran. Uang belanja disisihkan untuk bikin kaos dan atribut sendiri. Mereka tidak bergantung, betul-betul militan,” ujar Nace.
Relawan Pepes memang memprioritaskan kampanye dari rumah ke rumah. Mereka tahu lingkungan sekitar Parjo merupakan basis Jokowi-Ma’ruf. Nace pernah mengingatkan Citra agar berhati-hati melakukan kampanye door to door.
Citra sendiri pernah memberinya foto saat ia sedang melakukan aksi di kandang pendukung Jokowi-Ma’ruf tersebut. Namun selanjutnya, Nace mengaku tak tahu. Sebab relawan memiliki cara tersendiri dalam berkampanye.
Menurut Nace, BPD Prabowo-Sandi tak pernah memberikan pembekalan berupa informasi atau materi kampanye hitam pada relawan.
“Kami hanya memantau dan kadang memberikan pesan terkait pelaksanaan pilpres. Jangan sampai ada ujaran yang merugikan pihak mana pun, karena sekarang ini kan musim gesekan,” kata Nace.
Aksi para relawan Pepes, ujar Nace, sengaja direkam untuk kebanggan. Nace sendiri pernah ditunjukkan fotonya, tetapi ia yakin ketiganya tidak memiliki maksud untuk melakukan kampanye hitam. Oleh sebab itu ia mengupayakan pendampingan hukum pada tiga relawan itu.
Toh, kampanye hitam tak perlu dilakukan di Karawang untuk Prabowo-Sandi. Nace mengatakan, Tim Sukses Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 berhasil mengungguli Jokowi-Jusuf Kalla hingga 60 persen.
Data Pilpres 2014 menyebutkan, perolehan suara Prabowo-Hatta di Karawang mencapai 708.495 suara, sedangkan Jokowi-JK hanya 473.557 suara. Angka ini menunjukkan kemenangan gemilang Prabowo di Karawang.
Stiker Pepes di Karawang. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Meski BPD Prabowo-Sandi yakin Engqay sekawan tak bermaksud buruk, Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Amin menganggap materi kampanye yang berisi fitnah dilakukan secara terstruktur.
Wakil Ketua TKD Jokowi-Ma’ruf Amin, Tubagus Hasanuddin, menyebut peredaran hoaks di Jawa Barat sangat pesat. Menurutnya, peredaran kabar bohong seputar Jokowi-Ma’ruf berbeda-beda, tergantung wilayah.
Misalnya di Bekasi, Bogor, dan Karawang, isu hoaks yang menggelinding terkait tenaga kerja asing. Sementara Tasikmalaya, Cianjur, dan Garut terkait isu agama.
Persebaran hoaks dalam pilpres pernah ditangani polisi pada 21 November 2018. Saat itu, Direktorat Tindak Pidana Siber reserse Kriminal menangkap SY, warga Banjaran, Kabupaten Bandung, karena menyebar berita bohong operasi TNI menangkap 110 juta warga negara China yang membuat KTP elektronik melalui YouTube.
Hasanuddin menaruh curiga pada aksi tiga relawan Pepes di Karawang. Menurutnya, hoaks soal agama kurang pas di daerah itu, dan istilah LGBT—yang diucapkan Engqay dkk—sebetulnya asing bagi kebanyakan ibu di kampung-kampung Karawang.
“Ini semua by design. Kalau orang sudah dilatih dan disebar ya sudah. Prajurit harus melaksanakan (tugas),” kata dia, Rabu (27/2).
Ilustrasi Lipsus kumparan: Tarung Jokowi-Prabowo. Foto: Herun Ricky/kumparan
Saat ini, perolehan suara Jokowi-Ma’ruf Amin di Jawa Barat meningkat. Menurut Hasanuddin, survei internal tim pemenangan menyebutkan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf di sana mengungguli Prabowo-Sandi sekitar 5 persen.
Selain itu, hasil survei Charta Politika periode Desember 2018-Januari 2019 menunjukkan Jokowi unggul tipis terhadap Prabowo dengan elektabilitas 44,3 persen. Hasil itu diyakini Hasanuddin membuat lawan panik dan menyebar hoaks.
“Misalnya di Pangandaran saja sudah 70-30, sudah menang Pak Jokowi. Di basis PDIP, kita sudah unggul di kisaran angka 65 sampai 70 persen. Tapi ini survei (internal) per kabupaten,” kata Hasanuddin kepada kumparan.
Sementara penyebaran hoaks diteliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan menebar survei bertajuk ‘Intoleransi dan Radikalisme’ kepada 1.800 responden lewat metode multisage random sampling di sembilan provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Hasilnya: 42,8 persen responden percaya PKI bangkit, 22,6 persen percaya teori bumi datar, dan 52,9 persen percaya ulama dikriminalisasi negara.
Infografik Awas Kampanye Hitam. Foto: kumparan
Sumber kerentanan masyarakat terhadap informasi bohong adalah karena tidak memverifikasi berita atau informasi dari media sosial. Mayoritas responden, 44,2 persen, tidak memverifikasi berita atau informasi yang sifatnya cenderung menghasut.
Peneliti politik LIPI, Cahyo Pamungkas, mengatakan Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang masyarakatnya cenderung rentan terhadap hoaks.
— Cahyo Pamungkas, peneliti LIPI
Hasil survei LIPI tampak di lingkungan sekitar tempat tinggal Engqay. Semisal, beberapa warga tak cuma percaya bahwa Jokowi akan melarang azan, tapi juga yakin Partai Komunis Indonesia telah bangkit. Mereka bahkan percaya PKI akan dilegalkan bila Jokowi kembali terpilih sebagai presiden.
“Kalau saya bilang, bukan lagi azan akan dilarang, tapi PKI akan dilegalkan. PKI itu akan jadi ideologi yang menggantikan Pancasila,” ujar warga kampung Engqay yang tak mau namanya dikutip.
Habiburokhman, Juru Bicara Direktorat Hukum dan Advokasi BPN. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Juru Bicara Direktorat Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Habiburokhman, menyatakan relawan memiliki standar untuk menyampaikan visi-misi program. Pengawasan pun dilakukan ketat. Oleh sebab itu timnya tengah mendalami kasus Engqay sehingga tak ada lagi korban berikutnya.
Habiburokhman juga meminta aparat hukum berlaku sama terhadap penyebar hoaks yang merugikan Prabowo. Misal saja mereka yang masih mengungkit soal keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis tahun 1997/1998.
Jawa Barat pantas menjadi palagan terpanas dalam Pilpres 2019. Ia memiliki jumlah pemilih terbesar di Indonesia sebanyak 33,2 juta Daftar Pemilih Tetap. Dan pada Pilpres 2014, Jokowi kalah telak di provinsi ini.
Ia saat itu hanya meraup 40,22 persen suara. Sementara pesaingnya, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, meraih 59,78 persen suara.
Kini pertempuran darat para relawan memakan korban. Tiga relawan Pepes di Karawang harus menghadapi masalah pidana serius meski Bawaslu menetapkan tak ada pelanggaran kampanye yang mereka buat.
Para relawan memang bukan termasuk subjek hukum berdasarkan UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pemilu. Namun mereka dijerat polisi dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU KUHP tentang berita bohong. Engqay serangkai pun terancam hukuman 10 tahun penjara.