Erwin Aksa dan Politik Dua Kaki Golkar

25 Maret 2019 14:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Erwin Aksa, keponakan Jusuf Kalla, mendukung Prabowo-Sandi Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Erwin Aksa, keponakan Jusuf Kalla, mendukung Prabowo-Sandi Foto: Herun Ricky/kumparan
“Kalau Erwin Aksa jentelmen, silakan mundur sekalian (dari Golkar). Itu baru namanya bertanggung jawab. Saya sebagai senior di partai, menyayangkan kader setingkat Erwin Aksa sebagai elite partai tidak bisa membedakan pilihan pribadi dengan pilihan partai,” komentar Leo Nababan terkait dukungan Erwin Aksa untuk Prabowo-Sandi.
Berulang kali politikus senior Golkar itu menekankan keputusan partai seharusnya dipatuhi, apalagi di tingkat Ketua Dewan Pimpinan Pusat seperti Erwin Aksa. “Bila partai sudah memutuskan, kau tidak boleh lagi keluar dari situ. Itulah bedanya dengan masyarakat yang tidak berpartai.”
Namun realita berkata lain. Politisi senior Golkar lainnya, Fadel Muhammad, bahkan menyebut “... Ada beberapa teman lain yang juga bersikap demikian (mendukung Prabowo-Sandi), tetapi lebih banyak di belakang layar dan tidak menampakkannya.”
Erwin Aksa di Debat Cawapres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sinyal kuat dukungan Erwin terlihat saat debat ketiga calon wakil presiden di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Minggu (17/3). Erwin, berpakaian seragam kubu 02, terlihat santai duduk di barisan suporter Prabowo-Sandi.
Putra Aksa Mahmud ini memang dikenal sebagai pendukung loyal Sandi. Menjadi suksesor Sandi di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Erwin setia mendukung Sandi menjadi ketua Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) hingga Wakil Gubernur DKI Jakarta.
“Kita bersahabat itu kan untuk selamanya,” ujar Erwin kepada kumparan di kantornya, Gedung Menara Karya, Jakarta Selatan, Jumat (22/3). Ia pun memilih mundur dari jabatan Ketua DPP Golkar Bidang Koperasi dan UKM.
Erwin Aksa bukan satu-satunya. Bukan pula yang pertama berbeda pilihan dengan keputusan partai berlambang beringin itu. Namun hubungan kekerabatannya dengan senior Golkar yang juga menjabat Wakil Presiden Jokowi, Jusuf Kalla, membuat Erwin jadi sorotan.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla di Jenggala Center. Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Meski dukungan final Golkar untuk Jokowi dua periode telah disampaikan pada Agustus 2017, suara-suara sumbang terus bermunculan. Sebab, tak ada kader Golkar yang terpilih mendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden.
“Sudahlah, kalau dia ambil Ma’ruf silakan. Tapi Golkar sekarang jadi pecah,” ujar Fadel di Universitas Brawijaya, Malang, Agustus 2018. Seminggu kemudian, Aburizal Bakrie menyampaikan penolakan atas aksi pengadangan terhadap gerakan 2019 Ganti Presiden.
Pernyataan mantan Ketua Umum Golkar yang kini menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar itu dijawab pedas oleh Ketua DPP Nasdem, Irma Suryani. Irma meminta ARB mengurusi persoalan Lapindo saja daripada asal bunyi dalam berkomentar.
Selang sebulan, pecahnya suara Golkar kian tampak ke permukaan setelah muncul Go PrabU (Golkar Prabowo-Uno). Barisan pendukung pasangan calon nomor urut 02 itu dimotori oleh Cupli Risman, caleg DPRD DKI Jakarta.
Go Prabu menyambangi Prabowo di kediamannya, Kertanegara, Jakarta Selatan. Foto: Dok. Istimewa
Go PrabU terbentuk dari sisa-sisa semangat para politisi muda Golkar di Pilpres 2014, sebab Golkar saat itu adalah salah satu pengusung Prabowo-Hatta meski Jusuf Kalla maju mendampingi Jokowi sebagai cawapres.
“Kami mendeklarasikan itu (Go PrabU) kan sebagai sebuah panggilan hati nurani,” ujar Cupli, Koordinator Nasional Go PrabU, kepada kumparan, Jumat (22/3).
Cupli merasa memiliki alasan kuat untuk mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Menurutnya, “Prabowo memiliki sejarah sebagai kader Golkar, pernah ikut konvensi capres di Partai Golkar, dan memiliki hubungan sejarah dan hubungan ideologis.”
Meski sikap Go PrabU jelas bertentangan dengan sikap Golkar, hingga kini partai tertua di Indonesia itu belum mengambil sikap tegas. “Sampai hari ini kami tidak pernah menerima surat pemecatan,” ujar Cupli.
Terbelahnya dukungan Golkar terbukti melalui Survei Litbang Kompas yang digelar 22 Februari-5 Maret 2019. Berdasarkan survei tersebut, hanya 55,1 persen pemilih Partai Golkar yang mendukung Jokowi-Ma’ruf. Sebagian lainnya sebesar 41,7 persen mendukung Prabowo-Sandi. Sementara sisanya belum menentukan pilihan.
Perbedaan pilihan Erwin Aksa dan Go PrabU yang diperkuat dengan survei Litbang Kompas menjadi antitesis dari sejumlah pernyataan yang menekankan bahwa Golkar solid mendukung Jokowi-Ma’ruf.
Faktanya, setelah jatuhnya Orde Baru, Golkar belum pernah benar-benar solid satu suara mendukung satu pasangan calon.
Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat menghadiri pembukaan Munaslub Golkar. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Pada Pemilu 2014, Golkar bersama Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bulan Bintang (PBB) tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi ini mengusung Prabowo-Hatta.
Berbeda pilihan dengan partainya, Jusuf Kalla justru maju mendampingi Jokowi yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Koalisi ini dimotori oleh Partai Indonesia Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai NasDem, dan Partai Hanura.
Sebelum memutuskan bergabung dengan KMP, Golkar memandatkan Aburizal Bakrie (ARB) untuk maju sebagai capres atau cawapres. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar VI pada 18 Mei 2014.
Aburizal Bakrie. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Keputusan Rapimnas Golkar itu menutup peluang siapapun selain ARB untuk maju menjadi calon wakil presiden dengan mengatasnamakan Golkar. Namun, Ical—sapaan lain Aburizal Bakrie—tak melarang jika ada kader Golkar maju dalam Pilpres 2014, selama tak membawa embel-embel partai.
Selanjutnya, sejumlah kader yang menentang keputusan Mukernas dengan mendukung Jokowi-JK dipecat Golkar. Sebut saja Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah, dan Agus Gumiwang. Anehnya, Ical tak memecat JK yang jelas-jelas tak mematuhi keputusan partai dan justru maju jadi lawan.
Keberadaan JK di kubu Jokowi pada akhirnya justru menguntungkan Golkar ketika pasangan Jokowi-JK ternyata dinyatakan jadi pemenang pemilu dan melenggang ke tampuk kekuasaan. Golkar yang tak pernah menjadi oposisi, akhirnya bisa dengan mudah masuk menjadi partai pendukung Jokowi dan memperoleh jatah jabatan menteri.
Tiga kader Partai Golkar bahkan lalu dipercaya menjabat di kabinet Jokowi-JK. Airlangga Hartarto jadi Menteri Perindustrian, Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan jadi Menko Polhukam lalu kini Menko Maritim, dan Idrus Marham jadi Menteri Sosial—namun sekarang terjerat kasus suap PLTU Riau-1 sehingga digantikan oleh Agus Gumiwang.
Dua Kaki Kader Golkar. Revisi pada bagian Pilpres 2019: Erwin dipecat Golkar dari kepengurusan. Infografik: kumparan
Sejarah Berulang
Sepuluh tahun sebelumnya, ketika Orde Baru tumbang, Golkar telah menunjukkan diri sebagai partai yang selalu bermain di dua kaki.
Pada Pilpres 2004, Golkar mengusung calonnya sendiri, yakni Wiranto-Solahuddin Wahid (Gus Solah). Sementara kader lainnya, Jusuf Kalla, maju sebagai cawapres Susilo Bambang Yudhoyono di kubu lawan.
Maka, meski pasangan Wiranto-Gus Solah kalah di putaran pertama, Golkar secara tidak langsung telah memiliki “investasi” di kubu seberang lewat JK yang maju ke putaran kedua. Kemenangan SBY-JK pun mengamankan masa depan Golkar sebagai partai penguasa.
Tak heran, pasca-pilpres, JK berhasil mengalahkan Akbar Tandjung pada perebutan posisi Ketua Umum dalam Rapimnas Golkar yang digelar di Jakarta, 13-15 November 2006. Di situ, Golkar sekaligus menegaskan sikap sebagai mitra pemerintah yang kritis.
Sikap itu sejalan dengan pemikiran JK yang menganggap Golkar tak pantas berada di barisan oposisi. Selain karena Golkar merupakan partai pemenang Pemilu 2004, ideologi partai itu juga bukan untuk menjadi oposisi.
“Apabila kita ingin melaksanakan pembangunan, kita harus mempunyai peranan-peranan di pemerintah,” ujar JK dikutip Rully Chairul Azwar dalam bukunya, Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era: Dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi “Pasar”.
Pemilu 2009: Ketua Umum PDIP Megawati, Ketua Umum Hanura Wiranto, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, dan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto. Foto: AFP/Adek Berry
Pada Pemilu 2009, JK tak lagi maju menjadi cawapres. Ia bertarung sebagai capres dan menggandeng Wiranto melawan SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo. Pertarungan itu tak berlangsung alot. SBY-Boediono menang telak atas dua lawannya dengan merengkuh suara sebesar 60,80 persen.
Golkar pun dengan segera bermanuver mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Di bawah komando Ical, Golkar menandatangani kontrak politik di hadapan Boediono selaku wapres terpilih pada 15 Oktober 2009.
Kampanye Golkar. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya, tak heran melihat permainan dua kaki dan pola berulang yang dilakukan Golkar di Pilpres 2004, 2009, dan 2014. Menurut Yunarto, kecenderungan perbedaan faksi atau perpecahan di internal Golkar lebih terbuka ketimbang di partai lain.
Alasan pertama, karena Golkar bukanlah partai milik satu kelompok saja. Alasan kedua dari sikap Golkar yang cenderung pragmatis itu berasal dari akar sejarah pembentukannya.
“Partai ini dalam sejarah terbentuknya adalah partai yang tidak memiliki ideologi, partai yang menampung semua golongan. Orientasinya memang dekat dengan kekuasaan,” kata Yunarto.