Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Marlisa Soepeno, Pendamping Diplomasi Para First Lady
23 Januari 2017 14:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Ingar bingar konferensi internasional seperti KTT Asean, G-20 atau G-7 tak melulu soal Presiden atau Perdana Menteri. Di saat para kepala negara dan kepala pemerintahan sibuk saling lobi di sebuah pentas konferensi tingkat tinggi, para ibu negara atau first lady juga sibuk dengan program khusus para pendamping Presiden/Perdana Menteri.
ADVERTISEMENT
Sejak Jokowi resmi menjadi Presiden, sudah wajib bagi Iriana Widodo untuk mengikuti spouse program, program khusus para Ibu Negara, di sela-sela konferensi internasional. Saling sapa dan sesi ngobrol dengan sebut saja Ibu Negara China Peng Liyuan, istri PM Jepang, Akie Abe, atau istri PM Malaysia Najib Razak, Rosmah Mansor.
Dalam konteks pergaulan internasional, kehadiran penerjemah tak kalah penting dari seorang Paspampres atau menteri sekali pun. Sejak menjadi ibu negara, Iriana selalu didampingi oleh seorang penerjemah kepresidenan, Marlisa Wahyuningsih Soepeno.
Menjadi penerjemah untuk Iriana selama dua tahun, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin ini, ikut malang melintang di kancah pergaulan para ibu negara. Kepada kumparan, Marlisa menceritakan pembicaraan antar ibu negara tidak akan jauh dari obrolan ibu-ibu pada umumnya. Jauh dari pembicaraan serius para presiden atau kepala negara.
ADVERTISEMENT
“Kalau perempuan kan saling memuji ya. Misalnya you look so beautiful atau misalnya badannya bagus sekali. Itu biasanya yang menjadi awal percakapan,” tutur Marlisa ketika berbincang dengan kumparan di Kementerian Luar Negeri, Kamis (19/1).
Setelah saling puji dalam sesi ice breaking, para ibu negara biasanya membahas program yang mereka lakukan selama menjadi ibu negara. Iriana Widodo biasanya akan bercerita soal program kanker serviks atau program pendidikan anak usia dini (PAUD).
Marlisa bercerita di kesempatan lain biasanya para ibu negara akan jualan soal kekayaan pariwisatanya masing-masing. Saban KTT Asean, kata dia, para ibu negara akan mempromosikan sejumlah daerah yang menjadi andalan wisata. Iriana akan menjual Bali dan Raja Ampat.
ADVERTISEMENT
“Setelah Ibu Iriana bicara, nanti ibu negara Asean lain akan langsung merespons. Biasanya bicara, di negara kami juga ada pantai. Jadi tidak mau kalah,” tuturnya sambil tertawa.
Batik menjadi topik yang digemari para ibu negara. Biasanya, dalam pertemuan tingkat tinggi atau pertemuan bilateral, Iriana akan mempromosikan batik Indonesia. Yang terakhir, saat kunjungan PM Shinzo Abe beserta istri ke Istana Bogor. Saat itu, Iriana dengan telaten menjelaskan beragam jenis batik dan motifnya beserta pengaruh yang diterima batik Indonesia dari negara lain seperti Cina atau Jepang.
Topik santai seperti film juga seringkali menjadi bahasan. Saat kunjungan kerja Presiden Jokowi ke India Desember 2016 lalu, Ibu Iriana sempat membahas film India Kuch Kuch Hota Hai. Bersama dengan sejumlah menteri India yang perempuan, Iriana memuji perkembangan film India di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Bicara tentang Bolywood di Indonesia yang digemari banyak ibu rumah tangga,” ujar Marlisa.
Meski lebih sering menemui para ibu negara, Marlisa ternyata punya pengalaman berkesan saat mendampingi Iriana saat makan malam di KTT G-20 di Hangzhou, China. Saat itu, Iriana duduk bersebelahan dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Iriana dan Obama kemudian terlibat pembicaraan yang santai.
Mulai dari makanan Indonesia, pariwisata, serta rencana Obama ke Indonesia selepas pensiun sebagai Presiden AS. Sambil menekan rasa gugup, Marlisa dengan lancar menerjemahkan seluruh perkataan Obama kepada Iriana dan sebaliknya. Tiba-tiba Obama bicara pada Marlisa, bukan pada Jokowi yang duduk di sebelah kanan Iriana.
Iseng, Obama mengingatkan Marlisa agar tidak salah menerjemahkan. Sebab, ia masih ingat Bahasa Indonesia dan ia masih mengerti semua perkataan Iriana.
ADVERTISEMENT
“Pak Obama bilang, jadi kalau ngomongnya salah, saya tahu. Terus jadi tertawa semuanya, bapak (Jokowi) juga dengar,” kenang Marlisa sambil tertawa.
Perjalanan karier Marlisa cukup panjang sebelum menjadi penerjemah Presiden. Setelah lulus dari Universitas Hasanudin, wanita kelahiran Poso 33 tahun yang lalu ini mengawali karier sebagai Asisten Program di sebuah LSM internasional, Japan International Cooperation Agency di Makassar. Marlisa menimba pengalaman di sana selama tiga tahun.
Setelah itu, ia menjadi Program Support Officer untuk LSM International Catholic Migration Commission. Tahun 2009, Marlisa menjadi Manager untuk Administrasi dan Logistik di organisasi pangan dunia, FAO. Pada 2010, Marlisa resmi masuk Kementerian Luar Negeri.
Saat masuk ke Kemlu, seperti pegawai lain, Marlisa mengikuti kursus diplomatik. Setelah lulus pelatihan diplomatik, Marlisa mengikuti tes seleksi penerjemah yang diselenggarakan oleh Kemlu. Saat itu, pada taun 2010, Kemlu memang sedang mencari para penerjemah untuk pemeirntah, termasuk untuk Presiden.
ADVERTISEMENT
Marlisa lolos tes. Hanya 10 orang lolos dari 150 orang yang ikut seleksi. Setelah itu, Marlisa digembleng untuk menjadi penerjemah khusus pemerintahan. Pelatihan khusus selama dua bulan diikuti sebelum akhirnya ia diceburkan di berbagai forum internasional.
Pada tahun 2012, Marlisa mendapat beasiswa dari Pemerintah Australia untuk sekolah di Australia National University. Dua tahun bersekolah, setelah meraih gelar Master, Marlisa kembali bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Ternyata, ia kembali dilibatkan dalam tim penerjemah Kemlu. Marlisa pun menjadi penerjemah untuk berbagai konferensi, seminar bertaraf internasional serta sejumlah pertemuan bilateral.
“Saya tidak menyangka kembali dipercaya menjadi penerjemah. Karena di Kemlu kita percaya, tidak ada yang tidak bisa digantikan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Tepat Oktober 2014, setelah Presiden Jokowi dilantik, Marlisa terpilih menjadi penerjemah Kepresidenan. Ia terpilih mendampingi Ibu Negara, Iriana Widodo. Tugas pertamanya, adalah saat pelantikan Presiden Jokowi di Istana Merdeka.
Setelah itu, Marlisa hampir selalu dipercaya menjadi penerjemah bagi Iriana Widodo. Acara kunjungan kerja Jokowi keluar negeri, mulai dari pertemuan bilateral hingga serangkaian KTT, mulai dari KTT Asean, hingga G-20 atau G-7 selalu menjadi bagian dari penugasan Marlisa.
Dua tahun bertugas sebagai penerjemah Istana, bulan depan, Marlisa mendapat penempatan di Paris, Prancis. Sebagai pegawai Kemlu, ia tentunya siap mengembangkan tugas baru. Bertugas di Paris, Marlisa memiliki keinginan untuk belajar Bahasa Prancis. Meski tidak harus menjadi penerjemah.
“Saya ingin menguasai lebih dari dua Bahasa, apalagi di era sekarang ini,” tuturnya.
ADVERTISEMENT