Jika Revisi UU Pemasyarakatan Sah, Ada Obral Remisi untuk Koruptor

20 September 2019 15:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR telah menyepakati poin-poin revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Revisi UU tersebut akan disahkan di rapat paripurna dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Namun, revisi UU Pemasyarakatan ini menuai kritik dari banyak pihak, salah satunya dari peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Sebab, salah satu poin revisi itu malah membuat narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan narkoba, lebih mudah mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
“Nanti jika revisi Undang-Undang Pemasyarakatan ini disahkan, kita pastikan akan ada obral remisi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah melalui revisi ini,” ujar Kurnia dalam sesi diskusi di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Kurnia menuturkan, kemudahan pemberian remisi itu bisa dilihat dari draf revisi yang tidak lagi menetapkan klausa justice collaborator sebagai tolok ukur remisi. Menurutnya, aturan ini bertentangan dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Remisi.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak mengacu pada klausa tersebut, maka pemberian remisi dianggap akan jadi lebih mudah, tanpa pertimbangan yang ketat.
“Sementara dalam Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru, menafikan isu ini (justice collaborator). Padahal kita sangat sependapat dengan PP No 99 Tahun 2012, karena memang ini implementasi dari extraordinary crime dari korupsi yang memang harus ada syarat-syarat khusus bagi orang-orang yang ingin mendapatkan pengurangan hukuman dari pemerintah,” ujar Kurnia.
Permasalahan kedua adalah terkait pembebasan bersyarat. Draf revisi UU saat ini menghilangkan pertimbangan rekomendasi lembaga penegak hukum, dalam hal ini KPK.
“Selama ini kalau kita bicara pembebasan bersyarat, harus ada rekomendasi dari KPK. Namun di dalam Undang-undang Pemasyarakatan yang baru, dalam draf yang bisa kita akses, isu itu dihilangkan,” ucap Kurnia.
ADVERTISEMENT
“Jadi ke depan hanya satu pintu, melalui Dirjen PAS saja yang akan merekomendasikan apakah orang ini patut atau tidak patut mendapatkan pengurangan hukuman,” sambungnya.
Kurnia menganggap pola seperti itu tidak memadai karena ada monopoli peran. Idealnya, Dirjen PAS dan penegak hukum sama-sama berperan dalam menilai seorang narapidana.
“Ada klausul berkelakuan baik itu menjadi domainnya Pemasyarakatan. Dan kalau terkait dengan peran di dalam kasusnya itu harus jadi domainnya KPK,” ujarnya.
Bentuk lain pelemahan KPK
Kurnia memandang revisi UU Pemasyarakatan adalah satu dari sejumlah bentuk upaya pelemahan KPK oleh pemerintah dan DPR. Pelemahan lainnya, kata Kurnia, terlihat lewat polemik capim KPK serta revisi Undang-Undang KPK yang baru saja disahkan.
“Jadi lengkap sudah tahun 2019 ini. Lima pimpinan KPK diisi oleh figur-figur yang diduga mempunyai masalah. KPK juga diperlemah dengan revisi UU KPK. Dan ketika pelaku korupsi masuk dipenjara, maka dia akan mendapatkan kemudahan-kemudahan untuk pengurangan hukuman melalui Undang-Undang Pemasyarakatan,” tutur Kurnia.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Pemasyarakatan hingga kini terus mendapat penolakan dari banyak pihak. Selain memberikan kemudahan remisi dan bebas bersyarat, ada sejumlah poin yang dianggap membuat narapidana kasus kejahatan luar biasa bisa setara dengan kasus pidana umum asal bisa berkelakuan baik.
Tak hanya itu, draf revisi tersebut juga mencantumkan hak baru, yakni cuti bersyarat. Hal itu diatur di Pasal 10 ayat (1) huruf d.
Anggota Panitia Kerja revisi UU Pemasyarakatan Fraksi PAN, Muslim Ayub, mengatakan hak cuti bersyarat dapat digunakan napi untuk berkunjung ke rumah keluarga atau sekadar bepergian ke pusat perbelanjaan.
"Di Pasal 10 sudah jelas bahwasanya hak-hak warga binaan itu sudah ada. Hak remisi, asimilasi, cuti bersyarat, kemudian bisa pulang ke rumah, itu bagian dari itu semua. Terserah kalau dia mau cuti di situ, mau dalam arti dia ke mal juga bisa. Iya, 'kan? 'Kan cuti, bisa ngambil cuti," kata Ayub kepada wartawan, Jumat (20/9).
ADVERTISEMENT