Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah (WH) Banda Aceh mengeksekusi seorang warga Sumatera Utara beragama Buddha, RN, dengan hukuman cambuk. RN harus merasakan pedihnya dicambuk 27 kali karena tertangkap berduaan dengan pasangan tidak sahnya, ND.
ADVERTISEMENT
RN dan ND melanggar pasal ikhtilath atau bermesraan dengan pasangan tidak sah. Keduanya terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman, mengatakan, RN menjalani eksekusi cambuk sesuai permintaan sendiri. Padahal, Mahkamah Syariat telah memberikan pilihan kepada RN untuk menjalani hukuman pidana atau cambuk.
Lantas bagaimana penjelasan dalam hukum pidana Islam atau hukum jinayat terkait pemberian hukuman cambuk bagi nonmuslim di Aceh ini?
Pakar hukum pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Nurul Irfan, mengatakan, pemberian hukuman cambuk bagi warga Buddha di Aceh sesuai dengan teori teritorial yang dianut para ulama. Dalam pemberian hukum jinayat, para ulama mengacu pada dua teori, yakni teori teritorial dan subjek hukum.
Irfan menjelaskan, teori teritorial menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar hukum di suatu daerah yang menganut hukum jinayat, maka dapat dijatuhi hukuman itu.
ADVERTISEMENT
"Teori teritorial berdasarkan tempat, di mana satu tempat itu berlaku hukum pidana Islam atau hukum jinayat, maka siapa pun pelaku yang melanggar hukum jinayat apa pun agamanya, yang penting dia sedang ada di situ maka diberlakukan (hukum pidana Islam)," jelas Irfan, Kamis (1/8) malam.
"Tampaknya teori teritorial ini yang dianut oleh qanun jinayat Aceh ini, sehingga orang Buddha yang dicambuk itu sekalipun dia beragama nonmuslim, tetap diberlakukan. Tampaknya dengan fenomena yang terjadi budaya Aceh ini menganut teori teritorial," imbuhnya.
Sedangkan teori subjek hukum menjelaskan tentang pemberian hukum jinayat hanya berlaku bagi kaum muslim saja. Namun menurut Irfan, apabila teori ini berlaku di Aceh, maka nonmuslim tak akan mendapat hukum jinayat, seperti dicambuk.
ADVERTISEMENT
"Seandainya teori yang diyakini oleh jinayat Aceh adalah subjek hukum, maka orang Buddha tidak berlaku (dikenai hukuman). Cuma ini menjadi permasalahan sendiri mengingat pelanggaran hukum kan tak hanya dilakukan oleh orang Islam saja," jelasnya.
Celah teori teritorial dan subjek hukum pidana Islam
Meski demikian, menurut Irfan, kedua teori itu memiliki celah hukum. Irfan menjelaskan, teori teritorial bisa disalahgunakan orang Islam untuk lolos dari jerat hukum jinayat apabila melakukan pelanggaran di luar daerah yang berlaku hukum itu.
"Teori ini dijadikan alasan orang-orang yang punya kemampuan ekonomi buat pergi ke Eropa, Prancis, Indonesia, termasuk Ciawi untuk melakukan pelanggaran. (Contohnya) biasanya mereka membungkusnya dalam istilah nikah siri, padahal menunaikan hasrat seksual untuk berzina di tempat lain. Celah ini dimanfaatkan oleh orang yang ingin melakukan tindak pidana, tapi aman dilakukan di tempat lain," terangnya.
Sementara celah pada teori subjek hukum bisa terjadi saat orang Islam berbohong beragama lain agar tak mendapat hukum jinayat. "Apabila orang tertangkap dan mengaku tidak muslim (padahal muslim) maka ini juga menjadi celah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Hukum jinayat bagi nonmuslim sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad
Irfan menjelaskan, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hukum jinayat sudah berlaku bagi nonmuslim. Ini artinya teori teritorial sudah berlaku sejak saat itu.
"Yang dilakukan oleh qanun jinayat pasti ada referensi dan dalil karena dulu Nabi juga menghukum orang Yahudi yang melakukan zina dengan hukuman rajam. Ada satu riwayat seperti itu meski tak disebutkan identitasnya," ungkapnya.
Meski demikian, menurut Irfan, dalam ajaran Yahudi telah dijelaskan bahwa hukum rajam juga berlaku bagi kaum Yahudi.
"Tapi kita paham dalam Yahudi dalam kitab Taurat memang sama hukumnya dengan orang Islam. Nah, ini apakah dalam orang Buddha, kitab-kitab agama Buddha yang menyebut adanya sanksi rajam bagi pezina kan belum tentu," pungkasnya.
ADVERTISEMENT