Hidup Berbeda Agama Dalam Satu Atap di Kampung Sawah

27 Desember 2018 10:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Toleransi Kampung Sawah. Foto: Mahatmanara M Sophiaan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Toleransi Kampung Sawah. Foto: Mahatmanara M Sophiaan/kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu, suasana hangat menyelimuti pasangan Richard Karde Napiun dan Maesaroh. Pasangan yang sudah menikah selama 51 tahun itu, sedang bersiap-siap untuk merayakan Hari Natal di rumah mereka di Kampung Sawah, Bekasi.
ADVERTISEMENT
Engkar, panggilan akrab Ricard Karde, menikahi Maesaroh atau Aroh pada 21 September 1967 silam. Mereka dan 9 anaknya hidup rukun dan damai meski berbeda agama dalam satu atap.
Lima anak menganut agama Katolik, dan empat lainnya Islam. Engkar mengungkapkan keberagaman dalam keluarganya begitu indah, meski ia sempat tak menyangka harus ada perpecahan keyakinan dalam keluarganya.
“Jadi untuk anak-anak saya ya biarpun berbeda agama ya tetap rukun, enggak ada kesalahpahaman,” katanya.
Mereka berdua mengaku saling menghormati keyakinan yang dianut oleh anak-anaknya. Engkar ataupun Aroh tidak pernah memaksakan anak-anak mereka untuk mengikuti jalannya menjadi seorang muslim. Ia menghargai keputusan anak-anaknya yang memilih jalan yang berbeda dengan dirinya.
Aroh juga tidak pernah membedakan anak-anaknya yang Katolik. Dengan senang hati dia bangun pagi-pagi untuk membuatkan sarapan suaminya.
ADVERTISEMENT
"Biarpun bapak lain agama untuk makan sehari-hari, awal bangun tidur ibu sediakan (makan)," ungkap Aroh.
Karde Napiun dan Aroh, pasangan beda agama di Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Saat Natal, Aroh juga selalu menyiapkan pakaian untuk Engkar pergi ke Gereja. Anak-anak Aroh dan Engkar yang beragama Islam juga turut memberikan selamat kepada Engkar dan saudaranya yang merayakan.
Namun sayang, Natal tahun ini Engkar tak bisa pergi ke gereja bersama kelima anaknya yang Katolik. Usia yang semakin tua, membuat Engkar mudah sakit. Sudah tiga hari ini Engkar meriang, nafsu makannya juga berkurang. Ia hanya bisa merayakan Natal di rumah dengan makanan yang dimasak khusus oleh Aroh.
Meski hanya menu sederhana, namun kehangatan dalam keluarga itu sangat terasa. Kedua cucu perempuan Aroh dan Engkar yang pulang dari pesantren datang khusus mengunjungi Engkar untuk mengucapkan selamat Natal.
ADVERTISEMENT
"Enggak ada menu spesial Natal tahun ini, cuma (nanti) pas tahun baru saya masak semur ayam. Nanti mengunjungi saudara bapak yang Natalan bawain semur ayam. Kalau anak cucu suka datang ke sini pas Natal kasih selamat ke bapak," tutur Aroh.
Begitu juga ketika Aroh merayakan Lebaran, anak-anaknya yang beragama Katolik mengucapkan selamat Lebaran. Mereka juga turut membantu Aroh memasak ketupat, semur ayam, dan sambal goreng kentang.
Jika mempunyai rezeki lebih, Aroh tak pernah lupa untuk memasak menu spesial di hari raya Natal maupun Lebaran. Namun terkadang Aroh lebih memilih memasak menu spesial saat tahun baru supaya ke 9 anaknya bisa merasakan kehangatan bersama. Sebab biasanya semua anaknya berkumpul pada tahun baru.
ADVERTISEMENT
Keluarga ini puluhan tahun hidup harmonis. Mereka rutin merayakan Natal dan Idul Fitri dengan saling mengunjungi. Aroh dan Engkar berharap anak-anaknya kelak akan terus hidup rukun meski berbeda keyakinan.
“Kepada anak-anak saya menantu-menantu saya, cucu-cucu saya serta keponakan-keponakan saling damai dan rukun contohnya seperti saya ini,” pesan Engkar.
Suasana Gereja Kristen Pasundan, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Menurut Budayawan JJ Rizal, salah satu kunci tingginya toleransi di Kampung Sawah karena ada konsep "Ngeriung Bareng" atau berkumpul bersama. Dengan konsep ini kampung dengan jumlah penduduk sekitar 53 ribu jiwa itu selalu bisa mengatasi konflik antaragama yang muncul di wilayah mereka.
“Ya itu karena mereka punya forum yang namanya Ngeriung Bareng. Mereka punya konsep empat Nyok, yang intinya kesepakatan bersama untuk jagain kampung bareng-bareng,” ujar budayawan Betawi JJ Rizal kepada kumparan, Sabtu (22/12).
ADVERTISEMENT
Rizal menyebut, warga Kampung Sawah sudah dikenal terbuka sejak sekitar tahun 1850-an atau abad ke-19. Awalnya mereka hidup dalam komunitas masyarakat Betawi, kemudian menerima kelompok masyarakat baru dan mulai mengenal kehidupan yang lebih kompleks.
Suasana Gereja Katolik Santo Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Meski demikian, tidak pernah ada konflik antaragama dalam sejarah kebudayaan Betawi. Sebaliknya, masyarakat Betawi justru pandai mengadopsi berbagai kebudayaan lain.
Rizal menyebut, faktor yang bisa membuat mereka mempertahankan toleransi adalah kesadaran tentang kuatnya kebudayaan yang historis. Salah satunya dibuktikan dengan memilih memasuki gereja menggunakan kebaya atau berdandan ala seorang jawara.
Namun bukan berarti tak pernah muncul konflik antaragama di Kampung Sawah. Dengan puluhan ribu warga yang menganut 5 agama, tentu ada konflik, hanya saja mereka mampu menyelesaikannya sebelum situasi semakin memanas. Biasanya warga Kampung Sawah tak membesar-besarkan konflik dan tak ambil pusing. Mereka juga banyak melakukan pendekatan dengan pendatang sehingga mengurangi pemicu konflik.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya konten spesial Toleransi di Kampung Sawah melalui tautan di bawah ini.