Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gegap Gebyar Kabar Proklamasi di Bumi Sumatera
17 Agustus 2018 15:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang membuat Sumatera terlambat merasakan euforia Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Teknologi dan perdebatan golongan tua-muda --sama halnya dengan Jakarta-- menjadi pemantik.
ADVERTISEMENT
Gema kemerdekaan di Sumatera, khususnya Sumatera Barat, baru didengar di seluruh sudut-sudut kota setelah 29 Agustus 1945. Kabar itu disiarkan melalui teks yang dibacakan ulang Mohammad Sjafe'i, tokoh intelektual yang juga menjadi residen pertama di Sumatera Barat.
Bukittinggi, kala itu, sempat dijadikan sebagai pusat pengendalian militer oleh Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Didudukkan menjadi markas komandan militer ke-25 Kempeitai (polisi militer Jepang), Bukittinggi menjadi wilayah yang cukup represif akan pertahanan militernya.
Gerak-gerik siapa saja yang mencoba melawan, pasti dengan cepat dihalau. Apalagi soal media massa.
Nah, sebetulnya, kabar kemerdekaan yang dibunyikan Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, sudah langsung didengar oleh seorang pegawai Post Telegraaf en Telefoon (PTT) di Padang, Aladin. Telegram yang dikirim ke Sumatera, diterima dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Namun.. usaha untuk menyiarkan kebahagiaan itu.. harus diredam beberapa hari.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, bercerita, Aladin memang sempat nekat memberitahukan kabar tersebut ke rekan-rekannya. Bahkan teks Proklamasi itu sudah diketik ulang.
"Cuma saja, di Bukittinggi juga ada golongan tua dan muda seperti di Jawa, meski dipaksa untuk menyiarkan berita kemerdekaan, golongan tua ragu," ujar Gusti saat dihubungi kumparan.
Penyebabnya tak lain adalah ketidakpercayaan mereka terhadap Indonesia yang betul-betul sudah merdeka.
Apa iya? Buktinya, di Bukittinggi, kempeitai-kempeitai masih melenggang ke sana ke mari. Tak ada tanda-tanda kekalahan seperti yang didengungkan golongan muda itu melalui radio lutuik (desas-desus, -red).
Itu yang menjadikan golongan tua, termasuk Sjafe'i, menahan dulu berita Proklamasi tersebut, hingga mendengar langsung pengumuman resmi dari Jepang di sana. (Tapi, ya, mana mungkin, sih, Jepang mengakui kekalahannya sendiri?)
ADVERTISEMENT
Apalagi, sejak 15 Agustus 1945, sehari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, pemancar Sumatra Cuo Hoso Kyoku --yang kemudian berganti nama menjadi Radio Republik Indonesia (RRI)-- di Bukittinggi, sudah tidak mengudara.
Amura dalam Revolusi Kemerdekaan Minangkabau: 1945-1950 mencatat, sekitar tanggal tersebut, Jepang menghentikan seluruh siarannya. Begitu pula dengan pemancar-pemancar lokal seperti di Padang dan Jambi. Sehingga, hubungan Sumatera dengan Jawa, seolah terputus, terlambat mendapat berbagai kabar dari Jakarta.
Bahkan tak hanya stasiun radio, surat kabar Padang Nippo, harian lokal yang biasa memuat berita-berita propaganda, juga tidak berproduksi lagi. Para petinggi-petinggi Jepang, kecuali kempeitai, sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya.
***
Golongan muda radikal kian menyebarkan kabar Proklamasi dan meyakinkan gologan tua bahwa berita tersebut bukan lutuik semata. Rapat-rapat dilancarkan, puncaknya, pada 20 Agustus 2018, ketika Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) dibentuk.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, dalam rapat itu, ada tiga hal yang berhasil dirembuk. Yakni, kesepakatan menyiarkan Proklamasi, mengeluarkan maklumat pembubaran badan kebaktian rakyat bentukan Jepang, dan membentuk Komite Nasional Indonesia.
Sumber lain menyebutkan, Sjafei, dengan gelombang desakan pemuda Sumatera, akhirnya mau menerima kemerdekaan itu dan membacakannya kepada khalayak. “Sjafe'i pertama kali membacakan teks Proklamasi di rumah dr. Rasyiddin (rekannya),” kata Mestika Zed dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949.
Sedangkan Gusti menyebut, dikabulkannya permintaan para pemuda, sama persis seperti apa yang terjadi di Jakarta: Menculik Sjafe'i ke tempat yang lebih aman, yakni di Padang.
“Pemuda sampai melarikan (membawa) Sjafe'i, dengan rombongan para pemuda, dibawalah dia ke Padang, di wilayah Pasar Gedang. Kenapa Padang, bukan Bukittinggi? Ya, itu tadi, Bukittinggi pertahanannya lebih represif dibanding Padang,” tutur Gusti.
ADVERTISEMENT
Usai melalui perdebatan panjang, akhirnya, Sjafe'i mau membacakan teks Proklamasi itu. Di Padang, teks Sukarno sedikit dibumbuinya dengan nama ‘Permakluman Kemerdekaan Indonesia’.
Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti Proklamasi pemimpin-pemimpin besar kita Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet:
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
Kemerdekaan Indonesia
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya.
Djakarta 17 boelan 8 tahoen 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Maka kami Bangsa Indonesia di Soematera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe.
Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945
ADVERTISEMENT
Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera
Moehammad Sjafei
Penambahan kata-kata yang ditulis Sjafei, menegaskan bahwa Sumatera berada dalam posisi wilayah administrasi yang terpisah dari Jawa, bahkan belum memiliki pemerintahan secara de facto.
Dan, untuk pertama kalinya, Proklamasi itu menggema di markas BPPI, Pasar Gedang, Padang. Bendera Merah-Putih ikut berkibar tanpa Hinomaru (bendera Jepang) di sampingnya.
Untuk menyiarkan kabar itu ke seluruh penjuru, teks Proklamasi akhirnya diperbanyak dan ditulis ulang di kertas koran ‘Padang Nippo’. Dengan tinta merah, kata-kata Proklamasi tersebut ditulis besar-besar dalam halaman pertama.
Lho, kok tidak ketahuan Hodohan (sensor Jepang)? Petinggi-petinggi Jepang di Padang Nippo sudah tidak lagi berada di Padang. Pengawasan pun tak terlalu ketat.
ADVERTISEMENT
Ditugaskanlah pula kurir-kurir kemerdekaan ke berbagai daerah di Sumatera, melalui mulut ke mulut hingga pamflet dan selebaran.
Bagaimana dengan peran radio?
Memang, radio di Sumatera saat kemerdekaan tak terlalu berfungsi signifikan. Seluruh kantor-kantor pemancar yang ditutup, membuat pemuda tidak bisa memberitakan kemerdekaan via suara.
Meski sudah tidak berfungsi, sebagian pemuda tetap berusaha memasuki Gedung Sumatra Hoso Kyoku. Mereka ingin menancapkan bendera merah putih di atap --tanda bahwa Indonesia telah merdeka.
Namun sayang, usaha itu gagal lantaran ketahuan kempeitai. Bendera itu cepat-cepat disembunyikan. Barulah, pada Januari 1946, Sumatra Hoso Kyoku berganti nama dan dinasionalisasi menjadi RRI Bukittinggi.
Lalu, bagaimana kabar kemerdekaan di daerah lain di Sumatera?
Setelah dari Bukittinggi, kabar itu terus tersebar hingga ke Bengkulu, Aceh hingga Medan.
ADVERTISEMENT
Dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu disebutkan, berita proklamasi baru didengar seluruh rakyat Bengkulu pada 3 September 1945 melalui surat kabar “Palembang Simbun”.
“Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia itu secara spontan disambut rakyat dengan gembira. Selanjutnya, para pemimpin politik dan pejuang kemerdekaan di Kota Bengkulu, segera melakukan konsultasi dan konsolidasi,”
Bergeser ke utara, rakyat Medan baru mendapat kabar kemerdekaan sepuluh hari setelah Proklamasi didengungkan di Jakarta. Kabar itu mereka terima dari Teuku Mohammad Hasan dan Dr. M. Amir, dua tokoh pemuda yang diutus langsung menghadiri rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. (Diambil dari Sejarah Daerah Sumatera Utara oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
ADVERTISEMENT
Gema Proklamasi terus dikirim dari satu pemuda-ke pemuda di seluruh negeri, tanpa henti..
-------------------------
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).