Kunci Toleransi di Kampung Sawah: Ngeriung Bareng

27 Desember 2018 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Toleransi Kampung Sawah. Foto: Mahatmanara M Sophiaan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Toleransi Kampung Sawah. Foto: Mahatmanara M Sophiaan/kumparan
ADVERTISEMENT
Ngeriung bareng (berkumpul bersama). Itulah salah satu kunci tingginya toleransi di Kampung Sawah, Bekasi. Kampung dengan jumlah penduduk sekitar 53 ribu jiwa itu selalu bisa mengatasi konflik antaragama yang muncul di wilayah mereka.
ADVERTISEMENT
“Ya itu karena mereka punya forum yang namanya Ngeriung Bareng. Mereka punya konsep empat Nyok, yang intinya kesepakatan bersama untuk jagain kampung bareng-bareng,” ujar budayawan Betawi JJ Rizal saat berbincang dengan kumparan, Sabtu (22/12).
Suasana Gereja Kristen Pasundan, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Rizal menyebut, warga Kampung Sawah sudah dikenal terbuka sejak sekitar tahun 1850-an atau abad ke-19. Awalnya mereka hidup dalam komunitas masyarakat Betawi, kemudian menerima kelompok masyarakat baru dan mulai mengenal kehidupan yang lebih kompleks.
Meski demikian, tidak pernah ada konflik antaragama dalam sejarah kebudayaan Betawi. Sebaliknya, masyarakat Betawi justru pandai mengadopsi berbagai kebudayaan lain.
“Misalnya kalau kita lihat orang Betawi pada hari Lebaran, mayoritas makanan mereka bukan dari dunia Islam tapi dari dunia lebaran Kristen dan dunia lebaran orang China,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Misal aneka makanan yang kita kenal seperti nastar, itu kan makanan Belanda (berasal dari kata) ananas taart yang muncul saat Natal. Kaastengels itu menjadi kue keju. Gutterspit menjadi kue semprit,” beber Rizal.
Suasana Gereja Kristen Pasundan, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Tak hanya dalam hal makanan. Warga Betawi juga menyerap berbagai budaya lain untuk merayakan salah satu momen yang dianggap paling penting dalam fase kehidupan mereka, yakni pernikahan. Rizal menyebut, dalam budaya Betawi, mempelai wanita biasanya berdandan ala China, sedangkan mempelai pria berdandan ala Arab dan mereka berada di pelaminan yang sama.
Selain itu, masyarakat Betawi juga mengadopsi kebudayaan pra-agama dan mewujudkan Ondel-ondel yang muncul dari tengah masyarakat agraris Betawi. Kebudayaan itu diperkaya dengan konsep dari China serta Ogoh-ogoh dari agama Hindu. Sikap keterbukaan inilah yang membuat budaya lain mudah masuk dan diterima oleh masyarakat Betawi, khususnya di Kampung Sawah.
ADVERTISEMENT
“Bahkan kalau kita lihat asal mula orang Kampung Sawah yang Kristen memilih kebudayaan Betawi, itu justru karena melihat inklusifitas atau keterbukaan dalam kebudayaan Betawi,” jelas Rizal.
Suasana Gereja Kristen Pasundan, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Kampung Sawah memiliki pesonanya sendiri. Rizal menyebut, faktor yang bisa membuat mereka mempertahankan toleransi adalah kesadaran tentang kuatnya kebudayaan yang historis. Salah satunya dibuktikan dengan memilih memasuki gereja menggunakan kebaya atau berdandan ala seorang jawara.
“Itu kematangan dari penghayatan mereka terhadap apa yang disebut sebagai interkulturalisme. Jadi agama itu urusan person, tapi ada sesuatu hal yang lebih besar dan itu menyangkut peradaban kita. Itu yang membuat mereka bisa sampai menerima hal-hal yang hari ini justru sukar kita cari,” ungkapnya.
Namun bukan berarti tak pernah muncul konflik antaragama di Kampung Sawah. Dengan puluhan ribu warga yang menganut 5 agama, tentu ada konflik, hanya saja mereka mampu menyelesaikannya sebelum situasi semakin memanas. Biasanya warga Kampung Sawah tak membesar-besarkan konflik dan tak ambil pusing.
Warga melintasi Gereja Katolik Santa Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Senada dengan JJ Rizal, tokoh muslim di Kampung Sawah, Solahudin Malik, menyebut warganya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Setiap pendatang harus mengikuti tradisi dan adat-istiadat di Kampung Sawah.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang luar yang datang ke Kampung Sawah kalau mereka minum air Kampung Sawah, makan makanan yang ada di Kampung Sawah, maka mereka harus mengikuti tradisi, adat istiadat yang ada di Kampung Sawah,” tutur Solahudin.
Mereka juga banyak melakukan pendekatan dengan pendatang sehingga mengurangi pemicu konflik. Kuncinya ada pada komunikasi yang baik dan komitmen untuk menjaga budaya.
Simak selengkapnya konten spesial Toleransi di Kampung Sawah melalui tautan di bawah ini.