Walhi: Karhutla Bisa Dicegah Jika Jokowi Jalankan Putusan MA

16 September 2019 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana kebakaran hutan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kebakaran hutan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sebagian Pulau Kalimantan dan Sumatera masih belum bisa dipadamkan. Masyarakat yang tinggal di dekat titik-titik api juga sudah mulai mengalami gangguan kesehatan, akibat terpapar asap karhutla.
ADVERTISEMENT
Di tengah berbagai upaya pemerintah menangani karhutla, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) justru menyayangkan langkah pemerintah yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung, yang menolak kasasi yang diajukan Presiden Joko Widodo dan jajarannya terkait gugatan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015 silam. PK diajukan pemerintah pada Juli 2019.
Padahal, dalam putusan kasasi itu pemerintah harus menunaikan kewajiban dalam melindungi warga negaranya. Termasuk juga wajib menghentikan karhutla yang sampai saat ini masih terjadi.
“Ini buat kami sangat ironi, karena putusan-putusan MA sesungguhnya adalah kerangka untuk memberikan jaminan bagi keselamatan warga negara,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Khalisah Khalid dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Senin (16/9).
Konferensi pers terkait surat terbuka WALHI kepada presiden RI berserta menteri tentang Indonesia darurat asap. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Walhi berpendapat karhutla yang saat ini masih terjadi di sejumlah titik di Indonesia bisa dicegah, jika pemerintah mau melaksanakan putusan MA yang memenangkan warga dalam gugatan citizen lawsuit (CLS).
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya peristiwa ini (karhutla) kalau pun terjadi korbannya tidak akan besar, jika saja presiden mau patuh pada putusan di MA yang sudah menyatakan pemerintah atau negara bersalah dalam gugatan CLS pada kasus karhutla di Kalimantan pada 2015,” jelas Khalisah.
“Kita bisa cegah ini, tapi negara malah menunjukkan gengsinya ketimbang menyelamatkan warga negara. Ini yang buat kami marah,” imbuhnya.
Pengendara kendaraan bermotor menembus kabut asap pekat dampak dari kebekaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Jumat (13/9). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Menurut Khalisah, PK yang diajukan pemerintah menjadi contoh buruk bagi perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran karena menyebabkan karhutla.
“Presiden saja lebih memilih PK dibandingkan mematuhi atau menjalankan keputusan MA. Artinya jika negara saja bisa melakukan itu, kenapa kami (perusahaan) tidak?” tutur Khalisah.
“Jadi ini sebenarnya contoh buruk itu dipraktikan oleh negara, sehingga negara jadi tidak punya wibawa di mata korporasi. Seandainya keputusan itu dilakukan setidaknya menaikkan marwah negara disitu,” tutup Khalisah.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, MA telah menolak kasasi yang diajukan Presiden Jokowi terkait kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015 lalu. Dalam putusan kasasi tersebut, majelis hakim yang terdiri dari I Gusti Agung Sumanatha, Pri Pambudi Teguh, dan Nurul Elmiyah, menyatakan Presiden Jokowi dan jajarannya bertanggungjawab atas kejadian kebakaran hutan di Kalimantan.
Dalam putusan MA, negara diminta untuk mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Termasuk juga menunaikan kewajiban dalam melindungi warga negara dalam menghentikan karhutla.
Namun, alih-alih menjalankan keputusan tersebut, pemerintah malah mengajukan PK. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga menyebut, selain PK, pemerintah telah melakukan berbagai upaya perbaikan dalam mengatasi kebakaran hutan.
Dalam gugatan CLS, sebanyak tujuh pihak digugat, yakni Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT