Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Politik identitas tak selamanya negatif. Ketika seorang muslim ingin agar ajaran Islam-nya terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, itu bukan politik identitas yang buruk. Yang salah kalau bilang “Jangan pilih yang bukan Islam karena dia kafir.” Yang tidak boleh ketika kita mengingkari kebinekaan negeri ini. Selama dalam koridor, politik identitas itu boleh.
— Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS
PKS mengentak. Partai yang diramal bakal melorot perolehan suaranya itu, membuat kejutan pada Pemilu Legislatif 2019. Menurut hitung cepat berbagai lembaga survei, elektabilitas PKS meroket ke kisaran 8 persen dari yang sebelumnya 6,79 persen di Pileg 2014.
Ia menjadi salah satu partai yang digdaya bersama Nasdem yang juga mengalami kenaikan suara signifikan. PKS mengantongi 8,57 suara berdasarkan quick count Charta Politika, 8,56 persen versi Litbang Kompas, 8,1 persen versi CSIS-Cyrus Network dan Indikator, bahkan mencapai 9,94 persen pada hitung cepat Indo Barometer.
Padahal, elektabilitas PKS hanya 4,5 persen dalam survei Litbang Kompas dan PolMark Indonesia yang dirilis sebulan menjelang pemilu. Artinya suara PKS melesat 4 persen dari “ramalan” politik, dan naik hampir 2 persen dari hasil yang mereka raih di Pemilu 2014.
“Syukur alhamdulillah, karena kami sebagai partai Islam selalu mendasari semua pekerjaan dengan lillahi ta’ala (untuk Allah). Ini hadiah manis untuk PKS di hari jadi yang ke-21,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKS Mardani Ali Sera kepada kumparan di ruangannya, Gedung Nusantara I DPR RI, Kamis (25/4).
Meski demikian, milad PKS yang jatuh pada tanggal 20 April sesudah pemilu itu tak dirayakan meriah seperti tahun sebelumnya, kala Presiden PKS Sohibul Iman bersepeda bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dari kantor DPP Gerindra ke kantor DPP PKS. Kantor kedua partai itu sama-sama berada di kawasan Jakarta Selatan.
Namun kali ini, seperti terlihat di akun Instagram PKS, Sohibul Iman—didampingi Sekjen PKS Mustafa Kamal—hanya memotong tumpeng bertuliskan angka 21. “Tak ada perayaan apa-apa. Hanya syukuran kecil saja,” demikian nukilan keterangan pada foto tersebut.
Sejumlah petinggi PKS mengisyaratkan, mereka sengaja tak menggelar acara besar-besaran. PKS memilih kalem saja dan tak larut dalam euforia perolehan suara yang melejit, sebab real count belumlah rampung.
“Kami masih fokus jaga suara. Soal suara PKS, lebih baik dibahas selepas pengumuman KPU,” ujar Ketua DPP PKS Ledia Hanifa, Jumat (26/4).
Ucapan senada keluar dari mulut Nasir Djamil, politikus PKS dari daerah pemilihan Aceh II. “Sebelum ada hasil penghitungan resmi dari penyelenggara pemilu, kami menahan diri karena saat ini kami sedang menjaga suara.”
Perolehan suara PKS kali ini menjadi rekor baru partai tersebut, setelah sebelumnya mentok di kisaran 7 persenan, bahkan turun ke angka 6,79 persen pada Pemilu 2014. Namun, pada Pileg 2019 ini, PKS memang mematok target ambisius 12 persen suara nasional. Maka, perolehan suara 8,57 persen versi hitung cepat sebetulnya masih di bawah target PKS.
Meski demikian, angka itu tetaplah istimewa mengingat sejumlah partai lain justru mengalami penurunan suara, dan PKS sendiri sempat dilanda konflik internal yang dikhawatirkan bakal menggerus suara tradisional mereka.
Walau perkara pemecatan Fahri Hamzah dan isu pembersihan simpatisan Anis Matta sempat menyeruak, namun semua konflik itu dapat dikelola PKS dengan cukup baik sehingga tak berujung gesekan berkepanjangan.
Kepiawaian PKS dalam mengelola isu-isu keumatan menjadi kunci keberhasilan PKS. Ia memunculkan dan memanfaatkan momen-momen politik dengan baik, untuk kemudian dikonversikan menjadi dukungan terhadap partai.
“Ini bukan hanya hasil kerja PKS. Ini karena PKS full mendukung Prabowo-Sandi, juga ada di tim pilpres, dan menjadi simpatisan 212. Prabowo dan Sandi kan banyak menggarap massa dan isu keumatan di Pilpres, ternyata jadi blessing in disguise ketika suara Pileg-nya ke PKS,” kata Mardani.
Sejak Aksi 212 untuk menuntut Ahok nonaktif pertama kali digelar Desember 2016, sejumlah petinggi PKS hadir dan berada di baris depan gerakan tersebut. Setahun kemudian, menjelang Reuni 212 Desember 2017, Presiden PKS Sohibul Iman mengimbau kadernya untuk ikut ambil bagian pada aksi itu.
“Sesuai keputusan DPTP (Dewan Pimpinan Tingkat Pusat), kader PKS diminta hadir menyukseskan Reuni 212. Tapi diminta tidak menggunakan atribut partai dalam bentuk apa pun demi menjaga kebersamaan dan menghindari tuduhan yang tidak perlu yang akan merusak tujuan acara,” ujar Sohibul dalam keterangan tertulisnya.
Ia menegaskan, dukungan terhadap Gerakan 212 menjadi tanda bahwa PKS akan terus menjaga dan mendukung para ulama.
Gayung bersambut. Menjelang hari pencoblosan, pemimpin Front Pembela Islam yang juga pentolan 212, Habib Rizieq Syihab, dalam videonya memuji PKS dan menyebutnya sebagai partai yang “selalu setia dan tak pernah berkhianat pada kawan koalisi.” Ucapan Rizieq ini, menurut Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, ikut menggenjot perolehan suara PKS.
“Gerakan 212 itu multi-kepentingan. Tapi andil PKS memang sangat besar dalam Aksi 212 yang berjilid-jilid itu. Aksi itu digunakan untuk meng-generate materi kampanye PKS dengan politik identitasnya. Jadi muslim yang memiliki kedekatan dengan isu agama, merasa PKS cocok untuk dipilih,” kata Rizka Halida, peneliti Indikator, di kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Politik identitas yang dimaksud ialah politik yang berpusat pada politisasi identitas bersama, berdasarkan ciri serupa yang dimiliki sekelompok orang. Kesamaan itulah yang kemudian menjadi basis perekat kolektivitas kelompok.
Analisis Rizka soal politik identitas tersebut selaras dengan amatan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC. Menurut peneliti politik lulusan Ohio State University itu, PKS mendapat limpahan suara dari pemilih anti-Jokowi dengan kadar keislaman tebal.
“Pemilih anti-Jokowi yang keislamannya kental itu cuma punya dua pilihan di Pileg: PKS atau PAN. Tapi PAN dulu pernah mendukung Jokowi, lalu belakangan pindah ke Prabowo. Itu ditambah dengan pemilih anti-Jokowi yang tidak bisa memilih Gerindra karena merasa harus memilih partai Islam. Mereka lari ke PKS. Jadi ini coattail effect karena PKS berada di kubu Prabowo,” ujar Djayadi.
Suara lari ke PKS itu, lanjut Djayadi, bisa berasal dari pemilih PPP yang pada 2014 memilih Prabowo. Mereka kini tak lagi memilih PPP karena partai berlambang Kakbah itu mendukung Jokowi, tak lagi berada di barisan Prabowo seperti pada Pemilu 2014.
PKS juga menerima limpahan suara dari sebagian pemilih Partai Bulan Bintang pimpinan Yusril Ihza Mahendra yang kini juga menyeberang ke Jokowi. “Perolehan suara PBB di 2014 sedikit lebih banyak (1,46 persen). Sekarang tinggal 1 persen. Kemungkinan besar itu pindah ke PKS, karena pemilih PBB politik Islam-nya cenderung sangat kuat,” kata Djayadi.
Semua itu mendorong suara PKS melejit ke angka 8 persen, sementara partai-partai lain dengan basis pemilih Islam seperti PAN dan PPP justru merosot perolehan suaranya.
“Kepemimpinan dari Salim Segaf Al-Jufri, pendekatannya terhadap para ulama, ormas-ormas Islam, juga dukungan dari pihak-pihak eksternal seperti Habib Rizieq dan Ustaz Abdul Somad, ini seperti suplemen yang menguatkan PKS secara kelembagaan,” ucap Nasir Djamil.
Abdul Somad, menurut Mardani secara terpisah, secara tak langsung membantu PKS meraup suara hingga 15 persen—berdasarkan hitung cepat Indo Barometer—di Riau. Di provinsi asal sang ustaz itu, PKS menggunakan kedekatannya dengan Abdul Somad untuk masuk ke kalangan muslim. Caranya, PKS mengundang UAS berceramah pada acara-acara mereka.
“Riau spesial karena hubungan kami dengan Ustaz Abdul Somad sangat dekat. UAS bukan dukung PKS dan tidak pernah bilang pilih PKS, tapi beliau ceramah di acara PKS. Ceramah soal umum, bukan politik. Kehadirannya membuat asosiasi PKS ke beliau cukup kuat di Riau,” terang Mardani.
Di lingkup perkotaan, kampanye PKS soal pembebasan pajak penghasilan bagi masyarakat dengan pendapatan Rp 8 juta ke bawah, serta pemberlakuan SIM dan STNK seumur hidup, dinilai cukup efektif dalam menyasar kaum urban dan kelas menengah.
“Basis pemilih PKS banyak di perkotaan dan kelas menengah terdidik. Jadi program-program itu tampaknya memang didesain untuk menarik kelompok menengah perkotaan,” ujar Rizka dari Indikator Politik.
Sedikit berbeda, Mardani menyatakan program-program tersebut justru untuk menunjukkan keberpihakan PKS kepada masyarakat kelas bawah.
“STNK gratis, pajak untuk pekerja bergaji Rp 8 juta ke bawah gratis, lalu perlindungan ulama. Ini upaya mewujudkan PKS sebagai partai politik dengan gagasan yang berpihak pada rakyat kecil dan umat. Kami bersyukur suara kami naik,” kata Mardani.