Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Undecided voters di kubu Jokowi diprediksi menguat ke arah sang petahana. Tim pemenangan 01 berpuas diri pasca-debat capres.
Jokowi boleh saja terlihat kalem malam itu, tapi ia diam-diam malih rupa. Ragam lontaran pertanyaannya sepanjang debat capres seperti berniat membabat Prabowo, lawan politiknya di Pemilu Presiden 2019.
Proses berlangsungnya debat kedua pada Minggu (17/2) cukup mengejutkan banyak orang, termasuk Rudi Valinka, seorang Ahoker. Ia tak menyangka kedua calon presiden seperti bertukar peran.
Semula, Rudi memprediksi Prabowo Subianto bakal tampil menyerang. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Prabowo tampak sering pasrah dan cenderung defensif, sedangkan Jokowi ofensif. Padahal, biasanya petahana menjadi target serangan penantangnya.
“Debat kok (pakai strategi) bertahan. Debat jangan slow, tapi ofensif dari segi substansi,” kata Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, Selasa (19/2).
Rudi Valinka yang juga pemilik akun @kurawa sengaja menonton debat sambil berkicau di Twitter. Selama debat berlangsung, akunnya yang memiliki 305 ribu pengikut berkicau sebanyak 53 kali.
@kurawa, berdasarkan pantauan sistem analisis media sosial Drone Emprit, ialah satu dari sekian banyak akun dengan tingkat interaksi tinggi di kluster besar pendukung Jokowi.
Salah satu cuitan @kurawa yang mengundang banyak reaksi adalah soal lahan seluas 340 ribu hektare milik Prabowo yang disebut Jokowi. Cuitan itu di-Retweet lebih dari 1.100 kali dan disukai setidaknya 1.200 akun.
Awal mulanya adalah ucapan Prabowo yang menyinggung program sertifikasi tanah Jokowi.
“Yang dilakukan Pak Jokowi dan pemerintahnya (soal sertifikasi tanah) menarik dan populer untuk satu-dua generasi, tapi tanah tidak (ber)tambah dan bangsa Indonesia (ber)tambah, tiap tahun kurang lebih 3,5 juta (orang). Jadi kalau Bapak (Jokowi) bangga dengan bagi (tanah seluas) 12 juta, 20 juta, pada saatnya nanti kita tidak punya lahan lagi untuk kita bagi. Jadi bagainana nanti masa depan anak cucu kita?” kata Prabowo, mencoba mengkritisi.
“Kami (Prabowo-Sandi) punya pandangan dan strategi yang berbeda. Kami strateginya adalah UUD 1945 Pasal 33―bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara,” ujar Prabowo.
Jokowi lantas memberikan tanggapan yang oleh sebagian orang diibaratkan sekakmat dalam permainan catur.
“Pembagian hampir 2,6 juta (hektare lahan) agar produktif. Kita (pemerintah) tidak memberikan kepada (pemilik tanah) yang gede-gede. Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur sebesar 220 ribu hektare, juga di Aceh Tengah 120 ribu hektare. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pembagian-pembagian seperti ini tidak dilakukan di masa pemerintahan saya,” kata Jokowi.
Ucapan Jokowi itu, menurut Rudi, seumpama pukulan keras bagi Prabowo di arena debat―meski kemudian Prabowo mengklarifikasinya di akhir ajang debat, yang diperkuat pernyataan Jusuf Kalla bahwa lahan 220 hektare di Kaltim diambil alih Prabowo dengan duit tunai senilai US$ 150 juta dari perusahaan yang mengalami kredit macet, dan JK selaku wakil presidenlah yang di awal 2004 memperbolehkan Prabowo mengelola lahan tersebut.
Apapun, malam itu saat debat berlangsung, performa Jokowi yang di atas angin membuat interaksi @kurawa dengan para pengikutnya di Twitter berlangsung sangat positif.
“Respons followers sangat positif. Faktor subjektivitasnya tinggi karena jagoan mereka, Jokowi, jauh lebih unggul dalam penguasaan teknik debat,” kata Rudi kepada kumparan, Sabtu (23/2)
Data Drone Emprit menunjukkan, Jokowi meraup sentimen positif lebih besar ketimbang Prabowo. Sepanjang debat sejak pukul 20.00 sampai 23.00 WIB, Jokowi beroleh 56 persen sentimen positif, sedangkan Prabowo hanya meraup 48 persen.
Pembuat Drone Emprit, Ismail Fahmi, menilai warganet kecewa dengan performa debat Prabowo yang di bawah ekspektasi. Prabowo mengantongi sentimen negatif lebih tinggi dari Jokowi, yakni 44 persen, ketimbang Jokowi yang ‘hanya’ 32 persen.
Persentase sentimen negatif untuk Prabowo itu bahkan naik hampir 100 persen dibanding sebelum debat yang hanya berkisar di angka 22,06 persen.
“Meningkatnya percakapan Prabowo di akhir debat ternyata berisi sentimen negatif yang tinggi,” jelas Ismail, memaparkan analisis medsos yang ditangkap sistemnya.
Di sisi lain, sentimen positif dan negatif yang diperoleh Jokowi sebelum dan sesudah debat nyaris tak berubah. Saat debat, sentimen negatif terhadap Jokowi meningkat menjadi 32 persen dari sebelumnya di 30,96 persen.
Tingginya sentimen positif netizen untuk Jokowi juga tercatat oleh PoliticaWave, medium pemantau aktivitas media sosial. Dari catatan itu, Jokowi meraih 57,51 persen sentimen positif dan 42,49 persen sentimen negatif. Sementara Prabowo meraup 29,48 persen sentimen positif dan 70,52 persen sentimen negatif.
Direktur Eksekutif PoliticaWave, Yose Rizal, menyatakan sentimen negatif terhadap Prabowo di medsos tinggi karena warganet menganggap ia banyak melakukan blunder saat debat capres .
Salah satu isu yang mengerek sentimen negatif Prabowo ialah terkait penguasaan lahan olehnya seperti disinggung oleh Jokowi. Pada segmen ketiga debat kala perkara lahan disebut-sebut itu, Prabowo ketiban sentimen negatif sebesar 59,69 persen.
Sentimen negatif itu juga berasal dari lemahnya penguasaan Prabowo atas materi debat, semisal istilah unicorn. Prabowo juga dinilai kurang data saat menyampaikan materi.
“Karena ini debat, kalau debat jangan setuju-setuju aja. Itu yang dikritisi netizen. Apalagi kondisi (Prabowo)nya sebagai oposisi, penantang, harusnya lebih agresif dari petahana. Harusnya kalau di debat, petahana bertahan. Nah, ini kebalikannya. Makanya netizen menganggap Prabowo tidak mengerti masalah,” ujar Yose.
Data PoliticaWave menunjukkan, Jokowi meraup sentimen positif lebih tinggi di seluruh segmen debat. Hal lain yang menarik ialah melonjaknya jumlah akun non-politik yang ikut mempercakapkan debat. Akun-akun tersebut tak pernah bersuara soal politik, namun ikut mempercakapkan politik saat debat berlangsung.
Sepanjang debat, ujar Yose, persentase akun non-politik yang membahas perdebatan meningkat dari di bawah 10 persen menjadi 42 persen untuk Jokowi dan 37 persen di kubu Prabowo. Bedanya, sentimen positif yang direngkuh Jokowi dari akun-akun non-politik itu mencapai 80 persen; sedangkan untuk Prabowo hanya 4 persen, dan 96 persen sisanya berisi sentimen negatif.
“Orang yang selama ini tidak bersuara terkait pilpres, jadi ikut bersuara ketika debat. Jadi debat ini sebetulnya momen yang diperhatikan sama orang, termasuk undecided voters yang selama ini belum menentukan pilihan. Sebelum debat, mereka pasif di media sosial. Saat debat, mereka ternyata nonton. Jadi sayang sebetulnya buat Prabowo,” ujar Yose.
Di era media sosial kini, apa yang terjadi di arena debat langsung direspons publik di jagat maya. Maka, momen gagap Prabowo menjawab pertanyaan Jokowi soal unicorn pun jadi amunisi bagi pendukung Jokowi.
Usai debat, terjadi penguatan volume percakapan soal unicorn di media sosial. Penguatan itu membantu pendukung Jokowi mempertahankan momentum debat karena memberi sentimen negatif terhadap Prabowo. Percakapan soal unicorn tidak berbentuk tagar, melainkan berlangsung secara natural.
Kata “unicorn” terekam dalam 90.541 percakapan dengan rincian: 2.365 mentions di kanal berita dan 88.176 mentions di Twitter. Puncak penyebutan istilah “unicorn” terjadi satu hari usai debat capres, Senin (18/2). Persentasenya meningkat 100 persen lebih, dari semula 20.440 menjadi 44.155 mentions.
Pendukung Prabowo tak diam. Mereka berupaya membalikkan momentum dengan menaikkan tagar #JokowiBohongLagi. Tagar tersebut sebetulnya sudah muncul saat debat berlangsung, tepatnya ketika Greenpeace melakukan cek fakta terhadap klaim kebakaran hutan yang disampaikan Jokowi.
Namun tagar yang semula hanya digunakan 471 akun itu melonjak tajam usai debat hingga terekam 15.248 kali di percakapan warganet.
Menurut Ismail, pendukung Prabowo menggunakan data cek fakta yang dirilis media-media online dan lembaga swadaya masyarakat seperti Greenpeace untuk menghantam kekeliruan data Jokowi saat debat.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, berpendapat Prabowo kurang matang soal data. Padahal, ujarnya, tampil kalem bukan berarti bisa tak bawa data. Alhasil, Prabowo terlihat tak siap berdebat.
“Prabowo tampak tak mampu membantah data-data yang disampaikan Jokowi. Sejumlah data dari Jokowi yang kurang akurat justru dibicarakan setelah debat,” kata Djayadi.
Padahal, lanjutnya, debat capres itu bisa memengaruhi pilihan politik pemilih mengambang yang pada masing-masing pendukung calon presiden mencapai angka 15 persen.
Ia memprediksi swing voters di kubu Jokowi akan makin mantap memilih sang petahana setelah melihat performa debatnya kemarin. Sebaliknya, pemilih mengambang di kubu Prabowo jumlahnya akan tetap alias tak mendapat penguatan untuk memilih Prabowo.
Namun Koordinator Juru Bicara Kampanye Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, membantah Prabowo tak siap dengan data saat debat berlangsung. Ia mengatakan, capres nomor urut 2 itu memang sengaja tak membantah kekeliruan data Jokowi karena tidak ingin mempermalukan petahana di depan publik.
“Ini ibarat pertandingan silat―bukan untuk menjatuhkan lawan, tapi menyampaikan gagasan. Beliau ingin menunjukkan sikap kenegarawanan,” ujar Dahnil menirukan ucapan Prabowo.
Bagi kubu Jokowi, berikutnya adalah tugas Ma’ruf Amin pada debat cawapres 17 Maret 2019 untuk menjaga momentum yang didapat Jokowi. Sementara di kubu Prabowo, Sandiaga Uno punya tugas memutar sentimen negatif yang menerpa Prabowo di debat capres.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, berpendapat debat cawapres berpotensi punya dampak elektoral signifikan.
“Publik akan menanti debat cawapres ini karena di dua debat capres sebelumnya dinilai tidak berefek kuat,” kata dia.