Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mati dalam Jeratan Plastik sampai Sandal Jepit
6 Desember 2018 9:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Bau busuk tercium dari seekor paus sperma yang terdampar di tepian Pulau Kapota, Wakatobi, Minggu (18/11). Mamalia itu diperkirakan sudah mati cukup lama.
ADVERTISEMENT
Bangkai paus yang besar itu membuat warga penasaran, mereka berbondong-bondong mendekati tubuh paus dan menyayat perutnya. Penduduk sekitar percaya bahwa muntahan paus berkhasiat sehingga memiliki nilai jual tinggi.
Alih-alih mendapat muntahan paus, masyarakat justru menemukan tumpukan sampah plastik dalam perut mamalia besar itu. Ada kantong plastik, botol plastik, plastik keras, tali rafia, gelas plastik, bahkan sandal jepit.
Dari keramaian penduduk di Pulau Kapota itu tim WWF Indonesia pun datang. Di sana mereka mengurai dan menimbang sampah yang ada dalam perut paus malang itu. Dan, hasilnya adalah sebagai berikut.
1. Tali rafia seberat 3,26 kilogram
2. Gelas plastik sebanyak 115 pcs, seberat 750 gram
3. Sandal jepit satu pasang, seberat 279 gram
ADVERTISEMENT
4. Kantong plastik sebanyak 25 pcs, seberat 260 gram
5. Botol plastik sebanyak 4 pcs, seberat 150 gram, dan
6. Plastik keras sebanyak 19 pcs, seberat 140 gram.
Menurut Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia yang juga merupakan dokter hewan, Dwi Suprapti, bisa jadi sampah plastik di perut paus itu bertambah jumlahnya mengingat tak semua bagian dibedah kala itu. Kini, paus malang itu telah dikuburkan di kawasan sekitar dia terdampar. Hingga saat ini belum bisa dipastikan penyebab kematian paus.
"Pausnya sudah kode 04, mengalami pembusukan tingkat lanjut sehingga sulit diketahui. Permasalahannya di Indonesia kalau ada paus terdampar langsung dikuburkan, tidak dilakukan nekropsi (autopsi). Berbeda dengan yang terjadi di Thailand yang langsung dilakukan nekropsi sehingga penyebab kematian paus bisa diketahui," urai Dwi kepada kumparan, Jumat (30/11).
ADVERTISEMENT
Dwi menambahkan, data dari WWF menyebut 111 paus terdampar di tepian perairan Indonesia sepanjang 2017. Namun, tak pernah dilakukan suatu nekropsi pun kepada mereka sehingga tidak jelas, mengapa paus-paus tersebut bisa mati.
Belum hilang rasa syok masyarakat akan sampah di perut paus di Wakatobi, pada 27 November lalu muncul lagi sampah plastik di mulut tiga penyu yang mati di Kepulauan Seribu. Selain di mulut, sampah plastik juga ditemukan di sela-sela kaki penyu.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta Ida Harwati, menyebut penyu tersebut kondisinya sudah membusuk sehingga tidak dievakuasi ke darat.
"Sudah tertutup lendir, di mulutnya sudah ada plastik, begitu juga di sela-sela kaki depannya," sebut Ida selaras dilansir Antara, Rabu (28/11).
ADVERTISEMENT
Belum jelas musabab mengapa tiga penyu itu bisa mati. Namun, Ida meyakini kematian tiga satwa tersebut berkaitan dengan banyaknya sampah plastik dan tumpahan minyak di sekitar mereka.
Menurut Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman cemaran minyak dan sampah di Pulau Pari adalah sampah kiriman. Saat ini Dinas sedang mengerahkan petugas untuk membersihkan sampai di sekitar Pulau Pari. Sekitar 40 ton sampah diangkut per harinya dari Pulau Pari.
Bukan hanya paus dan penyu, nasib serupa juga dialami banyak hewan laut lainnya. Mereka hidup dengan gelimang sampah yang membawa petaka.
Bagaimana kisah mereka? Ikuti cerita lainnya di kumparan dengan follow topik 'Mati Bergelimang Plastik '.